Kamp Al-Mawasi Membara, Israel Bakar Anak-anak dan Permpuan Gaza

Kamp Al-Mawasi Membara, Israel Bakar Anak-anak dan Permpuan Gaza

NewsINH, Gaza – Serangan Israel terhadap tenda kamp di daerah al-Mawasi di Gaza selatan pada Rabu malam menewaskan sedikitnya 21 orang dan melukai 28 lainnya. Para korban syahid setelah bom-bom Israel menyebabkan kebakaran hebat di wilayah yang diklaim Israel sebagai zona aman tersebut.

Serangan hari Rabu di Muwasi – daerah terpencil dengan sedikit layanan publik yang menampung ratusan ribu pengungsi – melukai sedikitnya 28 orang, menurut Atif al-Hout, direktur Rumah Sakit Nasser di kota selatan Khan Younis.

Serangan tersebut menghantam tenda-tenda tempat para keluarga pengungsi berlindung, menyebabkan kebakaran dan membakar beberapa korban, termasuk perempuan dan anak-anak.

Seorang jurnalis Associated Press di rumah sakit menghitung setidaknya ada 15 jenazah, namun mengatakan sulit untuk mencapai jumlah pastinya karena banyak dari jenazah korban tercabik-cabik, beberapa tanpa kepala atau mengalami luka bakar parah. Di kamar mayat, tangan dan wajah bayi yang menghitam muncul dari balik selimut tebal yang digunakan untuk mengangkut jenazah ke rumah sakit.

Koresponden Aljazirah melaporkan dari lokasi serangan, mengatakan daerah yang ditargetkan penuh dengan tempat penampungan yang menampung pengungsi Palestina. “Lebih dari 14 keluarga Palestina berlindung di sini. Tempat itu menjadi sasaran setidaknya dua rudal sehingga menyebabkan kebakaran,” katanya.

Beberapa tenda dibangun dari lembaran timah, terpal, dan tiang plastik. Rekaman dari tempat kejadian menunjukkan lembaran-lembaran rusak, puing-puing hangus dan api membara, beberapa jam setelah serangan.

“Seluruh keluarga terkena dampaknya, termasuk perempuan dan anak-anak. Al-Mawasi terus diserang oleh serangan Israel yang menghancurkan tenda-tenda yang berisi orang-orang di dalamnya, menyebabkan banyak orang tewas atau terluka,” kata koresponden Aljazirah.

“Rasanya seperti hari kiamat,” kata seorang perempuan yang terluka, Iman Jumaa. Ia menahan air matanya saat menggambarkan bagaimana serangan tersebut membunuh ayahnya, saudara laki-lakinya, dan anak-anak dari saudara laki-lakinya.

Video dan foto serangan yang dibagikan secara luas di media sosial menunjukkan api dan asap hitam membubung ke langit malam, serta bingkai tenda logam yang terpelintir dan kain robek. Para lelaki Palestina mencari-cari di antara puing-puing yang masih terbakar sambil berteriak, “Kemari, teman-teman!” Lebih jauh lagi, warga sipil berdiri di kejauhan, mengamati kehancuran yang terjadi.

Seorang pria lanjut usia yang seluruh keluarganya terluka dalam serangan Israel menceritakan bahwa serangan terjadi tepat setelah shalat maghrib. “Setelah salat maghrib, terjadi ledakan. Disusul dengan kebakaran. Seluruh kamp hancur,” katanya dalam kesaksian video.

“Saya berlari mencari putra, istri, dan putri saya. Semuanya dibawa ke rumah sakit. Saya satu-satunya orang yang selamat. Sisanya berada di rumah sakit. Saya masih terguncang. Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi.”

Militer Israel berdalih serangan di al-Mawasi tersebut telah memicu ledakan susulan, yang mengindikasikan bahwa ada bahan peledak di daerah tersebut. Klaim Israel tidak dapat dikonfirmasi secara independen, dan serangan tersebut juga dapat menyulut bahan bakar, tabung gas untuk memasak, atau bahan lain di dalam kamp.

Tak lama setelah serangan itu, Rumah Sakit Al-Awda mengatakan dua orang syahid dan 38 luka-luka dalam serangan di blok perumahan di kamp pengungsi Nuseirat. Pihak militer belum bisa memberikan komentar mengenai serangan tersebut, namun mengatakan bahwa serangan sebelumnya di Gaza tengah telah mengenai “sasaran teroris”.

