-
NewsINH, Gaza – Sekitar 30.000 orang berdesakan di setiap kilometer persegi di Gaza di tengah perintah evakuasi Israel untuk penduduk wilayah tersebut, kata badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) pada Rabu (8/22/2024). “Operasi militer berkepanjangan dan perintah evakuasi berulang kali telah memaksa keluarga-keluarga di Jalur Gaza berulang kali mengungsi,” kata badan PBB tersebut dalam sebuah pernyataan. Ribuan warga sipil Palestina yang mengungsi memulai evakuasi dari daerah mereka di bagian timur Deir al-Balah di Jalur Gaza tengah pada Rabu setelah perintah evakuasi terbaru dari Israel. Wilayah tersebut sebelumnya telah ditunjuk sebagai “zona aman” bagi warga sipil, tetapi tentara Israel memerintahkan penduduk untuk meninggalkannya menjelang operasi militer terbaru di sana. Juru bicara militer Israel Avichay Adraee mengatakan bahwa beberapa lingkungan di Deir al-Balah kini dianggap sebagai “zona pertempuran berbahaya,” dan meminta warga bergerak ke arah barat sebelum serangan berikutnya di daerah tersebut. “Banyak yang mencari perlindungan di bagian Al Mawasi, di mana sekitar 30.000 orang berdesakan di setiap km persegi,” kata UNRWA, merujuk pada wilayah yang ditunjuk oleh tentara Israel sebagai “zona aman” bagi warga sipil Palestina. “Sebelum perang, hanya ada 1.200 orang per km persegi,” tambahnya. Pekan lalu, UNRWA mengatakan bahwa Israel telah mengurangi “zona aman kemanusiaan” yang disebut di Gaza menjadi hanya 11 persen dari wilayah tersebut, menyebabkan kepanikan dan ketakutan yang meluas di antara orang-orang yang mengungsi. Menurut kantor media pemerintah Gaza, dua juta orang di Gaza telah mengungsi akibat serangan Israel yang sedang berlangsung di wilayah tersebut. Israel terus melakukan serangan brutal di Jalur Gaza setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera. Serangan tersebut telah menyebabkan lebih dari 40.200 kematian warga Palestina, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, dan hampir 93.000 luka-luka, menurut otoritas kesehatan setempat. Blokade yang sedang berlangsung di Gaza telah menyebabkan kekurangan parah makanan, air bersih, dan obat-obatan, yang meninggalkan sebagian besar wilayah tersebut dalam kehancuran. Israel menghadapi tuduhan genosida di Pengadilan Internasional, yang telah memerintahkan penghentian operasi militer di kota Rafah di selatan, di mana lebih dari satu juta warga Palestina telah mencari perlindungan sebelum daerah tersebut diserbu pada 6 Mei. Sumber: Republika
-
NewsINH, Gaza – Israel telah membunuh atau melukai sedikitnya 31 pekerja kemanusiaan di Gaza sejak Oktober dalam setidaknya delapan serangan yang mengabaikan koordinat posisi mereka, kata Human Rights Watch (HRW), Selasa, (14/5/2024). “Pasukan Israel telah melakukan setidaknya delapan serangan terhadap konvoi dan lokasi pekerja bantuan di Gaza sejak Oktober 2023,” kata lembaga swadaya masyarakat asal AS yang mengawasi penegakan hak asasi manusia itu. Israel tetap melakukan serangan, “meskipun kelompok bantuan telah memberikan koordinat mereka kepada otoritas Israel untuk memastikan perlindungan mereka,” kata HRW dikutip Anadolu. HRW mengungkapkan, pihak berwenang Israel tidak mengeluarkan peringatan terlebih dahulu kepada organisasi kemanusiaan yang berada di lapangan sebelum serangan-serangan tersebut. Sehingga menewaskan atau melukai sedikitnya 31 pekerja kemanusiaan dan orang-orang yang bersama mereka. Delapan