-
NewsINH, Gaza – Dua bulan lebih Jalur Gaza Palestina dibombardir serdadu Israel, jumlah korban jiwa saatini telah mencapai 20 ribu orang, lebih dari setengahnya merupakan anak-anak dan perempuan. Angka yang sangat fantastis ini dinilai sangat mengecewakan. Perserikatan bangsa Bangsa atau BB menyebut jumlah korban meninggal tak dapat diterima. “Jumlah korban jiwa dalam peperangan di Jalur Gaza yang kini sudah menembus 20 ribu, angka tersebut tak dapat diterima,” kata Juru Bicara PBB Stephane Dujarric seperti dikutip dari republika, Kamis (21/12/2023). Ia menyuarakan keprihatinan atas melonjaknya jumlah korban jiwa dalam peperangan di Jalur Gaza yang kini sudah menembus 20 ribu. “Jumlahnya tidak dapat diterima dan sangat besar serta tidak jelas, dan kata sifat apa pun yang ingin Anda gunakan selama beberapa waktu,” katanya. Oleh sebab itu, dia menyerukan agar gencatan senjata kembali diterapkan di Gaza. “Kami ingin senjata tidak lagi digunakan karena kami dapat menjangkau masyarakat Gaza yang paling membutuhkan bantuan saat ini,” ujar Dujarric. Dia pun mengomentari tentang kembali tertundanya proses pemungutan suara rancangan resolusi berisi seruan gencatan senjata dan penghentian permusuhan Gaza di Dewan Keamanan PBB. Menurut Dujarric, proses pembahasan terus berlangsung di badan beranggotakan 15 negara tersebut. “Posisi Sekretaris Jenderal (PBB) tidak berubah. Dia menyerukan gencatan senjata kemanusiaan, dan juga menyerukan terciptanya kondisi di lapangan yang kondusif untuk pengiriman bantuan kemanusiaan yang lebih luas,” kata Dujarric. Dujarric sempat merespons pertanyaan wartawan yang mempertanyakan apakah PBB badan yang dapat dipercaya untuk memantau pengiriman bantuan ke Gaza. “Saya tidak akan memasukkan kami ke dalam diskusi yang sedang berlangsung di Dewan (Keamanan) karena kami tahu betapa rumitnya hal tersebut,” jawab Dujarric. “Apa yang dapat saya sampaikan kepada Anda adalah bahwa di seluruh dunia, PBB melakukan pekerjaan kemanusiaannya berdasarkan prinsip-prinsip ketidakberpihakan, dan hal itu terjadi di setiap sudut dunia dan kami akan terus melakukannya dengan cara yang sama,” tambahnya. Hingga Rabu, (20/12/2023), jumlah warga Gaza yang terbunuh akibat agresi Israel telah menembus 20 ribu jiwa. Sementara korban luka hampir mencapai 53 ribu orang. Jumlah itu dihitung sejak Israel memulai agresinya ke Gaza pada 7 Oktober 2023. (***)
-
NewsINH, Gaza – Kisa pilu dan penderitaan jutaan warga Palestina yang tinggal di Jalur Gaza takan pernah habis. Serangan jet udara dan artileri militer Israel ke Jalur Gaza semakin sengit dan brutal. Tak hanya merusak gedung dan tempat tinggal warga. Otoritas Israel dengan sengaja menghentikan suplai listrik dan bahan bakar ke wilayah tersebut. Mirisnya lagi, akibat kekurangan pasokan listrik ke Jalur Gaza dapat dipastikan akan mengancam kehidupan bayi prematur. Bahkan tercatat 50.000 wanita hamil di Gaza tak dapat mengakses layanan kesehatan penting. Seperti dikutip dari laman Republika, Senin (23/10/2023) seorang bayi prematur menggeliat di dalam inkubator kaca di bangsal neonatal Rumah Sakit al-Aqsa di Jalur Gaza tengah. Dia menangis saat saluran infus terhubung ke tubuh mungilnya. “Para dokter yang merawat bayi prematur di seluruh Gaza juga bergulat dengan ketakutan serupa. Setidaknya 130 bayi prematur berada pada risiko besar di enam unit neonatal,” kata pekerja bantuan. Sebuah ventilator membantunya bernapas saat kateter memberikan obat dan monitor menunjukkan tanda-tanda vitalnya yang rapuh. Hidup bayi prematur itu bergantung pada aliran listrik yang konstan. Aliran listrik terancam habis dalam waktu dekat kecuali rumah sakit bisa mendapatkan lebih banyak bahan bakar untuk generatornya. Direktur rumah sakit, Iyad Abu Zahar khawatir jika listrik berhenti