Di Gaza utara, puluhan keluarga Palestina mengatakan serangan Israel yang semakin meluas telah memaksa mereka mengungsi dari sekolah-sekolah yang berubah menjadi tempat penampungan. Rekaman Associated Press menunjukkan orang-orang di jalan pada hari Rabu meninggalkan Beit Lahia, banyak yang berkerumun di atas kereta keledai sambil membawa barang-barang mereka. Yang lainnya berjalan kaki. “Pagi ini sebuah quadcopter (drone) meledakkan empat bom di sekolah. Ada orang yang terluka, sisa-sisa manusia – kami tidak punya apa-apa,” kata Sadeia al-Rahel.

Wanita berusia 57 tahun ini mengatakan keluarganya telah makan rumput, dedaunan, dan pakan ternak selama dua bulan karena kurangnya bantuan pangan di wilayah utara.

Jumlah bantuan yang masuk ke Gaza anjlok pada bulan Oktober, dan kelaparan tersebar luas di seluruh wilayah tersebut, bahkan di Gaza tengah dimana kelompok pemberi bantuan mempunyai akses yang lebih luas. Organisasi-organisasi kemanusiaan mengatakan pembatasan yang dilakukan Israel, pertempuran yang terus berlanjut, serta pelanggaran hukum dan ketertiban mempersulit penyaluran bantuan.

Serangan Israel telah menewaskan lebih dari 44.500 warga Palestina di Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Militer Israel mengatakan mereka telah membunuh lebih dari 17.000 militan, tanpa memberikan bukti.

 

Sumber: Republika

Yaa Allah, RS Indonesia di Gaza Kembali Jadi Sasaran Serangan Brutal Israel

Yaa Allah, RS Indonesia di Gaza Kembali Jadi Sasaran Serangan Brutal Israel

NewsINH, Gaza – Pasukan penjajah Israel sejak Rabu (27/11/2024) pagi kemarin waktu setempat kembali mengepung dan menembaki Rumah Sakit Indonesia di Beit Lahiya, Gaza Utara. Serangan tentara Israel itu menyebabkan sejumlah fasilitas rusak.

Staf lokal Rumah Sakit Indonesia mengatakan dalam keterangan persnya, Kamis (28/11/2024), tank dan drone pasukan penjajah menembaki semua jendela, atap rumah sakit, tangki air, dan fasilitas lainnya. Listrik juga sempat padam akibat serangan tersebut.

Relawan MER-C di Jalur Gaza, Ir Edy Wahyudi sebelumnya juga melaporkan, ada sekitar 26 tank penjajah Israel yang melakukan pengepungan di Rumah Sakit Indonesia. MER-C masih terus berupaya untuk dapat kembali mengirimkan tim medis dan bantuan ke Gaza Utara, yang terblokade sejak perintah evakuasi paksa penjajah Israel pada awal Oktober 2024.

Tim EMT MER-C ke-6 yang saat ini bertugas di dua Rumah Sakit di Gaza City yaitu RS Al-Shifa dan Public Aid Hospital telah lima kali mengajukan izin melalui WHO untuk bisa masuk ke Gaza Utara dan membantu memberikan pelayanan di Rumah Sakit Indonesia dan Kamal Udwan, namun hingga kini penjajah Israel masih belum memberikan izin.

Tim EMT MER-C ke-6 berhasil masuk ke Jalur Gaza pada akhir Oktober 2024. Di tengah kekurangan tenaga medis di Jalur Gaza terutama dokter spesialis, Tim rencananya akan bertugas dalam jangka waktu lebih panjang, yaitu selama tiga bulan.

Sedangkan Associated Press melaporkan, pasukan Israel memisahkan perempuan dan anak-anak Palestina dari laki-laki ketika ratusan warga sipil melarikan diri dari kota Beit Lahiya yang dilanda perang dan terkepung di Gaza utara pada Rabu.

Banyak dari mereka yang melarikan diri dari Beit Lahiya, yang telah dikepung militer Israel selama lebih dari 50 hari, berkumpul di atas gerobak keledai sambil membawa barang-barang mereka. Yang lain berjalan kaki, beberapa memegang tangan anak-anak kecil mereka, ketika mereka mendekati pasukan Israel yang telah mengepung kota dan mencegah masuknya makanan, air dan obat-obatan.

