NewsINH, Beirut – Kementerian Kesehatan Lebanon merilis jumlah korban jiwa akibat serangan Israel telah mencapai sedikitnya 492 orang, dengan 1.645 lainnya terluka sejak Senin (23/9/2024) pagi kemarin. Sebanyak 35 anak-anak dan 58 wanita termasuk di antara mereka yang syahid.
Tentara Israel mengatakan mereka telah menyerang 1.100 sasaran dengan lebih dari 1.400 jenis amunisi di Lebanon selatan dan timur dalam 24 jam terakhir. Pesawat tempur dan drone Israel melakukan sekitar 650 serangan, katanya, menargetkan bangunan, kendaraan dan infrastruktur. Pasukan Israel terus melakukan serangan terhadap “ratusan sasaran di Lebanon”, tambahnya.
Pasukan Israel juga melancarkan lima serangan di kota Qaliya di Lembah Bekaa barat, di timur negara itu, Kantor Berita Nasional yang dikelola pemerintah melaporkan, salah satunya menghancurkan sebuah rumah di Dallafa yang menelan korban seorang ayah dan putrinya.
Almayadeen melansir, tentara Israel pada Senin melancarkan puluhan serangan udara di Lebanon selatan dan wilayah Bekaa, yang mengakibatkan kematian, beberapa lainnya terluka, dan hancurnya sejumlah rumah dan bangunan tempat tinggal di beberapa kota dan desa yang menjadi sasaran. Menurut kantor berita resmi Lebanon, lebih dari 80 serangan udara menargetkan wilayah selatan hanya dalam waktu 30 menit.
Di Lebanon selatan, serangan udara Israel menciptakan banyak zona api di seluruh wilayah Tirus dan Nabatieh, menurut koresponden Al Mayadeen. Serangan tersebut juga menargetkan wilayah di Bint Jbeil, al-Zahrani, dan dataran tinggi Iqlim al-Tuffah. Beberapa warga sipil terluka akibat serangan hebat tersebut.
Di wilayah Bekaa di timur laut Lebanon, pasukan penjajahan Israel melancarkan serangkaian serangan udara di beberapa lokasi, menargetkan setidaknya sembilan lokasi di sepanjang pegunungan barat yang menghadap ke utara Bekaa.
Serangan tersebut menargetkan wilayah Bodai, Harbata, wilayah Baoul di dataran tinggi Hermel, serta Zboud dan dataran tinggi sekitarnya. Satu orang menjadi martir, dan enam lainnya terluka dalam serangan Israel di Bodai.
Reuters melaporkan, keluarga-keluarga dari Lebanon selatan memadati jalan raya di utara pada hari Senin, menghindari serangan Israel yang meluas demi masa depan yang tidak pasti dengan anak-anak berdesakan di pangkuan orang tua mereka, koper-koper diikatkan ke atap mobil dan asap gelap membubung di belakang mereka.
Mobil, van, dan truk pick-up yang tak terhitung jumlahnya penuh dengan barang-barang dan dipenuhi orang, kadang-kadang beberapa generasi dalam satu kendaraan, sementara keluarga-keluarga lain melarikan diri dengan cepat, hanya membawa barang-barang penting ketika bom menghujani dari atas.
“Ketika serangan terjadi di pagi hari di rumah-rumah, saya mengambil semua surat-surat penting dan kami keluar. Serangan terjadi di sekitar kami. Itu sangat mengerikan,” kata Abed Afou yang desanya di Yater terkena serangan hebat akibat serangan fajar.
Pada hari Senin, ketika pemboman meningkat hingga mencakup lebih banyak wilayah Lebanon, orang-orang menerima rekaman panggilan telepon atas nama militer Israel yang meminta mereka meninggalkan rumah demi keselamatan mereka sendiri.
Afou, yang tinggal di Yater sejak awal pertempuran meski hanya berjarak sekitar 5 km dari perbatasan Israel, memutuskan untuk pergi ketika ledakan mulai menghantam rumah-rumah penduduk di distrik tersebut, katanya.
“Satu tangan saya berada di punggung anak saya dan menyuruhnya untuk tidak takut,” katanya. Keluarga Afou dengan tiga putra berusia 6 sampai 13 tahun, dan beberapa kerabat lainnya, kini terjebak di jalan raya saat lalu lintas bergerak ke utara. Mereka tidak tahu di mana mereka akan tinggal, katanya, tapi hanya ingin mencapai Beirut.
Saat lalu lintas melewati Sidon terbentuk antrian panjang. Sebuah van lewat, pintu belakangnya terbuka dan sebuah keluarga duduk di dalamnya, seorang wanita bersyal merah di dekat pintu dengan satu kaki menjuntai dan seorang anak laki-laki berdiri di tengah, bergelantungan di pagar.
Di pinggir jalan, sekelompok pasukan keamanan Lebanon, mengenakan celana jins biru dan rompi hitam bertanda ‘Polisi’ berdiri dengan senjata mereka. Seorang pria bersandar pada seorang wanita yang duduk di kursi penumpang mobil dan berteriak melalui jendela: “Kami akan kembali. Insya Allah kami akan kembali. Beritahu (Perdana Menteri Israel Benjamin) Netanyahu bahwa kami akan kembali.”