menyala, bayi-bayi di bangsal neonatal itu yang tidak dapat bernapas sendiri, dan mereka akan binasa. “Tanggung jawab kami sangat besar,” kata Abu Zahar. Abu Zahar khawatir berapa lama fasilitasnya bisa bertahan. “Jika generator mati, yang kami perkirakan dalam beberapa jam mendatang karena banyaknya permintaan dari berbagai departemen di rumah sakit, inkubator di unit perawatan intensif akan berada dalam situasi yang sangat kritis,” kata Abu Zahar. Kekurangan bahan bakar yang berbahaya ini disebabkan oleh blokade Israel terhadap Gaza, yang dimulai bersamaan dengan serangan udara, setelah kelompok perlawanan Palestina Hamas menyerang kota-kota Israel pada 7 Oktober. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya 50.000 wanita hamil di Gaza tidak dapat mengakses layanan kesehatan penting, dan sekitar 5.500 akan melahirkan dalam bulan mendatang. Setidaknya tujuh dari hampir 30 rumah sakit terpaksa ditutup karena kerusakan akibat serangan Israel yang tiada henti serta kurangnya listrik, air, dan pasokan lainnya. Para dokter di rumah sakit lainnya mengatakan mereka berada di ambang krisis. Sementara Badan PBB untuk Pengungsi Palestina pada Ahad (22/10/2023) mengatakan, mereka memiliki cukup bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan penting selama tiga hari. “Dunia tidak bisa hanya melihat bayi-bayi ini terbunuh akibat pengepungan di Gaza. Kegagalan untuk bertindak berarti menghukum mati bayi-bayi ini,” kata Melanie Ward, kepala eksekutif kelompok bantuan Bantuan Medis untuk Palestina. Tak satu pun dari 20 truk bantuan yang menyeberang ke Gaza pada Sabtu (21/10/2023) membawa muatan bahan bakar. Persediaan bahan bakar yang terbatas di Gaza dikirim ke generator rumah sakit. Tujuh tanker mengambil bahan bakar dari depot PBB di sisi perbatasan Gaza, namun tidak diketahui apakah tanki itu ada yang ditujukan untuk rumah sakit. Juru bicara WHO, Tarik Jašarević mengatakan, 150.000 liter (40.000 galon) bahan bakar diperlukan untuk memberikan layanan dasar di lima rumah sakit utama di Gaza. Koordinator medis untuk Doctors Without Borders di wilayah Palestina, Guillemette Thomas mengatakan, beberapa bayi bisa meninggal dalam beberapa jam. Sementara beberapa lainnya dapat meninggal dalam beberapa hari, jika mereka tidak menerima perawatan khusus dan pengobatan yang sangat mereka perlukan. “Pastinya bayi-bayi ini berada dalam bahaya. Merawat bayi-bayi ini merupakan keadaan darurat yang nyata, sama halnya dengan keadaan darurat untuk merawat penduduk Gaza yang menderita akibat pemboman ini sejak dua minggu terakhir,” ujar Thomas. Thomas mengatakan, Rumah Sakit al-Aqsa harus merawat pasien di Gaza utara dan tengah sejak beberapa rumah sakit lainnya ditutup, sehingga memaksa rumah sakit tersebut untuk melipatgandakan kapasitas pasiennya. Hal ini juga membebani keterbatasan listrik. Thomas mengatakan, banyak wanita yang telah melahirkan di sekolah-sekolah yang dikelola PBB. Sekolah itu menjadi tempat penampungan sementara bagi puluhan ribu pengungsi yang mencari perlindungan. “Para wanita ini berada dalam bahaya, dan bayi-bayi mereka juga berada dalam bahaya saat ini. Itu adalah situasi yang sangat kritis,” ujar Thomas. Nisma al-Ayubi membawa putrinya yang baru lahir ke Rumah Sakit al-Aqsa dari Nuseirat, tempat dia baru-baru ini mengungsi dari Gaza utara, setelah dia menderita kekurangan oksigen dan rasa sakit yang luar biasa. Bayi perempuan itu lahir tiga hari lalu tetapi mengalami komplikasi. “Rumah sakit kekurangan persediaan. Kami khawatir jika situasinya memburuk, tidak akan ada lagi obat yang bisa menyembuhkan anak-anak kami,” ujar al-Ayubi. Masalah ini diperparah dengan banyaknya air kotor yang terpaksa digunakan sejak Israel memutus pasokan air. Abu Zahar menyatakan, para ibu mencampurkan