-
NewsINH, Gaza – Mohamad Elmasry, profesor dalam program studi media di Institut Studi Pascasarjana Doha, Qatar, mengatakan serangan Israel yang terus berlanjut di Tepi Barat yang diduduki telah direncanakan sebelum 7 Oktober. “Rencana Israel melibatkan pencaplokan tanah Palestina, yang pada akhirnya menyingkirkan penduduk Palestina dan membersihkan etnis di Tepi Barat dan Gaza,” katanya kepada Al Jazeera. “Dari sudut pandang Israel, saat ini adalah waktu yang tepat untuk berperang dengan Tepi Barat karena orang-orang agak terganggu oleh apa yang terjadi di Gaza.” Elmasry menambahkan bahwa Israel telah menjadi lebih berani karena kurangnya respons dari AS atas perang yang sedang berlangsung di Gaza. “Jadi jika mereka bisa lolos di sana, mengapa [Israel] tidak melakukannya di Tepi Barat?” kata Elmasry. Sementara itu, Mustafa Barghouti, sekretaris jenderal Inisiatif Nasional Palestina, telah mengutuk serangan massal Israel di Tepi Barat yang diduduki sebagai langkah strategis untuk memperluas kendali atas wilayah tersebut dan menggusur lebih banyak warga Palestina. “Tujuan Israel adalah untuk menghancurkan segala bentuk perlawanan terhadap rencana politik mereka,” kata Barghouti kepada Al Jazeera. “Dan rencana politik mereka tidak lain adalah perluasan permukiman di seluruh Tepi Barat, aneksasi Tepi Barat… dan penghancuran segala bentuk otoritas Palestina.” Pada dasarnya, tambah Barghouti, Israel melancarkan perang terhadap orang-orang yang diduduki, yang merupakan pelanggaran hukum internasional dan merupakan “pergeseran fasis”. “Mengapa mereka [otoritas Israel] melakukannya sekarang?” kata Barghouti. “Karena mereka melihat reaksi lemah dari komunitas internasional terhadap kekejaman, genosida di Gaza,” yang membuat mereka berani bertindak keras di Tepi Barat. Sumber: Aljazeera/Sindonews
-
NewsINH, Teheran – Warga Gaza dan bangsa Palestina tengah berduka. Pasalnya, salah seorang tokoh sentral kelompok perjuangan kemerdekaan Palestina yakni Hamas dikabarkan meninggal di Teheran ibu Kota Iran, Rabu (31/7/2024) dinihari waktu setempat. Dilansir dari berbagai sumber, pemimpin karismatik Hamas Ismail Haniyeh dan salah satu pengawalnya tewas setelah kediamannya menjadi sasaran di Teheran, Iran Hal ini dipastikan oleh Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran dalam sebuah pernyataan. “Serangan itu dilakukan Rabu pagi. Penyelidikan sedang dilakukan untuk menemukan penyebab insiden tersebut,” sebut pernyataan Departemen Hubungan Masyarakat IRGC, seperti dikutip kantor berita Iran IRNA. Pernyataan itu menyampaikan belasungkawa kepada rakyat Palestina, dunia Muslim, dan para pejuang Front Perlawanan atas kematian pemimpin Hamas tersebut. Sebuah pernyataan dari Hamas mengatakan serangan Israel menewaskan pemimpin kelompok Palestina Ismail Haniyeh di kediamannya di Teheran. Sebelumnya pada hari Selasa, Haniyeh menghadiri pelantikan presiden baru Iran dan bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Iran. Sementara itu, pihak Hamas mengatakan Ismail Haniyeh terbunuh dalam “serangan berbahaya Zionis di kediamannya di Teheran”. Siapa Ismail Haniyeh? Pada tanggal 6 Mei 2017, Hamas, gerakan politik Palestina yang menguasai Jalur Gaza, memilih Ismail Abdulsalam Ahmed Haniya, sebagai kepala biro politik kelompok tersebut, menggantikan Khaled Meshaal. Lahir di kamp pengungsi Shati di Gaza dari orang tua yang melarikan diri dari kota Asqalan setelah negara Israel didirikan pada tahun 1948, Haniya belajar di Institut al-Azhar di Gaza dan lulus dengan gelar dalam bidang sastra Arab dari Universitas Islam di Gaza. Saat kuliah pada tahun 1983, Haniya bergabung dengan kelompok Mahasiswa Islam, cikal bakal berdirinya Hamas. Karirnya semakin cemerlang dan terus naik kedudukanya di Hamas, bahkan ia diangkat sebagai pembantu dekat dan asisten salah satu pendiri Hamas, mendiang Sheikh Ahmed Yassin, pada tahun 1997. Haniya dikenal sebagai pemimpin Hamas yang lebih moderat dan dekat dengan pemimpin spiritual Hamas, Syeikh Ahmad Yassin yang dibunuh Israel. Haniyah adalah pemimpin daftar Hamas yang memenangkan pemilihan legislatif Palestina tahun 2006, dan kemudian menjadi perdana menteri. Presiden Machmod Abbas memberhentikan Haniyah dari jabatannya pada tanggal 14 Juni 2007 pada puncak konflik Fatah-Hamas, namun Haniyah tidak mengakui keputusan tersebut dan terus menjalankan otoritas perdana menterinya di Jalur Gaza. Pada bulan September 2016, laporan mengindikasikan Haniyah akan menggantikan Khaled Mashal sebagai Kepala Biro Politik Hamas. Ia terpilih sebagai ketua politik Hamas pada 6 Mei 2017 hingga saat ini. Berbagai Sumber