insiden tersebut antara lain penyerangan terhadap konvoi World Central Kitchen pada 1 April, konvoi Doctor Without Borders (MSF) pada November 18, wisma UNRW pada 9 Desember, dan tempat perlindungan MSF pada 8 Januari 2024. Kemudian wisma Komite Penyelamatan Internasional dan Bantuan Medis juga diserang pada 18 Januari, disusul penyerangan terhadap konvoi UNRWA pada 5 Februari, wisma MSF pada 20 Februari, dan rumah yang menampung karyawan Organisasi Bantuan Pengungsi Timur Dekat Amerika pada 8 Maret. “Bahkan jika ada sasaran militer di sekitar lokasi serangan, insiden ini menyoroti kegagalan Israel dalam melindungi pekerja bantuan dan operasi kemanusiaan,” kata HRW. HRW merinci sedikitnya 15 orang terbunuh dan 16 terluka dalam delapan serangan Israel tersebut. “Para pekerja kemanusiaan juga tidak dapat meninggalkan Gaza sejak penutupan perbatasan Rafah pada 7 Mei,” kata mereka. Badan pengawas itu juga mendapati Israel menggunakan kelaparan sebagai metode peperangan di Gaza. “Otoritas Israel dengan sengaja memblokir pengiriman air, makanan, dan bahan bakar, dengan sengaja menghalangi bantuan kemanusiaan. “Dengan terang-terangan menghancurkan kawasan pertanian, dan merampas barang-barang milik penduduk sipil yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup mereka,” kata HRW. “Anak-anak di Gaza sekarat akibat komplikasi yang berkaitan dengan kelaparan,” kata HRW. HRW menyampaikan mereka telah meminta informasi spesifik dari Israel mengenai delapan serangan tersebut melalui surat yang dikirim pada 1 Mei 2024, namun belum menerima tanggapan. HRW mendesak Israel untuk mempublikasikan temuan-temuan penyelidikan atas serangan-serangan yang telah membunuh dan melukai para pekerja kemanusiaan tersebut, dan tak terkecuali serangan-serangan lain yang menyebabkan korban sipil. Selain itu, kelompok ahli internasional yang diakui harus melakukan tinjauan independen terhadap proses dekonfliksi kemanusiaan. “Israel harus memberi para ahli ini akses penuh terhadap prosesnya, termasuk koordinasi dan komunikasi yang terjadi sebelum, selama, dan setelah serangan tersebut serta informasi mengenai dugaan sasaran militer di sekitarnya dan tindakan pencegahan apapun yang diambil untuk mengurangi dampak buruknya,” kata HRW. Israel telah melancarkan serangan militer di Gaza sejak serangan lintas batas oleh kelompok Palestina Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan sekitar 1.200 orang. Lebih dari 35.000 warga Palestina terbunuh, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan 78.700 lainnya terluka akibat kehancuran massal di Gaza. Lebih dari tujuh bulan sejak perang Israel meletus, sebagian besar wilayah Gaza hancur, memaksa 85 persen penduduk wilayah kantong tersebut mengungsi di tengah blokade makanan, air bersih, dan obat-obatan, demikian catatan PBB. Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional, yang telah memerintahkan Tel Aviv untuk memastikan bahwa pasukannya tidak melakukan pembantaian massal itu dan mengambil tindakan untuk menjamin bahwa bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza. Sumber: Antara/Anadolu/Republika
-