“Kami pergi, dan di sini kami duduk, tanpa tempat berlindung atau makanan, dan kami tidak tahu ke mana harus pergi,” kata Umm Saleh al-Adham, seorang wanita yang melarikan diri dari Beit Lahiya, kepada kantor berita AP.

Dia mengatakan pasukan Israel memisahkan laki-laki Palestina dan hanya mengizinkan perempuan dan anak-anak untuk melakukan perjalanan ke Kota Gaza. Militer Israel mengatakan pihaknya memfasilitasi evakuasi ribuan warga sipil dari Beit Lahiya dan juga menahan puluhan warga Palestina yang dibawa ke Israel untuk diinterogasi, lapor AP.

Sementara, pihak Israel telah menolak 82 dari 91 upaya PBB untuk mengirimkan bantuan ke Gaza utara antara awal Oktober dan 25 November. Selain menolak 82 permintaan pengiriman bantuan, Israel juga menghambat sembilan upaya lain untuk membawa pasokan kemanusiaan ke wilayah utara, yang telah berada di bawah pengepungan militer Israel dan pemboman terus-menerus selama lebih dari 50 hari.

“Kondisi untuk bertahan hidup semakin menipis bagi 65.000-75.000 orang yang diperkirakan masih tinggal di sana,” kata badan PBB untuk pengungsi Palestina dalam sebuah postingan di media sosial.

 

Sumber: Republika

Genosida di Gaza Belum Berakhir Dilaporkan 1.000 Lebih Tenaga Medis Meninggal Dunia

Genosida di Gaza Belum Berakhir Dilaporkan 1.000 Lebih Tenaga Medis Meninggal Dunia

NewsINH, Gaza – Menurut otoritas setempat pada Ahad (24/11/2024) beberapa waktu lalu, lebih dari 1.000 dokter dan perawat tewas dalam serangan Israel di Jalur Gaza sejak tahun lalu. Tentara Israel juga disebutkan telah mencegah masuknya pasokan medis, delegasi kesehatan, dan ratusan ahli bedah ke Gaza.

“Lebih dari 310 tenaga medis lainnya ditangkap, disiksa, dan dieksekusi di penjara,” kata kantor media Pemerintah Gaza dalam sebuah pernyataan.

Kantor media tersebut menuduh tentara Israel secara sistematis menargetkan rumah sakit sebagai bagian dari rencana untuk melemahkan sistem perawatan kesehatan di Gaza. “Rumah sakit telah menjadi target yang diumumkan oleh tentara Israel, yang mengebom, mengepung, dan menyerbu fasilitas tersebut, membunuh dokter dan perawat, serta melukai lainnya melalui serangan langsung,” demikian bunyi pernyataan tersebut.

Direktur Rumah Sakit Kamal Adwan, Hussam Abu Safiya, terluka dalam serangan udara Israel terhadap fasilitas tersebut dan area sekitarnya di Gaza utara pada Sabtu (23/11/2024). Israel melancarkan perang genosida di Jalur Gaza setelah serangan Hamas tahun lalu, menewaskan lebih dari 44.200 orang, kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, serta melukai lebih dari 104.500 lainnya.

Pada tahun kedua terjadinya genosida di Gaza telah memicu kecaman internasional yang semakin meluas, dengan berbagai tokoh dan lembaga menyebut serangan tersebut dan pemblokiran bantuan sebagai upaya yang disengaja untuk menghancurkan populasi yang ada di sana.

Pada Kamis (21/11/2024), Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap kepala otoritas pemerintahan Israel Benjamin Netanyahu dan mantan kepala pertahanan Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait perang brutalnya di Gaza.

 

Sumber: Republika

‘Gaza tak Lagi Layak untuk Ditinggali Manusia’

‘Gaza tak Lagi Layak untuk Ditinggali Manusia’

NewsINH, Gaza – Koordinator Kemanusiaan PBB untuk wilayah pendudukan Palestina, Muhannad Hadi, menggambarkan situasi di salah satu lokasi pengungsian di Gaza utara kian menyedihkan. Ia mengatakan bahwa ‘ini bukanlah tempat yang cocok untuk kelangsungan hidup manusia.

