Bandel, 75 Persen Israel Tolak Misi PBB ke Jalur Gaza

Bandel, 75 Persen Israel Tolak Misi PBB ke Jalur Gaza

NewsINH, Jenewa – Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan bahwa 75 persen misi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ditolak masuk ke Jalur Gaza akibat blokade dan serangan Israel.

Dalam konferensi pers pada Kamis, Ghebreyesus memperingatkan bahwa blokade ketat Israel yang berlaku sejak 2 Maret lalu mengakibatkan pasokan bantuan kemanusiaan, termasuk makanan dan obat-obatan, tak bisa masuk ke Gaza.

Kondisi tersebut memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza dan membuat masyarakat setempat semakin terekspos pada ancaman kelaparan, malanutrisi, serta kekurangan air bersih, tempat tinggal, dan layanan medis yang layak.

Risiko penyakit dan kematian juga semakin meningkat di kalangan warga Gaza akibat hal tersebut.

Ghebreyesus menyatakan bahwa agresi Israel terhadap infrastruktur kesehatan Gaza masih belum berhenti dan telah menyebabkan tewasnya 400 lebih tenaga kesehatan sejak Oktober 2023.

Ia menyoroti serangan terburuk terhadap personel kesehatan terjadi pada 23 Maret lalu ketika Israel menyerang konvoi bantuan medis di Gaza dan menyebabkan tewasnya 15 tenaga kesehatan dan bantuan kemanusiaan.

Pemimpin WHO itu menegaskan kembali pentingnya blokade Jalur Gaza diakhiri segera, sistem layanan kesehatan dilindungi, akses tak terbatas bagi masuknya bantuan kemanusiaan ke seluruh wilayah Gaza.

Ghebreyesus juga mendorong dimulainya kembali evakuasi medis rutin harian serta pemulihan segera gencatan senjata untuk mengakhiri penderitaan rakyat Palestina.

 

Sumber: WAFA/Antara

Pekerja Kemanusiaan di Gaza Dibunuh Secara Sadis oleh Israel, UNRWA dan WHO Protes Keras

Pekerja Kemanusiaan di Gaza Dibunuh Secara Sadis oleh Israel, UNRWA dan WHO Protes Keras

NewsINH, New York – Komisioner Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini menyampaikan kesedihan atas wafatnya dua staf tambahan UNRWA serta delapan pekerja kemanusiaan dan petugas tanggap darurat dari Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS).

“Dengan ini, jumlah pekerja kemanusiaan yang meninggal sejak perang dimulai satu setengah tahun lalu telah mencapai 408 orang, termasuk lebih dari 280 staf UNRWA,” ujar Lazzarini dalam sebuah unggahan di X.

Ia mengungkapkan bahwa jenazah salah satu staf UNRWA yang terbunuh di Rafah ditemukan kemarin, bersama dengan para pekerja kemanusiaan PRCS. Semua korban ditemukan dalam kuburan dangkal. “Sebuah pelanggaran berat terhadap martabat kemanusiaan,” katanya.

Lazzarini menekankan perlunya perlindungan bagi warga sipil, dengan menyatakan, “Baik di garis depan maupun di rumah bersama keluarga mereka, warga sipil harus dilindungi setiap saat.”

Ia juga memperingatkan bahwa pembunuhan sistematis terhadap pekerja kemanusiaan di Gaza semakin menjadi hal yang biasa terjadi. “Ini tidak boleh menjadi norma baru. Harus ada akuntabilitas. Hukum humaniter internasional berlaku bagi semua pihak, tanpa pengecualian,” tegasnya.

Tak hanya UNRWA, pembunuhan sadis Israel terhadap petugas medis dan responden pertama Palestina, yang sedang menjalankan misi penyelamatan di Jalur Gaza, juga mendapatkan kecaman dari Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus.

“Serangan mematikan terhadap delapan pekerja ambulans Bulan Sabit Merah Palestina di Gaza saat bertugas sangat menyedihkan,” tulis Tedros Ghebreyesus di platform media sosial X, baru-baru ini.

