CPJ : 23 Jurnalis Meninggal Saat Liputan Perang di Jalur Gaza

CPJ : 23 Jurnalis Meninggal Saat Liputan Perang di Jalur Gaza

NewsINH, Gaza – Bagi seorang pekerja media yang melaporkan fakta dilapangan tentu menjadi sebuah pengalaman yang tak ternilai harganya. Apalagi melaporkan fakta dan kebenaran dalam sebuah peperangan di medan konflik pertempuran senjata.

Pers atau media sejatinya menjadi salah satu entitas yang wajib dilindungi sebagai mana dalam hukum Humaniter Internasional, jurnalis yang bertugas di daerah konflik bersenjata dianggap sebagai warga sipil dan terhindar dari serangan.

Lalu bagimana dengan nasib sejumlah pekerja media yang turut serta menjadi korban bankan meninggal dunia disaat melaksanakan tugas peliputan di Jalur Gaza, Palestina. Ancaman dan keselamatan pekerja media menjadi taruhan untuk dapat menyebarkan informasi ke benaran ke berbagai penjuru dunia. Pasalnya, militer Israel secara serampangan dan sporadis menjatuhkan bom dan rudalnya tanpa melihat terlebih dahulu sasaran yang akan menjadi korbanya.

The Committee to Protect Journalist (CPJ) mengungkapkan, sebanyak 23 jurnalis telah terbunuh ketika melakukan peliputan konflik Israel-Palestina yang sedang berlangsung. CPJ menyerukan agar jurnalis tak dijadikan target dalam serangan oleh para pihak yang berkonfrontasi. CPJ mengatakan, dari 23 jurnalis yang sudah dilaporkan tewas, sebanyak 19 di antaranya merupakan jurnalis Palestina. Sisanya terdiri dari tiga jurnalis Israel dan satu jurnalis Lebanon. Menurut CPJ, terdapat delapan jurnalis lainnya yang mengalami luka-luka.

“CPJ juga menyelidiki sejumlah laporan yang belum dapat dikonfirmasi mengenai jurnalis lain yang terbunuh, hilang, ditahan, disakiti atau diancam, dan mengenai kerusakan pada kantor media dan rumah jurnalis,” kata CPJ, dilaporkan Anadolu Agency, Senin (23/10/2023).

Koordinator CPJ Timur Tengah dan Afrika Utara, Sherif Mansour, mengatakan jurnalis adalah warga sipil yang melakukan “pekerjaan penting” selama masa krisis. Oleh karena itu, pihak-pihak yang bertikai tidak boleh menjadikan mereka sasaran.“Jurnalis di seluruh wilayah melakukan pengorbanan besar untuk meliput konflik yang memilukan ini. Semua pihak harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan keselamatan mereka,” ujar Mansour.

Organisasi Kantor Berita se-Asia Pasifik (OANA) menekankan perlunya komitmen untuk melindungi jurnalis yang bertugas di wilayah konflik, termasuk Palestina, dalam Konferensi dan Pertemuan Ke-51 Dewan Eksekutif OANA di Istanbul, Turki, Senin (22/10/2023).

“Kami mengingatkan bahwa kita harus berkomitmen untuk berupaya memberikan perlindungan dan keamanan kepada semua jurnalis di segala kondisi,” kata Direktur Utama Kantor Berita Anadolu (Turki) Serdar Karagoz dalam sambutannya pada pembukaan konferensi itu.

Dia menceritakan bagaimana reporter Anadolu Ali Jadallah dan keluarganya di Jalur Gaza menjadi korban jiwa dalam konflik bersenjata Israel-Palestina. Serdar mengaku telah mengirim surat kepada OANA, Uni Kantor Berita Eropa (EANA), dan Persekutuan Kantor Berita Mediterania (AMAN) untuk memberikan desakan bagi perlindungan jurnalis di kawasan konflik.

Sementara itu, salah seorang wartawan lepas bernama Rakan Abdelrahman menceritakan jika dirinya telah mengenakan rompi dengan tulisan Pers dan siap melaporkan pengeboman Israel di Jalur Gaza. Abdelrahman, yang karyanyanya di produksi oleh Middle East Eye dan The National, tidak hanya sekadar meliput sebuah berita namun berpacu dengan waktu dan kematian.

