-
NewsINH, Gaza – Penggunaan (bomb-laden) drone berisi bahan peledak oleh militer Israel selama melakukan operasi di Gaza utara “dilarang berdasarkan hukum internasional,” kata Pengawas Hak Asasi Manusia (HAM) Euro-Mediterania pada Ahad (13/10/2024) kemarin. “Militer Israel memperparah genosida terhadap rakyat Palestina di sana, dengan melakukan pembantaian, pembunuhan disengaja, kelaparan, dan pengungsian paksa yang meluas,” demikian pernyataan organisasi yang berbasis di Jenewa tersebut. Pengawas HAM Euro-Mediterania itu menjelaskan bahwa “militer Israel benar-benar telah memisahkan Gaza utara dari Kota Gaza dengan mengerahkan kendaraan dan mendirikan penghalang pasir dan puing-puing dari rumah yang hancur, selain pelindung tembakan dari drone.” Organisasi itu mencatat bahwa “pihaknya telah menerima banyak kesaksian tentang penggunaan bomb-laden drone/robot yang diledakkan dari jarak jauh oleh militer Israel, yang memperluas kerusakan rumah dan bangunan di sekitarnya serta menambah korban jiwa, sementara tugas tim ambulans dan pertahanan sipil hampir berhenti total, kecuali di lokasi sempit di sejumlah daerah.” Penggunaan drone peledak/robot oleh Israel “dilarang berdasarkan hukum internasional lantaran dianggap sebagai senjata sembarangan yang tidak dapat diarahkan atau dibatasi hanya pada sasaran militer,” katanya. Menurutnya, militer Israel mulai menggunakan bomb-laden drone tersebut untuk pertama kalinya di Gaza pada Mei saat serangan kedua ke kamp pengungsi Jabalia. Kelompok itu membenarkan bahwa militer Israel “telah memperluas operasi penghancuran dan pembongkaran bangunan tempat tinggal di area serangan rezim di Gaza utara, dengan menggunakan tiga cara yakni pemboman udara, bom-laden drone/robot peledak dan penanaman bom di rumah-rumah.” “Mereka yang selamat dari pembunuhan dan pemboman langsung masih berisiko meninggal akibat kelaparan atau kehausan, lantaran pasukan Israel mencegah masuk bantuan apa pun ke Gaza utara, sambil juga menghancurkan dan membakar toko roti di sana, selain membongkar sumur air yang tersisa.” Militer Israel melancarkan operasi militer di Gaza utara pada 6 Oktober di tengah pengepungan ketat wilayah tersebut, mengeklaim bahwa serangan tersebut bertujuan untuk mencegah kelompok Palestina Hamas mendapatkan kembali kekuatan di daerah tersebut. Israel terus menggencarkan serangan brutal di Gaza menyusul serangan lintas batas oleh kelompok Hamas pada 7 Oktober tahun lalu, meski terdapat resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera. Sejak itu, lebih dari 42.200 orang, mayoritas perempuan dan anak-anak, tewas dan lebih dari 98.400 orang terluka, menurut otoritas kesehatan setempat. Serangan Israel telah menyebabkan hampir seluruh penduduk Jalur Gaza mengungsi di tengah pengepungan yang hingga kini masih berlangsung, yang telah mengakibatkan krisis makanan, air bersih serta obat-obatan. Israel menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas perbuatan mereka di Gaza. Sumber: Anadolu/Antara
-