“Kami berduka atas kematian rekan-rekan ini, dan kami mendesak agar serangan terhadap pekerja kesehatan dan kemanusiaan segera diakhiri,” kata dia.

Tedros menyampaikan kekhawatiran besar WHO tentang kesejahteraan pekerja ambulans Assad Al-Nassasra, yang masih hilang.

Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina mengumumkan pada Ahad (30/3/2025) bahwa 14 jenazah telah ditemukan setelah serangan Israel. Korban meninggal termasuk delapan pekerja Bulan Sabit Merah, lima personel Pertahanan Sipil, dan seorang anggota staf badan PBB.

Peristiwa ini terjadi beberapa hari setelah Pertahanan Sipil Palestina melaporkan telah menemukan jenazah seorang anggota tim yang dibunuh oleh pasukan Israel, sehingga jumlah korban meninggal akibat serangan tersebut menjadi 15 orang. Para petugas medis menjadi sasaran serangan Israel pada 23 Maret, ketika mereka dalam perjalanan untuk memberikan pertolongan pertama kepada para korban penembakan Israel di daerah Al-Hashashin.

Serangan Israel di Rafah terhadap Bulan Sabit Merah Palestina dan Pertahanan Sipil menyoroti bahaya yang dihadapi oleh para pekerja kemanusiaan di Gaza, yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan orang lain dan mengirimkan bantuan.

Kejahatan mengerikan tersebut memicu kecaman luas dari kelompok-kelompok hak asasi internasional dan PBB, yang menuntut tanggung jawab atas pembunuhan tersebut.

Israel memulai operasi udara di Gaza pada 18 Maret dan sejak itu telah menewaskan lebih dari 1.000 korban dan melukai lebih dari 2.000 orang. Serangan itu juga menghancurkan gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan yang disepakati pada Januari antara Israel dan kelompok pejuang Palestina, Hamas.

Lebih dari 50.300 warga Palestina telah meninggal di Gaza dalam serangan militer Israel sejak Oktober 2023.

Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk pemimpin Israel Benjamin Netanyahu dan mantan pejabat pertahanan Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas perangnya di daerah kantong Palestina tersebut.

 

Sumber: Republika

UNRWA Sebut Gaza Miliki Jumlah Anak Amputee Tertinggi di Dunia

UNRWA Sebut Gaza Miliki Jumlah Anak Amputee Tertinggi di Dunia

NewsINH, Gaza – Saat ini, Gaza memiliki jumlah anak amputee (orang yang bagian tubuhnya diamputasi) per kapita tertinggi di dunia, ungkap Badan Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pengungsi Palestina di Kawasan Timur Tengah (UNRWA) pada Selasa (3/12/2024).

Banyak anak-anak di Gaza yang “kehilangan anggota tubuh dan menjalani operasi tanpa anestesi,” ujar Philippe Lazzarini, komisaris jenderal UNRWA, melalui platform media sosial X.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada September memperkirakan bahwa lebih dari 22.500 orang, atau satu dari empat orang yang terluka selama perang di Gaza, mengalami cedera yang mengubah hidup mereka dan akan membutuhkan layanan rehabilitasi “sekarang dan hingga bertahun-tahun mendatang.”

“Selama perang ini, orang-orang yang membutuhkan perawatan khusus menderita dalam diam. Kisah mereka jarang sekali diceritakan. Selain itu, perang juga telah menyebabkan epidemi cedera traumatis tanpa adanya layanan rehabilitasi,” sebut Lazzarini.

Israel melancarkan serangan berskala besar terhadap Hamas di Jalur Gaza untuk membalas serangan Hamas di perbatasan Israel selatan pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyebabkan kurang lebih 250 orang lainnya disandera.

Dalam 24 jam terakhir, militer Israel telah menewaskan 36 orang dan melukai 96 lainnya di Jalur Gaza, menambah jumlah korban tewas menjadi 44.502 dan korban luka-luka menjadi 105.454 sejak pecahnya konflik Palestina-Israel, kata otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza dalam sebuah pernyataan pada Selasa itu.