NewsINH, Gaza – Komunitas internasional seiya sekata melancarkan tekanan terhadap Israel agar tak menggelar serangan ke Rafah yang dipenuhi pengungsi. Kendati demikian, sejauh ini pemerintah Israel agaknya masih menutup telinga atas seruan tersebut. Jerman, sekutu paling gigih Israel juga melayangkan tekanan tersebut. Mereka mendesak Israel tak melakukan serangan terbuka ke Rafah setelah mendapat laporan bahwa tank-tank Israel mulai dikerahkan. “Saya memperingatkan terhadap serangan besar-besaran di Rafah,” kata Menteri Luar Negeri Jermab Annalena Baerbock dalam unggahannya di X. “Satu juta orang tidak bisa hilang begitu saja. Mereka membutuhkan perlindungan. Mereka membutuhkan lebih banyak bantuan kemanusiaan segera… penyeberangan perbatasan Rafah dan Kerem Shalom [Karem Abu Salem] harus segera dibuka kembali.” Sementara AS menekankan perlunya Israel menyepakati kesepakatan pertukaran tahanan dan gencatan senjata yang sudah diaepakati Hamas. Departemen Luar Negeri AS hanya mengatakan bahwa mereka telah menyatakan pandangannya mengenai invasi darat besar-besaran di wilayah tersebut dengan jelas bagi Israel. “Kami terus percaya bahwa kesepakatan penyanderaan adalah demi kepentingan terbaik rakyat Israel dan Palestina; hal ini akan segera menghasilkan gencatan senjata dan memungkinkan peningkatan bantuan kemanusiaan ke Gaza,” kata seorang juru bicara kepada kantor berita Reuters. Dalam pidatonya, Sekjen PBB Antonio Guterres mendesak sekutu Israel untuk menekan kepemimpinannya agar menghentikan perang di Gaza. “Saya menghimbau kepada semua pihak yang mempunyai pengaruh terhadap Israel untuk melakukan segala daya mereka untuk membantu mencegah tragedi yang lebih besar lagi. Komunitas internasional mempunyai tanggung jawab bersama untuk mendorong gencatan senjata kemanusiaan, pembebasan semua sandera tanpa syarat, dan peningkatan besar-besaran bantuan untuk menyelamatkan nyawa,” katanya. “Sudah waktunya bagi para pihak untuk mengambil kesempatan dan mengamankan kesepakatan (gencatan senjata) demi kepentingan rakyat mereka sendiri.” Israel mempunyai kewajiban yang ketat berdasarkan hukum humaniter internasional untuk menjamin keselamatan warga sipil di Gaza, kata juru bicara kantor hak asasi manusia PBB. Komentar tersebut muncul beberapa jam setelah pasukan Israel merebut perbatasan Rafah dengan Mesir dalam serangan terhadap kota di selatan tersebut. Ravina Shamdasani mengatakan, menurut hukum internasional, Israel harus memastikan warga sipil memiliki akses terhadap perawatan medis, makanan yang cukup, air bersih dan sanitasi. “Kegagalan untuk memenuhi kewajiban ini bisa berarti pengungsian paksa, yang merupakan kejahatan perang,” kata Shamdasani dilansir Aljazirah. “Ada indikasi kuat bahwa ini (serangan Rafah) dilakukan dengan melanggar hukum kemanusiaan internasional.” Sejauh ini, gelombang serangan Israel sejak Senin malam di Rafah telah menewaskan sedikitnya 23 orang, termasuk enam wanita dan lima anak-anak, menurut catatan rumah sakit yang dikutip oleh kantor berita Reuters. Seorang pria di Rafah, Mohamed Abu Amra, kehilangan lima kerabat dekatnya dalam serangan yang meratakan rumahnya. “Kami tidak melakukan apa pun… kami tidak puny Hamas,” kata Abu Amra, yang istrinya, dua saudara laki-lakinya, saudara perempuannya, dan keponakannya semuanya syahid. “Kami melihat api melahap kami. Rumah itu terbalik.” Rafah yang berbatasan dengan Mesir merupakan tempat berlindung terakhir warga Gaza yang sudah tujuh bulan dibombardir Israel. Sekitar 1,2 juta orang mengungsi di wilayah yang sebelumnya hanya ditinggali sekitar 200 ribu orang itu. Tak hanya melakukan serangan militer, Israel juga telah menguasai perlintasan dengan Mesir, tempat masuknya bantuan kemanusiaan. Mereka mencegah bantuan tersebut masuk ke Gaza, hal yang akan menambah parah krisis kemanusiaan di Gaza. Hingga berita ini dituliskan, belum ada tanda-tanda Israel akan menyepakati gencatan senjata. Sebaliknya, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang sedang diselidiki ICC sebagai penjahat perang, menekankan niatnya menyerang Rafah untuk menghabisi Hamas. Sumber: Reuters/Republika