NewsINH, Cairo – Lembaga kemanusiaan International Networking for Humanitarian (INH) membantu lima calon dokter asal Gaza, Palestina yang mengalami kesulitan untuk pelunasan biaya pendidikanya di salah satu perguruan tinggi di Cairo-Mesir. Lima calon doket tersebut merupakan warga Gaza yang telah lama melaksanakan study di Fakultas Kedokteran, Universitas Zagazig, Mesir. Kelima calon dokter tersebut yakni, Muhammad Maqdi Al-Misri, Yazan Mamduh Salam, Muhammad Asyraf dan dua calon dokter lainya merupakan wanita yakni Maya Ammar Muhammad dan Yara Muhammad Abu Marr. Penyaluran bantuan biaya pendidikan secara simbolis ini diberikan secara langsung oleh Presiden Direktur INH, Lukmanul Hakim disela-sela kunjungan kerjanya di negeri Piramida. “Alhamdulillah setelah mendapatkan informasi dari salah seorang staff INH yang ada di Mesir, kami begerak cepat untuk membantu saudara-saudara kita yakni warga Gaza yang sedang mengalami kesulitan secara financial untuk penyelesaian biaya pendidikan,” kata Lukman, Rabu (14/08/2024). Bantuan tunai ini kata, Lukman akan digunakan kelima calon dokter tersebut untuk menebus ijazah merekah yang tertahan oleh pihak kampus lantaran kelima calon dokter tersebut mengalami kendalala keuangan akibat perang dan genosida Israel kewilayah Gaza. “Awalnya mereka berangkat dari Gaza untuk kuliah di fakultas kedokteran di Universitas Zagazig dengan biaya mandiri dan beasisawa, namun akibat penyerangan Israel di Gaza, keluarga mereka tidak lagi bisa memngirimkan biaya pendidikan, makanya mereka mengalami kendala keuangan,” jelas Lukman. Dihadapan Presdir INH, keliama calon dokter tersebut berjanji akan mendedikasikan ilmu dan tenaganya sebagai dokter untuk membantu warga Gaza yang mengalami luka akibat penyerangan tentara IDF di Jalur Gaza yang kini telah luluh lantah. “Alhamdulillah, Insya Allah setelah kami semua menyelesaikan administrasi kami akan pulang ke negara kami dan kami akan bekerja secara sosial untuk membantu saudara-saudara kami di Gaza,” ucap Muhammad Asyraf. Asyraf mengaku berterimakasih kepada INH dan masyarakat Indonesia yang selalu peduli dan membantu warga Palestina khusunya di Jalur Gaza, entah kepada siapalagi mereka akan berharap karena penyerangan Israel di Jalur Gaza sudah sangat memprihatinkan dan telah merenggut korban jiwa sangat banyak. Tak hanya korban yang sahid, kata Asyraf penyerangan Israel kali ini lebih ditepat disebut sebagai tindakan genosida pasalnya, Israel selalu berambisi ingin melenyapkan entitas warga Palestina di Jalur Gaza. (***)
-
NewsINH, Gaza – Selama bertahun-tahun, Alex de Waal telah meneliti dan menulis tentang krisis pangan dan bencana kelaparan di seluruh dunia. Namun, kondisi yang diciptakan Israel saat ini di Jalur Gaza adalah sesuatu yang belum pernah ia temui sebelumnya. Pada Senin, Inisiatif Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu, atau IPC, mengeluarkan laporan baru yang memperingatkan bahwa kelaparan kini “sedang terjadi” di Gaza, dengan 1,1 juta — atau setengah populasinya — ” menghadapi tingkat kelaparan yang sangat parah. Laporan tersebut menunjukkan bahwa situasinya telah memburuk secara signifikan sejak penilaian terakhir pada Desember. Dan, jika Israel melanjutkan strategi mematikannya, jumlah orang yang mengalami kondisi tersebut akan meningkat dua kali lipat pada Juli. “Saya tidak bisa membayangkan kejadian yang bisa secepat ini,” kata De Waal dalam wawancara dengan Anadolu tentang situasi di Gaza, di mana Israel telah membunuh lebih dari 31.600 warga Palestina sejak 7 Oktober dan menyebabkan jutaan lainnya ke jurang kelaparan. Dalam 6 bulan terakhir, serangan Israel telah menyebabkan 85 persen penduduk Gaza mengungsi dan kekurangan makanan, air, obat-obatan, serta kebutuhan hidup lainnya. Angka terbaru menunjukkan hampir 30 warga Palestina, termasuk