Agresi Israel yang sedang berlangsung terhadap Lebanon telah meningkat secara signifikan dalam beberapa hari terakhir, menyusul pembantaian Israel di pinggiran selatan Beirut dan serangan teroris Israel yang dilakukan dengan peledakan massal dan radio dua arah.
Sebuah bangunan tempat tinggal di daerah padat penduduk di Pinggiran Selatan Beirut dibom oleh jet Israel pada Jumat, menewaskan 51 orang, termasuk wanita dan anak-anak, menurut angka terbaru dari Kementerian Kesehatan Lebanon. Di antara para korban adalah beberapa petinggi Hizbullah, termasuk komandan Ibrahim Aqil dan Ahmed Wehbi.
Menanggapi serangan berulang-ulang Israel di berbagai wilayah Lebanon, yang mengakibatkan banyak korban jiwa, dan sebagai solidaritas dengan Gaza, Hizbullah meluncurkan puluhan roket Fadi 1 dan Fadi 2 dalam dua operasi berturut-turut pada Ahad pagi, menargetkan pangkalan udara Ramat David di wilayah utara yang diduduki. Palestina.
Selain itu, sebagai pembalasan awal atas pembantaian pager dan radio, Hizbullah menyerang kompleks industri militer Israel milik perusahaan Rafael di Haifa utara dengan puluhan roket Fadi 1, Fadi 2, dan Katyusha.
Ketua UNICEF Catherine Russell mengatakan dia “sangat khawatir” dengan meningkatnya serangan mematikan di Lebanon dan Israel, dan mengatakan bahwa kekerasan yang meningkat merupakan “eskalasi yang berbahaya” bagi warga sipil. “Tak terhitung banyaknya” anak-anak yang berada dalam bahaya, dan banyak yang mengungsi dari rumah mereka, kata Russell dalam sebuah pernyataan.
“Tingkat tekanan psikologis yang mengkhawatirkan” juga dilaporkan terjadi pada anak-anak akibat pengungsian dan rentetan penembakan dan serangan udara, katanya, sambil menyerukan deeskalasi segera.
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengatakan pihaknya mengikuti perkembangan di Lebanon dengan “keprihatinan besar” dalam sebuah pernyataan yang menyerukan “semua pihak untuk menahan diri sepenuhnya”.
Kerajaan tersebut meminta komunitas internasional dan pihak-pihak lain untuk “mengemban peran dan tanggung jawab mereka untuk mengakhiri semua konflik di kawasan” dan menekankan “pentingnya menghormati kedaulatan Lebanon”.
Menteri Luar Negeri Belgia Hadja Lahbib menambahkan suara Belgia ke semakin banyak negara yang mendesak ketenangan di Lebanon. Dia mengatakan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, “sekali lagi terkena dampaknya” dan mendesak dilakukannya deeskalasi, sambil menambahkan “diplomasi” adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri konflik.
Uni Emirat Arab juga telah menyatakan “keprihatinan mendalam atas serangan Israel di Lebanon selatan”. Dalam sebuah pernyataan, negara Teluk tersebut menegaskan pendiriannya “menolak kekerasan, eskalasi, tindakan dan reaksi yang tidak diperhitungkan yang mengabaikan hukum yang mengatur hubungan dan kedaulatan negara”, media pemerintah melaporkan.
Sedangkan Yunani menilai Israel tidak menghadapi tekanan yang cukup untuk mengakhiri perang di Gaza. Menteri Luar Negeri Yunani George Gerapetritis menyatakan eskalasi perang di Lebanon adalah ladang ranjau yang mungkin tidak dapat ditangani oleh komunitas internasional. Yunani terpilih sebagai anggota Dewan Keamanan PBB untuk periode 2025-2026 awal tahun ini, dan Athena yakin hubungan historis negara tersebut dengan dunia Arab dan Israel memberikan kredibilitas untuk bertindak sebagai perantara perdamaian.
“Sepertinya tidak ada tekanan efektif terhadap Israel. Kami adalah mitra strategis Israel, dan kami berusaha bersikap terbuka dan tulus terhadap mereka,” kata Menlu George Gerapetritis kepada Reuters dalam sebuah wawancara di sela-sela Majelis Umum PBB.
Gerapetritis mengatakan bahwa sangat penting bagi negara-negara Arab dan Eropa untuk melakukan inisiatif bersama, bukannya secara terpisah, yang dapat membebani Israel, namun eskalasi di perbatasan Israel-Lebanon dalam beberapa hari terakhir menunjukkan kegagalan kolektif internasional.
“Kita belum mencegah dampak buruknya, dan semakin tersebarnya perang, semakin rumit situasinya untuk diselesaikan,” katanya. “Lebanon bisa dengan mudah menjadi zona perang yang luar biasa, dan ini adalah sesuatu yang tidak dapat kita atasi. Ini jelas merupakan ladang ranjau.”
Sumber: republika