-
NewsINH, Jakarta – Krisis kemanusiaan yang tengah terjadi di Jalur Gaza, Palestina menjadi perhatian khusus pemerintah Indonesia. Sabtu (4/11/2023). Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo melepas secara resmi pengiriman bantuan kemanusiaan seberat 51,5 ton di Lanut Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Pemerintah Indonesia memberikan bantuan senilai 2 juta Dolar Amerika Serikat (AS) untuk masyarakat Palestina yang berada di Jalur Gaza. Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Pahala Mansury mengatakan, bantuan yang diberikan berasal dari Kemenlu, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan masyarakat Indonesia. “Bantuan ini merupakan kerja sama antara pemerintah Republik Indonesia khususnya dalam hal ini Kementerian Luar Negeri bersama-sama juga dengan Kementerian Pertahanan dan juga masyarakat, karena memang kami mencoba untuk bisa mengumpulkan bantuan dari masyarakat,” ujar Pahala di Lanud Halim Perdanakusuma pada Sabtu. “Dan Pak Presiden juga sudah menetapkan bahwa pemerintah akan memberikan bantuan sebesar 2 juta Dollar AS yang nanti akan disalurkan kepada masyarakat Palestina yang akan ada di Gaza,” lanjutnya. Pahala menjelaskan, bantuan kemanusiaan yang akan dikirim ke Palestina total sebanyak 51,5 ton. Bantuan tersebut dingakut dengan menggunakan pesawat Hercules dari Kementerian Pertahanan dan pesawat yang disewakan oleh Polri. “Memang kita memiliki 2 pesawat Hercules yang disumbangkan oleh Kementerian Pertahanan bantuan dari Kementerian Pertahanan dengan total kapasitas kurang lebih sekitar 26 ton dan juga kapasitas dari pesawat yang disewakan oleh Polri dengan kapasitas 25 ton,” tutur Pahala. “Nah rencana bantuan tersebut akan disalurkan terbang hari ini dua Hercules dan besok insya Allah 1 pesawat yang sudah disewakan oleh pihak Polri dengan kapasitas 25 ton,” lanjutnya. Bantuan antara lain terdiri dari obat-obatan, pakaian, tenda, alat kesehatan dan makanan. Setelah bantuan yang dikirimkan pada Sabtu dan Minggu ini, nantinya akan ada bantuan tahap kedua yang akan diberikan. Bantuan tahap kedua tersebut berasal dari pendanaan Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI). Untuk bantuan tahap kedua nanti diutamakan pengiriman obat-obatan dan alat kesehatan. Pahala melanjutkan, bantuan yang akan dikirim hari ini diserahkan kepada Egyptian Red Crescent. Setelahnya bantuan dibawa ke perbatasan Mesir dengan Gaza. Lalu penyerahan bantuan kepada masyarakat di Gaza kan dilakukan oleh Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA). Sementara itu, Presiden Direktur Lembaga Kemanusiaan International Networking for Humanitarian mengapresiasi langka pemerintah Indonesia yang telah mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza-Palestina. Menurutnya, langka tersebut sangat tepat disaat warga Gaza tengah menderita dan mengalami krisis kemanusiaan akibat serangan yang terus menerus dilakukan oleh Israel. “Kami sangat mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia. Ini merupakan bukti nyata bahwa Indonesia sangat mencintai Palestina,” katanya. Krisis kemanusiaan di Gaza akibat serangan dan invasi Israel hingga saat ini masih berlangsung. Jumlah korban meninggal telah mencapai lebih dari 9 ribu orang banyak diantaranya merupakan anak-anak dan perempuan dan warga sipil yang tak berdosa. (***)