anak-anak, meninggal dunia karena kekurangan gizi dan dehidrasi. Kelaparan massal biasanya merupakan “proses yang lambat” dan membutuhkan “waktu lama,” terutama di wilayah di mana terdapat produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup, kata De Waal, yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif World Peace Foundation di Universitas Tufts, Amerika Serikat. Di Gaza, Israel telah menerapkan taktik kelaparan massal “di (wilayah) yang sangat terkonsentrasi secara geografis… dan dengan cara yang sangat cepat, luar biasa cepatnya,” dia menjelaskan. Menurut data pada akhir November atau awal Desember, kurang dari satu persen anak-anak menderita gizi buruk akut yang parah. Hanya dalam kurun 2 bulan, lebih dari separuh populasi Gaza diturunkan ke status darurat atau lebih buruk lagi, dan “sepengetahuan saya, hal ini belum pernah terjadi pada kecepatan seperti itu,” kata dia. Israel melancarkan serangan militer mematikan di Gaza sejak serangan lintas batas yang dilakukan kelompok Hamas Palestina pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan hampir 1.200 orang. Lebih dari 31.600 warga Palestina — sebagian besar perempuan dan anak-anak — sejak saat itu telah tewas di daerah kantong tersebut, dan hampir 73.700 orang lainnya luka-luka di tengah kehancuran massal dan kelangkaan kebutuhan bahan pokok. Perang Israel telah memaksa 85 persen penduduk Gaza menjadi pengungsi di tengah blokade yang melumpuhkan terhadap sebagian besar makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur daerah itu telah rusak atau hancur, menurut PBB. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi anak-anak UNICEF mengatakan 13.000 anak terbunuh akibat serangan Israel di Gaza. Adapun banyak anak yang bertahan hidup mengalami malnutrisi akut dan “bahkan tidak memiliki tenaga untuk menangis.” Kelaparan Sebagai Senjata Menyatakan suatu daerah dilanda kelaparan adalah proses teknis dan bisa terhambat oleh akses terhadap data dan kendala politik, kata De Waal. Di negara-negara seperti Ethiopia, Nigeria, dan Yaman, terlihat bahwa pihak berwenang tidak ingin mendeklarasikan kelaparan terjadi di sana dan menghalangi akses terhadap data, kata dia. “Saya yakin, Israel akan sangat mirip… Mereka (Israel) tidak menginginkan deklarasi kelaparan,” kata De Waal. Pihak berwenang Israel mungkin mengeluarkan argumen dengan menyatakan “metode analisisnya tidak benar-benar teliti,” dan itu mungkin ada benarnya, kata dia. “Akan tetapi hal ini tidak boleh mengaburkan fakta bahwa meskipun tidak ada cukup data untuk menyatakan kelaparan, terdapat bukti yang sangat besar mengenai bencana yang sedang terjadi,” ujarnya. Poin kuncinya, menurut dia, adalah “tindakan mempergunakan kelaparan bukan berarti orang-orang harus mati.” “Yang perlu Anda lakukan untuk bertanggung jawab adalah dengan mencabut hak mereka. Jadi, meski tidak ada kelaparan, bukan berarti kelaparan tidak digunakan sebagai senjata,” katanya. Tindakan Netanyahu dan Assad mirip De Waal mengatakan ada beberapa contoh konflik di masa lalu di mana kelaparan digunakan sebagai senjata, salah satunya adalah di Suriah. “Tindakan Pemerintahan Netanyahu dan tindakan Pemerintahan Assad sangat mirip,” kata dia. Perbedaannya adalah Israel melakukannya dalam skala yang lebih besar dan cepat. Di tempat-tempat lain seperti Yamah dan wilayah Tigray di Ethiopia, De Waal menunjukkan bahwa “keduanya sangat