-
NewsINH, Gaza – Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) melalui unggahan di platform X mengungkapkan lebih dari 150 ribu ibu hamil menghadapi kondisi sanitasi yang buruk dan bahaya kesehatan di tengah agresi Israel di Jalur Gaza dan pengungsian paksa. “Tidak ada anak di dunia yang menderita seperti ini. Kami butuh gencatan senjata sekarang,” tulis UNRWA dilansir laman kantor berita Palestina WAFA. Badan Bantuan PBB itu memperingatkan tingkat keputusasaan kembali terjadi di Gaza. Menurut UNICEF, sebanyak 95 persen ibu hamil dan menyusui menghadapi krisis pangan yang parah di Jalur Gaza, di mana perang masih berlangsung. Sementara itu, Dana Penduduk PBB (UNFPA) baru saja melaporkan bahwa 62 paket bantuan berisi bahan-bahan untuk persalinan masih menunggu izin masuk melalui penyeberangan Rafah. Jumlah korban meninggal akibat agresi Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober telah bertambah menjadi 35.091 orang, dengan lebih dari 78.827 orang lainnya terluka. Sementara itu, lembaga PBB yang menangani anak-anak (Unicef) mengatakan pembunuhan anak-anak Palestina oleh Israel Harus Dihentikan “Sebagai orang yang pernah berada di lapangan dan menghabiskan banyak waktu di rumah sakit di Gaza, termasuk Rafah, saya melihat dampak pertempuran ini pada jenazah anak-anak dan itu sangat mengerikan,” kata juru bicara Dana Anak-anak PBB (Unicef) Tess Ingram di stasiun televisi ABC, seperti dikutip Aljazirah, Senin (13/5/2024) kemarin. “Saya melihat anak perempuan berusia sembilan tahun mempertahankan nyawanya di ranjang rumah sakit di Rafah dengan luka ledakan di sisi tubuhnya, dan ketika saya bertemu dengannya, ia sudah seperti itu selama 16 hari karena karena tidak ada kemampuan medis di Gaza untuk mengobati luka-lukanya.” “Kami harus melihat diakhirinya pertempuran dan pembunuhan tanpa pandang bulu pada warga sipil terutama anak-anak,” tambahnya. Unicef terus mendesak para pemimpin dunia dalam setiap kesempatan untuk membuka akses kemanusiaan ke seluruh Gaza. Untuk menanggapi situasi yang dihadapi anak-anak di Israel dan Negara Palestina, Unicef menyerukan Sejak awal perang Unicef meminta akses kemanusiaan yang aman dan tidak terbatas ke dan di dalam Jalur Gaza untuk menjangkau populasi yang terkena dampak perang di mana pun mereka berada, termasuk di bagian utara. Unicef juga meminta semua akses penyeberangan harus dibuka, termasuk untuk mendapatkan bahan bakar dan material yang cukup untuk menjalankan dan merehabilitasi infrastruktur penting dan pasokan komersial. Unicef juga meminta pergerakan yang aman bagi pekerja kemanusiaan dan pasokan di seluruh Jalur Gaza harus dijamin dan jaringan telekomunikasi yang dapat diandalkan harus tersedia untuk mengkoordinasikan upaya-upaya respons. Unicef juga mendesak sandera-sandera Israel yang ditawan Hamas segera dibebaskan tanpa syarat dan diakhirinya pelanggaran berat terhadap semua anak, termasuk pembunuhan dan pelecehan terhadap anak-anak. Unicef mendesak pihak yang berperang menghormati dan melindungi infrastruktur sipil seperti tempat penampungan dan sekolah, serta fasilitas kesehatan, listrik, air, sanitasi, dan telekomunikasi, untuk mencegah hilangnya nyawa warga sipil dan anak-anak, merebaknya wabah penyakit, dan untuk memberikan perawatan kepada yang sakit dan terluka. Uncief meminta semua pihak yang terlibat dalam konflik harus menghormati hukum kemanusiaan internasional. Unicef mendesak kasus-kasus medis di Gaza mendapatkan mengakses layanan kesehatan atau diizinkan untuk pergi, dan