Jurnalis Palestina di Jalur Gaza, seperti Abdelrahman, berusaha melawan rintangan dan kematian untuk mengabarkan situasi perang di Gaza ke seluruh dunia di tengah kesulitan yang mengancam pekerjaan mereka. Hingga kini, pesawat-pesawat tempur Israel telah membom wilayah pesisir tanpa henti.

Lebih dari lima ribu orang meninggal dunia akibat serangan Israel dan banyak dari mereka adalah anak-anak. Sebanyak 10.859 orang lainnya terluka akibat serangan udara. Kementerian Dalam Negeri Palestina mengatakan, lebih dari seribu jenazah warga Palestina terjebak di bawah reruntuhan bangunan yang dihancurkan oleh bom.

Pekan lalu, Israel mengebom menara komunikasi di wilayah yang terkepung dan memutus aliran listrik ke satu-satunya pembangkit listrik di wilayah tersebut. Tindakan ini merupakan bagian dari pengepungan total yang diterapkan Israel sebagai respons terhadap serangan mengejutkan Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023.

Pengeboman dan pengepungan telah menyebabkan Jalur Gaza tidak memiliki akses internet atau listrik yang dapat diandalkan. Hal ini membuat pekerjaan jurnalis, yang sudah berisiko dan menantang di zona perang, menjadi semakin sulit.

“Karena koneksi internet yang buruk dan pemadaman listrik, kami tidak dapat melaporkan sesuatu secara real-time. Lagipula tidak ada tempat yang layak untuk bekerja,” kata Abdelrahman kepada Aljazirah.

Abdelrahman menambahkan, para jurnalis yang mengenakan rompi pers dan helm pelindung tidak luput dari sasaran Israel. “Kami tidak dapat meliput lokasi pembantaian atau bahkan mencapai tempat-tempat yang telah dibom karena takut serangan Israel lainnya akan menargetkan wilayah yang sama,” kata Abdelrahman.

“Setiap detik Anda berada dalam bahaya. Rekan-rekan kami telah membayar harga dengan nyawa mereka, seperti Saeed al-Taweel, Mohammed Subh dan Hisham Alnwajha,” ujar Abdelrahman.

Ketiga jurnalis yang disebutkan oleh Abdelrahman terbunuh pada 10 Oktober ketika merekam sebuah gedung di Kota Gaza yang akan dibom. Mereka semua berdiri pada jarak yang aman, ratusan meter dari sasaran gedung Hiji. Namun serangan udara malah menghantam gedung lain, yang lebih dekat dengan mereka.

Penduduk di Jalur Gaza mengatakan, perang saat ini adalah yang paling ganas dari serangan-serangan sebelumnya dalam 15 tahun terakhir. Setidaknya 1 juta orang telah menjadi pengungsi internal. Abdelrahman mengatakan, selain rasa takut terkena serangan bom, dia juga khawatir dengan keluarga dan keempat anaknya. Abdelrahman mengatakan, sangat sulit bagi anak-anaknya untuk melalui masa perang yang traumatis ini.

“Saya memikirkan kondisi psikologis mereka, paparan mereka terhadap perang yang mengerikan ini. Selama perang Israel sebelumnya, mereka masih terlalu muda untuk mengingatnya, namun kini setelah mereka tumbuh besar, sangat sulit bagi mereka dan saya untuk menyaksikan ketakutan yang menyelimuti mereka,” ujar Abdelrahman.

Minimnya pasokan listrik membuat ruang gerak para jurnalis di Gaza menjadi terbatas. Mereka tidak dapat leluasa bergerak bebas untuk melaporkan pemboman Israel di seluruh Gaza.

“Kami masih meliput berita, namun liputan kami menjadi terbatas. Kami mengetahui di mana serangan udara Israel terjadi ketika korban meninggal dan terluka datang ke rumah sakit. Namun apa yang terjadi dengan serangan di tempat berbeda yang tidak dapat kita capai? Bagaimana kita bisa segera membahasnya?,” ujar Shaheen.

 

Sumber : Aljazeera/Republika