 

Sumeber: Xinhua/Antara

Israel Terus Gempur RS di Gaza, WHO Kembali Serukan Gencatan Senjata

Israel Terus Gempur RS di Gaza, WHO Kembali Serukan Gencatan Senjata

NewsINH, Istanbul – Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus pada Senin (4/11/2024) mengungkapkan kegeramannya atas serangan Israel terhadap sejumlah rumah sakit di Jalur Gaza.

Tedros menyerukan gencatan senjata segera untuk melindungi warga sipil dan petugas kesehatan di wilayah tersebut.

“Sangat menyedihkan rumah sakit di Gaza terus diserang. Sudah waktunya menghentikan baku tembak dan mewujudkan perdamaian!” katanya di X.

Ia menambahkan banyak nyawa bergantung kepada pemberlakuan gencatan senjata segera dan tanpa syarat.

Permintaan itu disampaikan kembali menyusul misi yang dipimpin WHO baru-baru ini ke Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza utara. Lantai tiga rumah sakit diserang setelah tim WHO meninggalkan rumah sakit tersebut.

Serangan kesekian kalinya terhadap rumah sakit itu melukai enam pasien anak dan satu di antaranya saat ini dalam kondisi kritis.

Tedros menyebutkan penembakan terus dilakukan tentara Israel di sekitar rumah sakit ketika staf WHO mengantarkan perlengkapan penting, antara lain peralatan medis, 150 unit darah, dan 20.000 liter bahan bakar.

“Meskipun berisiko, tim WHO tetap memindahkan 25 pasien dan 37 pendamping menuju Rumah Sakit Al-Shifa,” ujarnya.

Selanjutnya, WHO berhasil mencapai RS Al-Awda di Gaza utara. Di RS itu mereka berusaha memindahkan lima pasien, namun gagal memasok perlengkapan karena membahayakan operasional rumah sakit.

Tedros mengecam kurangnya perlindungan bagi petugas layanan kesehatan di tengah pengeboman tanpa jeda Israel sehingga sangat menyulitkan memasok bantuan kemanusiaan.

 

Sumber: Antara/Republika

Lindungi Sistem Kesehatan Rakyat Sipil, WHO Desak Gencatan Senjata di Gaza

Lindungi Sistem Kesehatan Rakyat Sipil, WHO Desak Gencatan Senjata di Gaza

NewsINH, London – Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada Rabu (30/10/2024) kembali mendesak agar segera dilakukan gencatan senjata tanpa syarat, dengan menekankan bahwa ini adalah satu-satunya solusi untuk melindungi sistem kesehatan yang runtuh di Jalur Gaza.

“Nyawa bergantung pada hal ini,” tulis Tedros di X. “Seiring dengan memburuknya situasi di seluruh Gaza, terutama di utara, menjaga rumah sakit tetap berfungsi sangatlah penting.”

Rumah Sakit Kamal Adwan, salah satu fasilitas kesehatan utama di Gaza utara, menghadapi gelombang pasien trauma akibat konflik yang tak kunjung reda, menurut penilaian terbaru WHO.

Dengan hanya satu dokter spesialis anak, satu ahli bedah ortopedi, dan staf perawat yang terbatas, rumah sakit tersebut kesulitan memberikan perawatan dasar di tengah kekurangan parah tenaga medis dan persediaan, menurut laporan WHO.

Situasi semakin parah karena kerusakan bangunan akibat serangan baru-baru ini yang menghancurkan empat ambulans milik rumah sakit, ungkap WHO.

Meskipun kebutuhan layanan medis sangat mendesak di wilayah utara, sumber daya rumah sakit sudah mencapai titik kritis.

Sebagai tanggapan, WHO mengoordinasikan pemindahan 23 pasien kritis dan 21 pendamping dari Rumah Sakit Kamal Adwan ke Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza.