berbeda karena populasinya jauh lebih besar dan juga perdesaan, tersebar di wilayah yang jauh lebih luas.” Ia juga menekankan bencana kelaparan di Gaza akan berdampak generasi ke generasi bagi warga Palestina. “Saat populasi — khususnya anak-anak — berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan, Anda tidak bisa membalikkan begitu saja. Jadi, pembunuhan mungkin berhenti, tetapi kematian akan terus berlanjut,” katanya. Belum lagi, rekonstruksi agar Gaza dapat dihuni kembali akan membutuhkan upaya yang besar dan waktu yang lama. “Anak dalam kandungan atau anak kecil yang terpapar secara fisik akan tumbuh tanpa kemampuan fisik yang utuh. Mereka akan menjadi lebih pendek, tidak akan mempunyai kemampuan mental, mereka tidak akan berkembang sepenuhnya. “Jadi akan ada dampaknya pada generasi berikutnya, bahkan mungkin dua generasi,” kata De Waal. Contohnya, ada penelitian yang dilakukan terhadap penyintas bencana kelaparan musim dingin di Belanda pada 1944 dan 1945 yang menunjukkan betapa anak-anak yang masih sangat kecil saat ini lebih pendek dibandingkan kakak dan adiknya. “Mereka tidak memiliki kualitas pendidikan yang sama,” kata De Waal. Trauma psikologis juga tentunya akan terus berlanjut dari generasi ke generasi, tambahnya. “Itu karena, kekerasan yang terjadi jelas sangat traumatis, namun kelaparan juga merupakan hal psikologis yang sangat traumatis,” kata De Waal. Sumber: Antara
-
NewsINH, Jakarta – Krisis kamanusiaan akibat bencana perang di jalur Gaza, Palestina mengundang perhatian dunia internasional, termasuk Indonesia. Negara dengan populasi muslim terbesar didunia ini terus berdiri dan berjuang bersama rakyat Palestina dalam mendapatkan hak kemerdekaanya. Namun sayangnya, tak semuda apa yang dibayangkan dalam mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Jalaur Gaza, Palestina. Padahal, jutaan rakyat Palestina di Jalur Gaza kini tengah menanti bantuan kemanusiaan dari masyarakat dunia. Pasalnya, serangan yang dilancarkan militer Israel saat ini telah merusak dan memporak porandakan wilayah yang telah terblokade sejak tahun 2005 silam. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI), Lalu Muhamad Iqbal, mengungkapkan alur pengiriman bantuan yang akan didistribusikan ke Gaza. Proses pengiriman tersebut melalui banyak tahap dengan bantuan dari pihak-pihak lain yang sudah diverifikasi. Iqbal menyatakan, bantuan yang ditujukan untuk warga Gaza semuanya dikumpulkan di Mesir. Kemudian pengiriman ini akan diangkut oleh lembaga kemanusian Bulan Sabit Merah Mesir. Setelah memasuki perbatasan Rafah, bantuan pun dilanjutkan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) untuk dibawa ke dalam wilayah kantung Palestina. “Kami hanya kirim ke Mesir, karena dekat dengan perbatasan Rafah. Baru diteruskan Bulan Sabit karena cuma mereka yang authorization, baru sampe Gaza diserahkan ke UNWRA,” ujar Iqbal memberikan penjelasan kepada awak media pada Rabu (1/11/2023) kemarin. Menurut Iqbal, lembaga-lembaga kemanusian tersebut memang yang memiliki mandat untuk mengangkut bantuan agar bisa melewati perbatasan Rafah dan didistribusikan ke warga Gaza. Mereka pun telah sepakat untuk bermitra dengan Indonesia. Bantuan pertama dari Indonesia diperkirakan akan dikirim ke Mesir pada akhir pekan ini. Pengiriman ini merupakan hasil dari sumbangan pemerintah dan warga Indonesia yang menyalurkannya kepada lembaga-lembaga yang sudah