susu formula dengan air yang terkontaminasi untuk memberi makan bayi mereka. Hal ini berkontribusi pada peningkatan kasus kritis di bangsal. Di Rumah Sakit al-Awda, sebuah fasilitas swasta di Jabalia utara, hingga 50 bayi dilahirkan hampir setiap hari. Direktur rumah sakit, Ahmed Muhanna mengatakan, rumah sakit tersebut menerima perintah evakuasi dari militer Israel, namun mereka menolak dan tetap beroperasi. “Situasinya tragis dalam segala hal. Kami mencatat defisit besar pada obat-obatan darurat dan anestesi, serta pasokan medis lainnya,” ujar Muhanna. Untuk menjatah persediaan yang semakin menipis, Muhanna mengatakan, semua operasi yang dijadwalkan telah dihentikan. Rumah sakit mengerahkan seluruh sumber daya untuk keadaan darurat dan persalinan. Sementara kasus neonatal yang kompleks dikirim ke Rumah Sakit al-Aqsa. Al-Awda memiliki bahan bakar yang cukup untuk bertahan paling lama empat hari. “Kami telah mengimbau banyak lembaga internasional, Organisasi Kesehatan Dunia, untuk memasok bahan bakar ke rumah sakit, tetapi sejauh ini tidak berhasil,” kata Muhanna. (***) Sumber: Republika/AP
-
NewsINH, Gaza – Serangan udara dan darat terus dilakukan oleh militer Israel disejumlah wilayah di Jalur Gaza, Palestina. Bombardir tak berperikemanusiaan yang terus dilancarkan pasukan Israel telah membunuh sedikitnya 500 anak-anak Palestina. Jumlah ini merupakan pembunuhan anak-anak Palestina paling banyak sepanjang sejarah penjajahan Israel di tanah Palestina. Dilansir dari republika, Jumat (13/10/2023) Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza mencatat sebanyak 1.537 warga meninggal akibat pengeboman Israel sejak Sabtu pekan lalu. Dari jumlah itu, 500 diantaranya adalah anak-anak dan 276 perempuan, serta 6.612 orang mengalami luka-luka. Sementara itu, korban tewas Israel akibat Operasi Badai Al-Aqsa yang dilancarkan oleh sayap bersenjata kelompok Hamas Palestina, Brigade Al-Qassam, telah mencapai 1.300 orang. Sedangkan jumlah korban luka dilaporkan 3.300 orang, seperti dilansir Israel Public Broadcasting Korporasi (KAN). KAN juga mengatakan, 350 warga Israel yang terluka berada dalam kondisi kritis. Pejabat Israel menyatakan ada anak-anak yang terbunuh dalam serangan Hamas pada Sabtu pekan lalu. Kendati demikian, sejauh ini jumlahnya tak terverifikasi. Klaim bahwa pasukan Hamas memenggal bayi-bayi di Israel seperti yang ikut digaungkan Presiden AS Joe Biden juga diakui tak ada buktinya. Jumlah anak-anak yang gugur di Gaza kemungkinan masih bertambah menyusul kelakuan Israel yang tak hanya membombardir Gaza tapi juga memutus seluruh akses kebutuhan hidup ke wilayah yang diblokade sejak 16 tahun lalu itu. Sementara jumlah yang dibunuh Israel tahun ini sudah melampaui jumlah korban anak-anak dalam penyerangan sebelumnya. Pada Agustus 2022, 44 anak-anak Palestina dibunuh di Gaza, lima diantaranya dibantai tentara Israel saat mengunjungi makam kakek mereka di Falluja. Pada Mei 2021, 68 anak-anak Palestina dibunuh Israel di Gaza. Pada Juli-Agustus 2014, 459 anak dibunuh bom Israel di Gaza. Baru saja pada Mei lalu, lima anak-anak juga dibunuh bom Israel di Gaza. Sepanjang 2023 ini, tentara Israel menembak mati 34 anak-anak dan remaja di Tepi Barat. Konflik dimulai pada hari Sabtu ketika Hamas memulai Operasi Banjir Al-Aqsa terhadap Israel, sebuah serangan mendadak multi-cabang yang mencakup rentetan peluncuran roket dan infiltrasi ke Israel melalui darat, laut dan udara. Hamas mengatakan operasi tersebut merupakan upaya penghabisan membebaskan Palestina dari penindasan berpuluh tahun Israel yang telah menewaskan ribuan warga Palestina termasuk lebih dari 2.000 anak-anak. Hamas juga berdalih penyerangan sebagai pembalasan atas penyerbuan Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur yang diduduki