NewsINH, Gaza – Jutaan warga Palestina di Jalur Gaza terus dilanda kecemasan dan kebingungan. Pasalnya, tak ada tempat yang dianggap aman lagi bagi mereka. Sebelumnya mereka dipaksa mengungsi mencari perlindungan dari wilayah utara, tengah dan menuju keselatan. Namun, di selatan pun dianggap tak aman kondisi keamanan di gaza sangat tidak stabil.
“Keluarga-keluarga yang mengungsi kembali ke Gaza utara karena tidak ada tempat yang aman dari bom Israel,” kata Nizar Abdel Karim (40) salah seorang warga Gaza seperti dikutip dari Midleeastmonitor, Rabu (18/10/2023)
Menurutnya, ratusan keluarga Palestina di Jalur Gaza yang terkepung mulai kembali dari wilayah selatan dan tengah wilayah kantong tersebut hingga ke utara, beberapa hari setelah mengevakuasi wilayah tersebut menyusul perintah dari tentara pendudukan Israel.
“Mereka yang kembali secara sukarela ini terjadi karena kondisi keamanan yang tidak stabil di Gaza tengah dan selatan, ketika tentara Israel terus membom daerah-daerah tersebut pada apa yang oleh beberapa orang disebut sebagai “malam yang paling mengerikan”,” jelasnya.
Kurangnya layanan penting termasuk air, listrik dan bahan bakar di Gaza selatan juga telah memaksa keluarga-keluarga tersebut untuk kembali ke wilayah utara, meskipun ada ketidakpastian keamanan.
Sejumlah pengungsi menjelaskan bahwa kembali ke rumah mereka adalah hal yang wajar “mengingat tekanan terhadap layanan di wilayah tengah dan selatan, di mana tidak ada air, listrik, atau bahan bakar.”
Pada hari Minggu, Israel memompa air sebentar ke Gaza bagian selatan dan tengah, namun karena tidak adanya listrik yang diperlukan untuk mengalirkan air ke daerah pemukiman, pasokan air yang langka menjadi tidak ada gunanya. PBB mengatakan Israel hanya menyediakan empat persen pasokan air yang dibutuhkan warga Gaza.
Nizar menceritakan, dia bersama istri dan empat anaknya telah pindah ke sebuah rumah di kota Khan Yunis, tiga hari lalu, namun mereka kembali ke Kota Gaza setelah sejumlah rumah di daerah itu dibom.
Ia mencontohkan, tempat pengungsian sudah penuh sesak dan tidak banyak layanannya.
“Saya lebih baik mati di rumah saya daripada tinggal di sana tanpa kebutuhan hidup apa pun. Anak-anak tidak bisa tidur di sana karena kurangnya selimut dan tempat tidur, apalagi dengan mulainya cuaca dingin di Jalur Gaza,” tambahnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Samar Abdel Ghafour (38), ibu dari tiga anak, kembali bersama keluarganya dari daerah Deir Al-Balah di Jalur Gaza tengah. Dia mengatakan daerah tersebut menjadi sasaran pemboman besar-besaran dalam beberapa hari terakhir, dan kami selamat dari beberapa serangan Israel yang terjadi di daerah tempat kami tinggal.
“Anak-anak kami menderita teror dan panik, di mana beberapa dari mereka mengalami mimpi buruk sebagai akibat dari kengerian yang mereka saksikan,” ucapnya dengan nada lirih.
Menurut Samar, luas wilayah yang ia pindahi kurang lebih 60 meter persegi dan dihuni oleh sekitar 50 orang, yang berarti mereka tidak memiliki privasi atau ruang untuk tinggal, selain kekurangan air, listrik, internet, atau salah satu kebutuhan dasar hidup.
Selain itu, Samar menunjukkan bahwa persediaan makanan hampir habis di wilayah selatan Gaza, seperti yang terjadi di Jalur Gaza pada umumnya, namun kepadatan penduduk di wilayah tersebut lebih besar.
“Jumlah penduduk di wilayah ini memberikan tekanan yang melebihi kemampuan wilayah selatan untuk menyerapnya,” katanya.
Sumber: Middleeastmonitor