“Penderitaan ini harus diakhiri dan perang harus dihentikan. Situasinya di luar imajinasi,” ujarnya dilansir WAFA, kemarin. Hadi mengatakan dalam kunjungan pertamanya ke wilayah tersebut sejak dimulainya operasi militer Israel terbaru di Jalur Gaza utara bahwa ia mendengar cerita-cerita mengerikan dari orang-orang yang ditemuinya di Jalur Gaza utara.

Ia menekankan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menanggung apa yang dialami orang-orang di Jalur Gaza. “Mereka adalah korban perang ini, merekalah yang menanggung akibat dari perang ini – anak-anak di sekitar saya, perempuan, orang tua,” tambahnya.

“Apa yang saya lihat sekarang sangat berbeda dengan apa yang saya lihat di Gaza utara pada September lalu. Di sekolah ini, ada 500 orang yang tinggal di sana, sekarang ada lebih dari 1.500 orang. Ada kekurangan makanan, limbah di mana-mana, dan limbah serta sampah tersebar.”

Pejabat PBB tersebut mengunjungi ruang belajar sementara yang disebut Al-Nayzak di Jalan Al-Jalaa yang sudah rusak, di mana tenda-tenda juga telah didirikan untuk memberikan tingkat pendidikan minimum, dan merupakan tempat yang aman bagi anak-anak di lingkungan tersebut untuk belajar. dengan kengerian yang mereka alami sejak perang dimulai pada Oktober tahun lalu.

Kantor berita WAFA melansir seorang ibu Palestina dan ketiga anaknya syahid kemarin dalam pemboman pendudukan Israel terhadap sebuah rumah di kota Beit Lahia, sebelah utara Jalur Gaza.

Sumber lokal mengatakan bahwa pesawat tempur pendudukan Israel membom sebuah rumah milik keluarga al-Radeei’, yang menyebabkan pembunuhan ibu dan ketiga anaknya, dan suaminya ditahan oleh pasukan Israel.

Pesawat-pesawat tempur pendudukan Israel juga melancarkan serangan udara di sekitar bundaran barat di kota Beit Lahia, sementara artileri pendudukan menembakkan pelurunya ke Jabalia dan proyek Beit Lahia.

Jumlah warga sipil yang syahid sejak dimulainya agresi Israel yang tiada henti di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023, meningkat menjadi 43.391 orang, yang sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan. Sekitar 102.347 lainnya terluka.

Ribuan korban masih belum ditemukan; entah terkubur di bawah reruntuhan atau berserakan di sepanjang jalan, karena tim penyelamat menghadapi tantangan besar dalam menjangkau mereka karena serangan Israel yang sedang berlangsung dan banyaknya puing.

WAFA juga mengutip sumber-sumber medis yang mengumumkan pada Rabu bahwa sejumlah orang yang terluka di Rumah Sakit Kamal Adwan di Jalur Gaza utara kehilangan nyawa mereka karena kurangnya dokter spesialis bedah. Selain itu, sebagian besar korban luka tiba di rumah sakit dengan berjalan kaki, karena tidak ada satupun ambulans di Jalur Gaza utara.

Sumber tersebut mengatakan kepada WAFA bahwa tentara pendudukan Israel menahan sebagian besar staf medis 10 hari yang lalu, dan hanya dua dokter dan beberapa perawat yang masih bertugas. Mereka menunjukkan bahwa banyak orang yang terluka meninggal di jalanan karena mereka tidak dapat mencapai rumah sakit.

Sumber tersebut menambahkan bahwa sejumlah anak-anak dan staf medis terluka kemarin dan lusa akibat pemboman langsung dan acak oleh tentara pendudukan Israel terhadap gedung-gedung yang berafiliasi dengan rumah sakit.

Mereka menunjukkan bahwa meskipun ada permohonan yang dibuat oleh administrasi rumah sakit kepada dunia dan lembaga-lembaga internasional dan kemanusiaan, mereka tidak menerima tanggapan apa pun.

Pasukan pendudukan Israel melanjutkan agresi dan kejahatan genosida di wilayah utara Jalur Gaza, selama 33 hari berturut-turut, melalui pemboman darat dan udara yang intensif, dan pengepungan ketat yang mencegah masuknya makanan, air dan obat-obatan untuk memaksa warga mengungsi. selatan.

Selama 33 hari, agresi di wilayah utara menewaskan sekitar seribu orang dan menyebabkan ratusan orang terluka dan ditahan, serta kehancuran seluruh lingkungan pemukiman dan pengungsian ribuan warga ke selatan.