dan meningkatnya kekerasan pemukim Israel terhadap warga Palestina. Militer Israel kemudian melancarkan Operasi Pedang Besi terhadap sasaran Hamas di Jalur Gaza. Respons Israel meluas hingga memotong pasokan air dan listrik ke Gaza, yang semakin memperburuk kondisi kehidupan di wilayah yang terkepung sejak tahun 2007. Kamar mayat di rumah sakit terbesar di Gaza penuh sesak pada Kamis karena jenazah datang lebih cepat daripada yang dapat diterima oleh kerabat mereka pada hari keenam pemboman udara besar-besaran Israel di wilayah berpenduduk 2,3 juta orang itu. Dengan banyaknya warga Palestina yang terbunuh setiap hari dalam serangan Israel, petugas medis di daerah kantong yang terkepung mengatakan mereka kehabisan tempat untuk menyimpan sisa-sisa yang diambil dari serangan terbaru atau yang diambil dari reruntuhan bangunan yang hancur. Kamar mayat di rumah sakit Al Shifa di Kota Gaza hanya mampu menampung sekitar 30 jenazah dalam satu waktu, dan para pekerja harus menumpuk tiga jenazah di luar ruang pendingin dan meletakkan lusinan jenazah lagi, secara berdampingan, di tempat parkir. Ada yang ditaruh di tenda, ada pula yang tergeletak di atas semen, di bawah sinar matahari. “Kantong jenazah mulai berdatangan dan terus berdatangan dan sekarang menjadi kuburan,” kata Abu Elias Shobaki, perawat di Shifa, tentang tempat parkir. “Saya lelah secara emosional dan fisik. Saya hanya harus menahan diri untuk tidak memikirkan betapa buruknya keadaan yang akan terjadi.” Sementara, Israel bersiap menghadapi kemungkinan invasi darat ke Gaza untuk pertama kalinya dalam hampir satu dekade. Serangan darat kemungkinan akan meningkatkan jumlah korban jiwa warga Palestina, yang telah melampaui empat perang berdarah terakhir antara Israel dan Hamas. Banyaknya korban jiwa yang berdatangan telah mendorong sistem ini mencapai batas kemampuannya di wilayah yang telah lama diblokade. Rumah sakit di Gaza kekurangan pasokan pada saat normal, namun kini Israel telah menghentikan aliran air dari perusahaan air nasionalnya dan memblokir aliran listrik, makanan, dan bahan bakar ke wilayah pesisir tersebut. “Kami berada dalam situasi kritis,” kata Ashraf al-Qidra, juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza. “Ambulans tidak bisa menjangkau korban luka, korban luka tidak bisa mendapatkan perawatan intensif, korban meninggal tidak bisa dibawa ke kamar mayat.” Di lapangan, kisah-kisah yang keluar dari warga Palestina memilukan hati. Salah satunya datang dari Muhammad Ahmed. Ia menuturkan, meninggalkan rumah untuk bekerja pada Rabu dari kamp pengungsi Jabalia di utara Gaza, istri dan anak-anaknya sempat khawatir dia akan menjadi korban pemboman Israel. Sekitar tiga puluh menit setelah istrinya mengirim pesan kepadanya untuk memeriksa apakah dia baik-baik saja, dua serangan udara Israel merobohkan bangunan tempat tinggal tiga lantai mereka. Serangan itu membunuh seluruh keluarganya, termasuk istri dan anak-anaknya, saudara kandung, keponakan laki-laki, dan saudari iparnya. Ahmed, yang bekerja memasok air minum ke warga Gaza, kembali ke rumah dan mendapati rumahnya hancur menjadi puing-puing. Keempat anaknya, Haidi (1 tahun), Qussai (3), Sidra (6), dan Linda (7), sedang bermain dengan sepupu mereka yang berusia dua tahun, Ubaida, ketika rumah mereka dibom pada pukul 11.30 waktu setempat. “Sidra sangat ketakutan. Dia merasa ngeri dengan suara bom tersebut. Tapi saudara perempuannya, Linda, selalu menghiburnya,” kata Ahmed kepada Middle East Eye. “Saat saya berangkat kerja, dia dan ibunya khawatir saya akan terbunuh. Tapi mereka malah pergi duluan.” Ahmed mengatakan bahwa keponakannya yang berusia satu bulan, Yamen, ditemukan meninggal dalam posisi menyusui ibunya di bawah reruntuhan. “Yamen menderita meningitis dan saya