Untuk membantu mempertahankan fasilitas kesehatan lain yang kesulitan di Kota Gaza, WHO mengirimkan 40.000 liter bahan bakar dan persediaan medis ke enam rumah sakit di daerah tersebut, meskipun permintaan terus jauh melampaui sumber daya yang tersedia, ujar Tedros.

 

Sumber: Anadolu/Antara

Dokter Lintas Batas: Rumah Sakit di Gaza Krisis Fasilitas Dasar

Dokter Lintas Batas: Rumah Sakit di Gaza Krisis Fasilitas Dasar

NewsINH, Gaza – Doctors Without Borders atau dokter lintas batas mengungkap rumah sakit di Jalur Gaza kekurangan fasilitas dasar yang dapat menyebabkan kematian warga lebih banyak setiap detiknya selama perang Gaza masih berlangsung.

Selama sembilan bulan, Jalur Gaza hampir selalu menyaksikan kematian dan trauma psikologis dan tidak ada tempat yang terhindar dari pertumpahan darah. Organisasi tersebut mencatat tim medis di Gaza menghadapi tekanan yang amat berat dalam setiap serangan di tengah sistem kesehatan yang kewalahan.

“Tim kami bekerja di seluruh Jalur Gaza untuk memberikan perawatan bantuan hidup dasar bagi mereka yang terluka akibat serangan brutal Israel dan mereka yang juga terpaksa menyelamatkan diri,” demikian keterangan dokter lintas batas.

Laporan WHO pada Juli 2024 menyebutkan sektor kesehatan di Gaza membutuhkan 80 ribu liter bahan bakar setiap harinya dan pasokan terakhir yang tiba di Jalur Gaza pada akhir Juni berjumlah antara 195.000 sampai 200.000 liter.

Laporan itu menegaskan rumah sakit menghadapi krisis bahan bakar yang dapat mengganggu layanan vital dan menyebabkan korban luka meninggal akibat keterlambatan ambulans. WHO juga memperingatkan perintah evakuasi oleh Israel di Kota Gaza, telah menghambat pengobatan para korban luka.

Dikatakan hanya 13 dari 36 rumah sakit di Gaza yang beroperasi sebagian. Sedangkan dari total 11 rumah sakit darurat di Jalur Gaza, tiga di antaranya terpaksa berhenti sementara dan empat lainnya beroperasi sebagian.

Sementara itu, militer Isael mengatakan tentara Israal melanjutkan aktivitas militernya di area Rafah berdasarkan informasi intelijen Israel. Militer Israel telah memusnahkan apa yang disebut sel teroris dan menghancurkan sebuah peluncur yang pernah digunakan untuk menembak tentara Israel.

Militer Israel mengakui serangan udaranya telah menghantam 25 target di sepanjang jalur Gaza dalam tempo 24 jam terakhir. Tentara Israel pun masih terus melanjutkan operasi militernya di tengah Gaza, termasuk membongkar bangunan yang diduga digunakan untuk memantau tentara Israel.

 

Sumber: WAFA/Tempo

Tak Ada Signal Gencatan Senjata, Kondisi Gaza Makin Memilukan

Tak Ada Signal Gencatan Senjata, Kondisi Gaza Makin Memilukan

NewsINH, Gaza – Tak ada signal atau tanda-tanda gencatan senjata di Jalur Gaza, mengakibatkan kondisi kehidupan jutaan warga Palestina semakin terpojok dan memprihatinkan. Pasalnya, perbekalan dan logistik diwilayah tersebut semakin langkah dan menipis.

Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengungkapkan pilunya keadaan terkini di Gaza. Dalam cuitannya di media sosial X (dahulu bernama Twitter), ia mengabarkan kondisi Rumah Sakit Nasser.

“Saat ini 350 pasien dan 5.000 pengungsi masih bertahan di rumah sakit. Rumah sakit tersebut kehabisan bahan bakar, makanan dan perbekalan,” tulisnya di platform X beserta video dari rumah sakit baru-baru ini.