Pasukan pendudukan Israel masih mencegah tim medis menjangkau korban luka di Jalur Gaza utara untuk memberi mereka bantuan medis, mengingat penangguhan layanan kesehatan, pertahanan sipil, ambulans, dan layanan darurat.

 

Sumber: Republika

12 Hari Digempur Israel, 200 Ribu Warga Gaza Utara Sulit Akses Makanan

12 Hari Digempur Israel, 200 Ribu Warga Gaza Utara Sulit Akses Makanan

NewsINH, Gaza – Sedikitnya 200.000 warga Palestina di kamp Jabalia, Jalur Gaza bagian utara berada dalam kondisi tanpa pasokan pangan, air, atau obat-obatan selama 12 hari berturut-turut diserbu Israel tanpa jeda. Menurut laporan Pertahanan Sipil Gaza pada Rabu (16/10/2024) kemarin, warga Palestina di kamp pengungsi Jabalia terputus akses untuk memperoleh kebutuhan dasar.

Sementara militer Israel secara brutal terus membombardir dan menghancurkan bangunan serta infrastruktur di Provinsi Gaza Utara. Pernyataan tersebut menambahkan bahwa banyak warga sipil tewas tertimbun reruntuhan dan di jalanan, tanpa ada cara untuk mengevakuasi jenazah mereka karena militer Israel menargetkan setiap objek yang bergerak.

Pernyataan itu juga menegaskan bahwa Jabalia sedang dihancurkan secara sistematis dan menghadapi kematian dalam skala besar. Sebelumnya, saksi mata mengatakan kepada Anadolu bahwa tentara Israel melakukan penghancuran luas, membakar, dan merobohkan bangunan serta rumah-rumah di kamp pengungsi tersebut.

Ledakan dilaporkan terjadi di wilayah itu, yang dikaitkan dengan operasi penghancuran yang dilakukan oleh pasukan Israel, tambah para saksi. Tentara Israel melancarkan operasi militer di Gaza utara pada 6 Oktober di tengah pengepungan ketat di wilayah tersebut, dengan alasan bahwa serangan itu bertujuan untuk mencegah Hamas memperoleh kekuatannya kembali di daerah tersebut.

Warga Palestina membantah klaim Israel, dengan mengatakan bahwa serangan mematikan itu bertujuan untuk memaksa mereka meninggalkan daerah tersebut selamanya. Sejak saat itu, lebih dari 342 orang tewas di tengah kehancuran besar di seluruh wilayah itu, menurut pihak berwenang Palestina.

Operasi 12 hari Israel tanpa jeda itu adalah operasi darat ketiga yang dilakukan tentara Israel di kamp Jabalia sejak genosida yang sudah berlangsung di Gaza sejak 7 Oktober 2023. Israel telah meluncurkan serangan brutal di Gaza sejak tahun lalu, yang telah menewaskan lebih dari 42.400 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, serta melukai lebih dari 99.000 lainnya.

Konflik ini telah meluas ke Lebanon, di mana Israel meluncurkan serangan mematikan di seluruh negeri tersebut, menewaskan lebih dari 1.500 orang dan melukai lebih dari 4.500 lainnya sejak 23 September.

Meskipun ada peringatan internasional bahwa Timur Tengah berada di ambang perang regional di tengah serangan tanpa henti Israel terhadap Gaza dan Lebanon. Tel Aviv memperluas konflik dengan melancarkan serangan darat ke Lebanon selatan pada 1 Oktober.

 

Sumber: Anadolu/Antara

Palestina: Pemisahan Gaza Utara-Selatan Adalah Kejahatan Perang

Palestina: Pemisahan Gaza Utara-Selatan Adalah Kejahatan Perang

NewsINH, Palestina – Pemerintah Palestina pada Rabu (16/10/2024) mengecam pemisahan Gaza utara oleh militer Israel dari bagian lain wilayah Jalur Gaza sebagai “kejahatan perang.”

Juru bicara presiden, Nabil Abu Rudeineh menyampaikan pernyataan itu saat serangan Israel di Gaza utara memasuki hari ke-12 secara berturut-turut, demikian laporan kantor berita Palestina, WAFA.

Abu Rudeineh mengecam rencana Israel untuk mengisolasi Gaza utara sebagai tindakan yang “tidak dapat diterima dan patut dikecam.”