untuk anak-anak yang terluka atau sakit yang dievakuasi untuk didampingi anggota keluarga. Unicef meminta perlindungan yang berkelanjutan bagi anak-anak dan keluarga mereka jika mereka tidak dapat atau tidak mau pindah mengikuti perintah evakuasi. “Warga harus diizinkan untuk bergerak secara bebas ke daerah yang lebih aman, tetapi mereka tidak boleh dipaksa untuk melakukannya,” kata Unicef dalam pernyataan yang dirilis di situs resminya. Lebih dari 15 ribu anak terbunuh di Jalur Gaza sejak awal operasi militer Israel pada 7 Oktober 2023, demikian menurut pernyataan otoritas di daerah kantong Palestina itu. “15.002 anak meninggal (di Jalur Gaza)… 17 ribu anak hidup tanpa orang tua,” tulis pernyataan yang dipublikasikan kantor pers otoritas Gaza pada Rabu (8/5/2024). Pada 7 Oktober 2023, kelompok perlawanan Palestina Hamas meluncurkan serangan roket besar-besaran terhadap Israel dan menerobos perbatasan serta menyerang permukiman sipil dan basis militer. Akibatnya, hampir 1.200 warga Israel tewas dan sekitar 240 orang lainnya disandera selama serangan berlangsung. Israel lantas melakukan serangan balasan, memerintahkan pengepungan total terhadap Gaza dan mulai melakukan invasi darat dengan tujuan melenyapkan petempur Hamas dan menyelamatkan para sandera. Sejauh ini, lebih dari 35 ribu warga Palestina terbunuh dalam serangan yang dilakukan militer Israel di Gaza, menurut otoritas setempat. Sementara itu, lebih dari 100 sandera diyakini masih ditahan Hamas di Gaza. Pada Senin pasukan Israel memulai operasi militer di wilayah timur Kota Rafah dan mengambilalih wilayah Gaza di perbatasan Rafah dengan Mesir. Keputusan untuk menyerang Kota Rafah diambil meski Hamas menyetujui syarat perjanjian gencatan senjata yang diusulkan Mesir dan Qatar. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut perjanjian tersebut tidak dapat diterima. Saat ini lebih dari 1 juta orang diyakini mengungsi di Kota Rafah. Sumber: Wafa/Aljazair/Republika
-
NewsINH, Al Quds – Meski ada pembatasan dan pelarangan dari otoritas Israel, puluhan ribu umat muslim Palestina melaksanakan salat Tarawih di kompleks Masjid Al-Aqsa pada Senin (11/3/2024) malam waktu setempat. Departemen Wakaf Islam mengatakan sekitar 35.000 jamaah menjalani salat Tarawih di dalam Masjid Al-Aqsa, pada hari pertama bulan suci Ramadan di tengah pembatasan pendudukan Israel. Menurut saksi mata, pasukan Israel melarang pemuda Palestina salat di Masjid Al-Aqsa, bersamaan dengan prosedur ketat di Masjid Al-Aqsa dan sekitarnya selama lima bulan berturut-turut. Pasukan Israel secara brutal memukul dan menyerang seorang pria Palestina di dekat salah satu gerbang menuju Masjid Al-Aqsa, Bab Al-Zahra, sebelum menahannya. Selain itu, mereka juga menangkap penjaga Masjid Al-Aqsa, Khalil Al-Tarhouni dari Kota Tua Yerusalem dan membawanya ke pusat pemeriksaan. Sebelumnya pasukan pendudukan Israel telah memasang kawat berduri di pagar dekat Masjid Al-Aqsa yang bersebelahan dengan area Lions Gate dengan tujuan mencegah masuk jamaah ke Masjid Al-Aqsa. Sumber: Wafa
-
NewsINH, Gaza – Sekitar 300 orang warga sipil Palestina di Gaza meninggal dunia dalam 24 jam terakhir. Serangan Israel semakin intensif ke sejumlah wilayah Jalur Gaza yang berdampak terhadap krisis kemanusian yang sangat mengkhawatirkan. Dilansir dari Aljazeera, Minggu (10/12/2013). Pertempuran sengit telah membunuh hampir 300 warga Palestina dalam 24 jam terakhir di Gaza ketika kelompok pejuang pembebasan Palestina Hamas dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saling bertukar ancaman. Serangan Israel berlanjut di seluruh wilayah yang terkepung pada hari Minggu, termasuk di bagian utara Gaza di mana seluruh lingkungan telah diratakan dengan serangan udara dan di mana pasukan darat yang telah beroperasi selama lebih dari enam minggu terus menghadapi perlawanan sengit dari pejuang Hamas. Juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza Ashraf al-Qudra mengatakan kepada Al Jazeera dalam sebuah wawancara telepon bahwa 297 orang meninggal dan lebih dari 550 orang terluka dalam 24 