Menurut Tedros, itu terjadi saat pertempuran di sekitar rumah sakit di Khan Younis meningkat. Selagi pertempuran di sekitar rumah sakit terus terjadi, akses untuk membawa masuk pasokan masih terhalang.

“Kami menyerukan gencatan senjata segera, sehingga kami bisa mengisi lagi persediaan penyelamatan jiwa yang sangat dibutuhkan,” katanya.

Serangan terhadap Gaza terus berlanjut meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) pada Kamis (26/1/2024) kemarin telah memerintahkan agar Israel ” mengambil tindakan segera dan efektif untuk memungkinkan penyediaan layanan dasar dan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi kondisi kehidupan buruk yang dihadapi warga Palestina di Jalur Gaza”.

Israel telah lama membantah tuduhan genosida sehubungan dengan perang yang dilancarkannya di Gaza. Ketika menanggapi keputusan ICJ, PM Israel Benjamin Netanyahu mengatakan “komitmen Tel Aviv terhadap hukum internasional tidak tergoyahkan.”

“Yang juga tak tergoyahkan adalah komitmen suci kami untuk terus membela negara kami dan membela rakyat kami,” katanya dalam sambutannya yang disiarkan di televisi.

Netanyahu menegaskan bahwa Israel mempunyai “hak yang melekat untuk membela diri.” Dia menyebut bahwa “upaya keji untuk menolak hak fundamental Israel adalah diskriminasi terang-terangan terhadap negara Yahudi, dan hal itu ditolak secara adil”.

 

Sumber: Republika

Tak Ada Jaminan Keamanan, WHO Urungkan Kirim Bantuan Medis ke Gaza

Tak Ada Jaminan Keamanan, WHO Urungkan Kirim Bantuan Medis ke Gaza

NewsINH, Gaza – Untuk kesekian kalinya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengurungkan pengiriman  bantuan medis ke wilayah Jalur Gaza bagian Utara. Pembatalan ini lantaran tidak ada jaminan keselamatan dari pihak otoritas Israel.

Dengan sangat terpaksa pihaknya membatalkan misi untuk mengirim pasokan medis ke Gaza utara setelah gagal mendapat jaminan keamanan. Ini keempat kalinya WHO membatalkan rencana misi untuk mengirimkan pasokan medis yang sangat dibutuhkan ke Rumah Sakit Al-Awda dan pusat toko obat di Gaza utara sejak 26 Desember.

“Ini sudah 12 hari terakhir kali kami dapat menjangkau Gaza utara,” kata kantor WHO di daerah pendudukan Palestina di media sosial X, Selasa (9/1/2024).

Menurut laporan badan tersebut, pengeboman secara besar-besaran, pembatasan gerakan dan gangguan komunikasi membuat hampir mustahil mengirimkan pasokan medis secara rutin dan aman di Gaza, terutama ke bagian utara.

WHO mengatakan rencana pengiriman pada hari Ahad (7/1/2023) kemarin dirancang untuk mempertahankan operasi di lima rumah sakit di wilayah utara. Juru bicara pemerintah Israel Eylon Levy mengatakan ia tidak memiliki informasi mengenai pernyataan WHO dan merujuk pertanyaan tersebut ke Angkatan Bersenjata Israel (IDF).

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan ia “terkejut dengan skala kebutuhan medis dan kehancuran di Gaza utara.”

“Penundaan lebih lanjut akan menambah kematian dan penderitaan untuk terlalu banyak orang,” katanya di media sosial X.

Dalam pernyataan terpisah lembaga bantuan Komite Penyelamatan Internasional (IRC) mengatakan tim medisnya dan lembaga amal Bantuan Medis untuk Palestina terpaksa mundur dan menahan aktivitas di Rumah Sakit Al-Aqsa di Gaza tengah karena aktivitas militer Israel di daerah itu meningkat.

Israel menggelar operasi militer untuk membalas serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober lalu. Serangan Israel memaksa sebagian besar dari 2,3 juta populasi Gaza mengungsi, membuat banyak orang menjadi tuna wisma dan mengubah infrastruktur sipil menjadi reruntuhan serta menyebabkan kelangkaan pangan, air dan obat-obat.