bekerja sama dengan Kemlu. Iqbal menyatakan, lembaga yang secara resmi bekerja sama dengan Kemlu untuk menyalurkan bantuan adalah Palang Merah Indonesia (PMI), Humanitarian Forum Indonesia, dan Baznas. “Ini mitra kami menyalurkan bantuan dan kumpulkan dana tersebut,” ujar Iqbal. PMI telah mengumpulkan Rp2.9 miliar dan akan diberikan dalam bentuk hygiene kit, kantong mayat, genset. Direncanakan akan ada tabung oksigen yang dikirimkan dalam bantuan jika memang diperbolehkan oleh otoritas terkait. Sedangkan Humanitarian Forum Indonesia telah mengumpulkan Rp5 miliar dan akan disalurkan dalam beberapa tahap. Pada tahap pertama ini akan disalurkan dalam bentuk makan siap saji yang dapat bertahan hingga enam bulan, selimut, dan matras senilai Rp2.5 miliar. Baznas telah berhasil mengumpulkan Rp10 miliar dalam tiga hari penggalangan dana untuk bantuan ke Gaza. Penyaluran tahap pertama akan dirilis sebesar Rp1.7 miliar dalam bentuk makanan, obat-obatan, kebutuhan dapur, pakaian dingin, dan selimut. Sementara itu, sejumlah lembaga Non Goverment Organization (NGO) yang memiliki kepedulian terhadap penderitaan bangsa Palestina di Indonesia juga jumlahnya sangat besar. Bahkan, secara langsung mereka telah mendistribusikan ke wilayah kantong-kantong pengungsi Palestina khusunya di Gaza. Salah satunya adalah, Lembaga Kemanusiaan International Networking for Humanitarian (INH) yang telah sejak awal terjadinya agresi Israel di jalur Gaza sudah menyalurkan bantuan kemanusiaan baik logistik berupa makanan, kupon belanja maupun bantuan kemanusiaan lainya. (***)
-
NewsINH, Irlandia – Menteri Luar Negeri Irlandia Micheal Martin, bereaksi atas pembunuhan yang dilakukan oleh militer Israel terhadap 13 warga Palestina di Jalur Gaza kemarin. Dalam serangan yang mematikan itu juga menewaskan termasuk empat anak dan empat wanita. Tak hanya soal aksi pengerahan kekuatan militer, Menlu Irlandia juga menyayangkan tindakan otoritas Israel yang telah melakukan penghancuran sejumlah sekolah milik Palestina yang berada disejumlah wilayah di Tepi Barat. “Kami juga terganggu oleh penghancuran sekolah dasar Jibb al-Deeb yang didanai Uni Eropa pada 7 Mei oleh Israel, dekat kota Bethlehem di Tepi Barat selatan,” kata Martin. Menurutnya, sangat disesali atas hilangnya nyawa di Gaza. Pasalnya, pembunuhan terhadap warga sipil, termasuk anak-anak, tidak pernah dapat diterima. Tindakan ini berisiko meningkatkan situasi dan mengarah pada kekerasan lebih lanjut. Dia menekankan bahwa situasi keamanan yang memburuk sekali lagi menyoroti kebutuhan untuk memulihkan cakrawala politik dan proses perdamaian yang kredibel. Tentang penghancuran sekolah tempat 60 siswa Palestina kelas satu dan empat belajar, Menteri Luar Negeri Irlandia mengatakan dia terganggu oleh pembongkaran tersebut dan meminta Israel untuk tidak melanjutkan penghancuran karena puluhan sekolah lainnya juga menjadi sasaran penghancuran. “Saya juga terganggu oleh penghancuran pada 7 Mei oleh otoritas Israel atas sekolah yang didanai Uni Eropa di Tepi Barat yang diduduki. Tindakan seperti itu berdampak negatif terhadap pendidikan penting bagi anak-anak Palestina,” katanya. Ia mendesak Israel untuk tidak melanjutkan penghancuran dan menghentikan semua kegiatan pemukiman. Irlandia, tambahnya, adalah bagian dari kelompok Negara Anggota UE yang mengejar kompensasi untuk struktur kemanusiaan yang dihancurkan. Sumber: Wafa #DonasiPalestina