membawanya ke dokter sehari sebelumnya. Dia baru berusia satu bulan dan dia sedang disusui ketika serangan udara menghantam rumahnya,” tambah Ahmed. “Awak pertahanan sipil membutuhkan waktu berjam-jam hingga mereka dapat mengambil jenazah mereka karena gedung tiga lantai berada di atas mereka,” lanjutnya. “Sampai saat ini, jenazah adik saya Haifa yang berprofesi sebagai insinyur masih tertimbun reruntuhan.” Ditarik dari reruntuhan rumahnya di Jabalia, bersama dengan sekitar 100 orang lainnya yang gugur atau terluka, seorang bayi berusia tiga bulan selamat namun sempat tak diketahui keberadaannya selama berjam-jam. Dalam upaya menyatukan kembali bayi tersebut dengan keluarganya, Kementerian Kesehatan di Gaza merilis video di mana seorang dokter mendekatkan …
-
NewsINH, Riyadh — Innalillahi, sebanyak delapan orang yang merupakan jemaah umroh meninggal dunia sementara enam lainnya terluka dalam insiden kebakaran di salah satu hotel di Kota Makkah, Arab Saudi. Demikian Kantor Luar Negeri (FO) melaporkan seperti dilansir pada Ahad (21/5/2023). “Dalam insiden kebakaran di sebuah hotel di Mekah, kami memiliki laporan delapan kematian dan enam yang terluka, semua dari Pakistan dalam insiden tersebut,” kata FO dalam sebuah pernyataan dilansir dari Gilf Today, Ahad (21/5/2023). “Misi kami di Jeddah berhubungan dengan otoritas lokal untuk memberikan bantuan kepada para korban dan keluarga mereka.” Perdana Menteri Shahbaz Sharif mengungkapkan kesedihan yang mendalam atas kematian para jemaah umroh asal Pakistan itu. Ia menyatakan belasungkawa dan simpatinya dengan keluarga yang berduka. Menurut Radio Pakistan, Shahbaz mengarahkan Kementerian Agama untuk memberikan fasilitas medis terbaik kepada yang terluka dan juga memfasilitasi keluarga almarhum. Menurut Dawn News, Gubernur Sindh Kamran Tessori juga menyampaikan belasungkawa dan mengatakan dia berdiri dengan keluarga yang berduka di momen kesedihan ini. Sumber: Republika
-
NewsINH, Ramallah – Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh menuding kunjungan pejabat sayap kanan Israel ke situs suci di kota tua Al Quds atau Yerusalem yang diperebutkan pada awal pekan ini sebagai upaya untuk mengubah masjid Al Aqsa “menjadi kuil Yahudi.” Di depan kabinetnya, Shtayyeh juga meminta warga Palestina untuk bersiap menghadapi gelombang serbuan kaum yahudi Israel ke Masjid al-Aqsa setelah Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir melakukan tur keliling kompleks masjid. Sementara itu, pihak Israel menyangkal memiliki rencana itu, Ben-Gvir pernah menganjurkan untuk mengakhiri larangan doa bagi umat Yahudi di situs tersebut, tetapi setelah bergabung dalam kabinet baru Israel yang dipimpin oleh Benyamin Netanyahu, Ia justru melanggar komitmennya pada masalah tersebut. Pasalnya, beberapa anggota lain dari partai Kekuatan Yahudinya masih menganjurkan langkah seperti itu. Bangkitnya Ben-Gvir dalam pemerintahan Netanyahu, salah satu sayap paling kanan dalam sejarah Israel, telah memperdalam kemarahan bagi bangsa Palestina atas upaya mereka yang telah lama gagal untuk mengamankan sebuah negara. Beberapa jam sebelum kunjungan itu, pasukan Israel menembak mati seorang remaja Palestina dalam bentrokan di dekat Bethlehem, kata pejabat medis dan saksi mata, yang terbaru dalam jumlah korban tewas yang terus bertambah di Tepi Barat. Tentara Israel mengatakan pasukan menembaki warga Palestina yang melemparkan bahan peledak improvisasi, batu dan bom molotov ke arah mereka. Seorang juru bicara Hamas, sebuah kelompok Palestina yang menolak koeksistensi dengan Israel dan yang mengontrol wilayah jalur Gaza, mengatakan tentang kunjungan Ben-Gvir. “Kelanjutan dari perilaku ini akan membawa semua pihak lebih dekat ke bentrokan besar.” tegasnya. Sumber: Al-Arabiya #Donasi Palestina