jam terakhir di Gaza, menjadikan jumlah korban meninggal dunia sejak dimulainya perang pada 7 Oktober menjadi lebih dari 18.000 orang, mayoritas dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Serangan Israel di Gaza berlanjut pada hari ke-65 pada hari Minggu, dengan Hamas memperingatkan bahwa tidak ada tawanan yang mereka tangkap pada tanggal 7 Oktober yang akan meninggalkan Gaza hidup-hidup kecuali tuntutan mereka dipenuhi. “Baik musuh fasis dan kepemimpinannya yang arogan maupun para pendukungnya tidak dapat menahan tawanan mereka hidup-hidup tanpa pertukaran dan negosiasi serta memenuhi tuntutan perlawanan,” kata juru bicara Hamas Abu Obeida dalam siaran televisi. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, pada bagiannya, meminta Hamas untuk menyerah. “Ini adalah awal dari berakhirnya Hamas. Saya katakan kepada teroris Hamas: Ini sudah berakhir. Jangan mati demi [Yahya] Sinwar. Menyerahlah sekarang,” katanya, mengacu pada pemimpin Hamas di Gaza. Hamas sebelumnya mengatakan Israel melancarkan serangkaian “serangan yang sangat kejam” yang menargetkan kota selatan Khan Younis dan jalan yang menghubungkannya ke Rafah dekat perbatasan dengan Mesir. Penduduk Gaza juga melaporkan pertempuran sengit di lingkungan Shujayea di Kota Gaza dan di kamp pengungsi Jabalia, daerah perkotaan yang padat. Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS) mengatakan pasukan Israel menggerebek sebuah area dekat klinik UNRWA di jantung kamp Jabalia, tempat tim darurat dan petugas medis mengoperasikan pos medis. “Tim terdiri dari sembilan dokter, perawat, dan relawan. Daerah sekitarnya saat ini sedang dibombardir, menimbulkan ancaman terus-menerus terhadap nyawa tim medis dan korban luka,” kata Bulan Sabit Merah dalam sebuah postingan di X pada Minggu malam. Di Shujayea tempat para penembak jitu dan tank Israel menempatkan diri di antara bangunan-bangunan yang ditinggalkan, penduduk mengatakan korban meninggal dan terluka ditinggalkan di jalan karena ambulans tidak dapat lagi mencapai daerah tersebut. “Mereka menyerang apapun yang bergerak,” kata Hamza Abu Fatouh kepada Associated Press. ‘Perjalanan kematian’ Israel telah memerintahkan evakuasi dari Gaza utara pada awal perang, namun puluhan ribu orang masih tetap tinggal di sana karena khawatir wilayah selatan tidak akan lebih aman atau mereka tidak akan diizinkan kembali ke rumah mereka. Pertempuran sengit juga terjadi di dan sekitar kota selatan Khan Younis pada hari Minggu. “Eksodus massal terus berlanjut. Mereka yang melarikan diri dari Gaza utara untuk bertahan hidup menggambarkannya sebagai ‘perjalanan kematian’,” kata Tareq Abu Azzoum dari Al Jazeera, melaporkan dari Rafah di Gaza selatan. “Warga Khan Younis telah diperintahkan untuk mengungsi ke al-Mawasi di garis pantai – sebuah daerah yang dianggap sangat berbahaya,” tambahnya. “Ini juga merupakan wilayah yang tidak memiliki infrastruktur apa pun – termasuk akses terhadap air, makanan, dan listrik. Juga tidak ada akses ke toilet. Situasinya memburuk dengan sangat cepat sekarang.” Sementara itu, Dewan eksekutif Organisasi Kesehatan Dunia yang beranggotakan 34 orang pada hari Minggu mengadopsi resolusi yang menyerukan pengiriman bantuan segera dan tanpa hambatan ke Gaza. “Sistem kesehatan di Gaza berada dalam kondisi lemah dan ambruk,” kata Ketua WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, dengan hanya 14 dari 36 rumah sakit yang berfungsi pada kapasitas berapapun. Tindakan darurat tersebut, yang diusulkan oleh Afghanistan, Qatar, Yaman dan Maroko, mengupayakan masuknya personel dan pasokan medis ke Gaza, mengharuskan WHO untuk mendokumentasikan kekerasan terhadap petugas kesehatan dan pasien, dan untuk mendapatkan pendanaan untuk membangun kembali rumah sakit. “Saya harus berterus terang kepada anda, tugas ini hampir tidak mungkin dilakukan dalam situasi saat ini,” kata Tedors, memuji negara-negara tersebut karena menemukan titik temu dan mengatakan ini adalah pertama kalinya setiap usulan PBB disetujui melalui konsensus sejak konflik dimulai. Sumber: Aljazeera