 

Sumber : Reuters/Republika

Israel “Bandel” Masih Serang Rumah Sakit dan Warga Sipil di Gaza

Israel “Bandel” Masih Serang Rumah Sakit dan Warga Sipil di Gaza

NewsINH, Gaza – Meskipun adanya seruan gencatan senjata dan pengiriman bantuan kemanusiaan di Gaza, Palestina pertempuran sengit dan penyerangan secara masif masih dilakukan militer zionis Israel. Tak tanggung-tangung mereka menargetkan serangan ke rumah sakit dan warga sipil di Gaza.

Serangan udara Israel pada hari Minggu dan Senin awal pekan ini masih fokus pada rumah sakit dan lingkungan sipil di daerah kantong tersebut, sebuah taktik yang hanya mendorong seruan lebih lanjut dari seluruh dunia untuk gencatan senjata di wilayah Palestina yang terkepung ketika jumlah korban sipil meningkat.

Korban massal dilaporkan menyusul serangan di kamp pengungsi Jabalia dan Nuseirat. Tembakan artileri Israel menargetkan beberapa tempat tinggal di lingkungan Shujayea, Tuffah dan Daraj di Kota Gaza.

Penembakan terus menerus dilaporkan terjadi di pintu masuk Rumah Sakit al-Shifa di Kota Gaza. Setidaknya 26 warga Palestina meninggal dunia dalam serangan terhadap rumah sakit tersebut.

Kompleks Medis Nasser di Khan Younis di Gaza selatan telah berulang kali menjadi sasaran selama 48 jam terakhir. Sebuah tembakan tank Israel menghantam gedung bersalin pada hari Minggu kemarin, menewaskan seorang gadis berusia 13 tahun, bernama Dina Abu Mehsen, dan melukai beberapa lainnya, menurut Kementerian Kesehatan Gaza, seperti dikutip dari Al Jazeera.

Sebuah bom jatuh di dekat gedung tetapi tidak meledak, menyebabkan kepanikan besar dan melukai tiga orang, menurut Hani Mahmoud dari Al Jazeera, melaporkan dari Rafah.

Dalam sebuah pernyataannya, juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza Ashraf al-Qudra mengecam Israel karena mencoba “menghilangkan” sektor kesehatan di wilayah kantong yang terkepung itu.

“Apa yang dilakukan pendudukan adalah bagian dari skenario yang dimulai di Gaza utara dari kompleks Shifa,” kata Ashraf.

Menurutnya, Israel menargetkan Kompleks Medis Nasser adalah bagian dari kebijakan pendudukan untuk menghilangkan sektor kesehatan dan akan menjatuhkan sistem kesehatan di Jalur Gaza selatan.

Perang Gaza yang paling mematikan dimulai dengan serangan oleh Hamas, yang menguasai daerah kantong tersebut, pada tanggal 7 Oktober, ketika kelompok pejuang kemerdekaan Palestina tersebut menewaskan 1.139 orang dan menculik sekitar 250 orang baik orang Israel maupun warga asing.

Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan lebih dari 18.800 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, meninggal dalam serangan bersenjata Israel di Gaza. Dikatakan lebih dari 100 orang tewas dalam serangan Israel pada hari Minggu, sementara puluhan lainnya dilaporkan tewas sejauh ini pada hari Senin.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan situasi di Rumah Sakit al-Shifa yang pernah menjadi landasan sistem layanan kesehatan di wilayah tersebut  sebagai “pertumpahan darah” ketika ratusan pasien yang terluka berlindung di dalam rumah dan pasien baru datang setiap menitnya.

Badan PBB tersebut mengatakan rumah sakit tersebut, yang ditempati oleh pasukan Israel pada awal perang, hanya menyediakan stabilisasi trauma dasar, tidak memiliki darah untuk transfusi dan hampir tidak ada staf yang merawat pasien yang terus mengalir, setelah kunjungan untuk mengantarkan obat-obatan. dan perlengkapan bedah ke fasilitas tersebut.