-
NewsINH, Palestina – Human Rights Watch (HRW) menyoroti kebijakan baru Israel tentang pembatasan akses ke Tepi Barat yang diduduki bagi orang asing yang akan berkunjung dan tinggal di Tepi Barat sebagai ancaman nyata bagi kebebasan warga Palestina “Keputusan berlaku pada Oktober 2022 dan diubah pada Desember 2022, menetapkan prosedur terperinci untuk masuk dan tinggal di Tepi Barat bagi orang asing, sebuah proses yang berbeda dari prosedur masuk ke Israel, ini mengancam dan semakin mengisolasi warga Palestina.,” kata HRW seperti di kutip dari Middleeastmonitor, Selasa (24/1/2023) Keputusan baru mengkodifikasi dan memperketat batasan lama. Menurut HRW, pedoman tersebut mengancam untuk mempersulit warga Palestina di Tepi Barat, yang telah menghadapi pembatasan pergerakan yang diberlakukan Israel, untuk bersama anggota keluarga yang tidak memiliki ID Tepi Barat dan untuk terlibat dengan mahasiswa asing, akademisi, pakar. dan lain-lain. “Dengan mempersulit orang untuk menghabiskan waktu di Tepi Barat, Israel mengambil langkah lain untuk mengubah Tepi Barat menjadi Gaza lain, tempat dua juta warga Palestina hidup hampir tertutup dari dunia luar selama lebih dari 15 tahun,” kata Eric Goldstein, wakil Direktur Timur Tengah di Human Rights Watch. “Kebijakan ini dirancang untuk melemahkan ikatan sosial, budaya, dan intelektual yang coba dipertahankan oleh warga Palestina dengan dunia luar.” jelasnya. HRW mewawancarai 13 orang yang merinci kesulitan yang mereka hadapi selama bertahun-tahun untuk masuk atau tetap tinggal di Tepi Barat dan kekhawatiran mereka tentang bagaimana pedoman baru itu akan memengaruhi mereka. Kelompok hak asasi juga mewawancarai pengacara Israel yang mewakili mereka yang menentang pembatasan tersebut. Mereka yang diwawancarai termasuk seorang psikolog Amerika yang mengajar di sebuah universitas Palestina, seorang ibu Inggris dari dua anak yang mencoba untuk tetap bersama suami dan keluarganya yang Palestina dan seorang Palestina yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya di Tepi Barat tetapi tidak memiliki KTP. Pembatasan baru digunakan untuk memblokir direktur Human Rights Watch Israel dan Palestina Omar Shakir memasuki Tepi Barat. Shakir ditolak izinnya untuk memasuki Tepi Barat selama satu minggu untuk melakukan penelitian dan advokasi. Setiap orang yang diwawancarai Human Rights Watch menggambarkan hambatan birokrasi utama untuk tetap legal di Tepi Barat dan dampak dari pembatasan terhadap kehidupan mereka. Seorang pengusaha wanita Amerika yang menikah dengan seorang Palestina, yang telah tinggal di Tepi Barat selama lebih dari satu dekade dan meminta agar namanya dirahasiakan karena takut akan pembalasan, mengatakan dia harus meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil dan tinggal di luar negeri selama beberapa minggu pada tahun 2019 setelah dia visa ditolak. Dia mengatakan stres dan kesulitan membuatnya terisak-isak di depan sekolah putranya ketika ia mengantarnya dan tidak tahu apakah dirinya akan bertemu dengannya lagi. Pasalnya Visanya dipulihkan hanya setelah program diplomatnya selesai. Sumber: Middleeastmonitor #Donasi Palestina