Dr Rana Hajjeh, dari kantor WHO di Kairo, mengatakan apa yang mereka lihat adalah pemandangan yang benar-benar horor. Pasien yang terluka berserakan di lantai, mereka dijahit di lantai. Tempat tidur atau usungan tidak mencukupi. Tidak ada obat pereda nyeri. Mereka pada dasarnya hanya mengeluarkan darah di lantai.

“Ribuan pengungsi menggunakan gedung dan pekarangan rumah sakit sebagai tempat berlindung selama kekurangan air dan makanan,” kata Hajjeh. (***)

 

Sumber: Al Jazeera

Melonjak 100 Kali Lipat, Penyakit Diare Ancam Anak-Anak di Jalur Gaza

Melonjak 100 Kali Lipat, Penyakit Diare Ancam Anak-Anak di Jalur Gaza

NewsINH, Jenewa – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan lonjakan penyakit menular dan diare pada anak-anak di Gaza. Otoritas kesehatan Gaza mengatakan, lebih dari 15 ribu orang meninggal dunia dalam pengeboman Israel dan sekitar 40 persen di antaranya anak-anak.

“Pada akhirnya kita akan melihat lebih banyak orang meninggal karena penyakit daripada yang kita lihat akibat pengeboman jika kita tidak mampu mengembalikan (menyatukan) sistem kesehatan ini,” kata Margaret Harris dari WHO pada briefing PBB di Jenewa.

Harris menegaskan kekhawatirannya mengenai peningkatan penyakit menular, khususnya diare pada bayi dan anak-anak di Gaza. Menurut dia, kasus diare pada anak-anak berusia lima tahun ke atas melonjak hingga lebih dari 100 kali lipat dari tingkat normal pada awal November.

“Semua orang di manapun kini mempunyai kebutuhan kesehatan yang sangat mendesak karena mereka kelaparan karena kekurangan air bersih dan (mereka) berdesakan,” ujar Harris.

Berdasarkan ketentuan jeda pertempuran, Israel mengizinkan lebih banyak bantuan mengalir ke Gaza termasuk makanan, air, dan obat-obatan. Namun, lembaga bantuan mengatakan bantuan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan yang sangat besar.

James Elder, juru bicara Badan Anak-anak PBB di Gaza, mengatakan, rumah sakit di wilayah tersebut penuh dengan anak-anak yang menderita luka bakar dan pecahan peluru serta gastroenteritis karena meminum air kotor. “Saya bertemu banyak orang tua. Mereka tahu persis apa yang dibutuhkan anak-anak mereka. Mereka tidak memiliki akses terhadap air bersih dan ini melumpuhkan mereka,” katanya.

Elder melihat seorang anak dengan sebagian kakinya yang telah terputus akibat serangan Israel. Anak itu tergeletak di lantai rumah sakit selama beberapa jam, tanpa mendapat perawatan karena kurangnya tenaga medis.

Anak-anak lain yang terluka terbaring di kasur darurat di tempat parkir dan taman di halaman Rumah sakit. “Di mana pun dokter harus membuat keputusan yang mengerikan, Anda tahu, siapa yang mereka prioritaskan,” ujar Elder.

Mengutip laporan PBB mengenai kondisi kehidupan para pengungsi di Gaza utara, Harris mengatakan, tidak ada obat-obatan, tidak ada kegiatan vaksinasi, tidak ada akses terhadap air bersih dan kebersihan serta tidak ada makanan.

Dia menggambarkan runtuhnya Rumah Sakit Al Shifa di Gaza utara sebagai sebuah tragedi dan menyuarakan keprihatinan tentang penahanan beberapa staf medisnya oleh pasukan Israel selama konvoi evakuasi WHO. Hampir tiga perempat rumah sakit, atau 26 dari 36 rumah sakit, telah ditutup seluruhnya di Gaza, karena pemboman atau kekurangan bahan bakar.

 

Sumber: Republika

Customer Support kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!