Dia menegaskan bahwa tindakan itu tidak akan membangun keamanan atau stabilitas bagi kawasan, dan bahwa “satu-satunya solusi adalah mewujudkan negara Palestina yang merdeka berdasarkan perbatasan 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.”

Abu Rudeineh juga mengkritik operasi militer Israel yang melibatkan serangan tanpa henti di Gaza, sehingga memaksa ratusan ribu warga untuk mengungsi, dan penghancuran sebagian besar kamp pengungsi Jabalia.

Pejabat Palestina itu menekankan bahwa tindakan tersebut merupakan “kejahatan perang menurut hukum internasional.”

Pernyataan itu juga mengecam upaya untuk mengenyahkan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA),, serta menuduh Israel berusaha melikuidasi masalah pengungsi Palestina.

Selain itu, Abu Rudeineh menyalahkan Amerika Serikat karena melumpuhkan Dewan Keamanan PBB, dengan mengutip dukungan finansial dan militer Washington yang terus-menerus terhadap Israel sebagai pemicu “kekejaman” yang dilakukan terhadap warga Palestina.

Tentara Israel melancarkan operasi militer di Gaza utara pada 6 Oktober di tengah pengepungan ketat di wilayah tersebut, dengan alasan bahwa serangan itu bertujuan mencegah Hamas membangkitkan kembali kekuatannya di daerah tersebut.

Warga Palestina membantah klaim Israel, dengan mengatakan bahwa serangan mematikan itu bertujuan memaksa mereka untuk meninggalkan daerah tersebut secara permanen.

Sejak itu, lebih dari 342 orang tewas di tengah kehancuran besar di seluruh wilayah tersebut, menurut pihak berwenang Palestina. Ini menandai operasi darat ketiga yang dilakukan oleh militer Israel di kamp Jabalia sejak dimulainya genosida yang sedang berlangsung di Gaza pada 7 Oktober 2023.

Israel telah meluncurkan serangan brutal di Gaza menyusul serangan lintas batas kelompok perlawanan Hamas ke wilayah Israel tahun lalu.

Serangan Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 42.400 orang, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, serta melukai lebih dari 99.000 lainnya.

Konflik ini telah menyebar ke Lebanon, di mana Israel meluncurkan serangan mematikan di seluruh negara tersebut, menewaskan lebih dari 1.500 orang dan melukai lebih dari 4.500 lainnya sejak 23 September.

Meskipun ada peringatan internasional bahwa Timur Tengah berada di ambang perang regional di tengah serangan Israel yang tanpa henti terhadap Gaza dan Lebanon, Tel Aviv memperluas konflik dengan melancarkan serangan darat ke Lebanon selatan pada 1 Oktober.

 

Sumber: Anadolu/Antara

Gunakan Bom Drone di Gaza, Pengawan HAM: Israel Langgar Hukum Internasional

Gunakan Bom Drone di Gaza, Pengawan HAM: Israel Langgar Hukum Internasional

NewsINH, Gaza – Pengawas Hak Asasi Manusia (HAM) Euro-Mediterania pada Ahad (13/10/2024) menilai, penggunaan (bomb-laden) drone berisi bahan peledak oleh militer Israel selama melakukan operasi di Gaza utara “dilarang berdasarkan hukum internasional”. Genosida di Palestina disebut pegawas HAM Euro-Mediterania semakin parah.

“Militer Israel memperparah genosida terhadap rakyat Palestina di sana, dengan melakukan pembantaian, pembunuhan disengaja, kelaparan, dan pengungsian paksa yang meluas,” demikian pernyataan organisasi yang berbasis di Jenewa tersebut.

Pengawas HAM Euro-Mediterania itu menjelaskan bahwa “militer Israel benar-benar telah memisahkan Gaza utara dari Kota Gaza dengan mengerahkan kendaraan dan mendirikan penghalang pasir dan puing-puing dari rumah yang hancur, selain pelindung tembakan dari drone.”

Organisasi itu mencatat bahwa “pihaknya telah menerima banyak kesaksian tentang penggunaan bomb-laden drone/robot yang diledakkan dari jarak jauh oleh militer Israel, yang memperluas kerusakan rumah dan bangunan di sekitarnya serta menambah korban jiwa, sementara tugas tim ambulans dan pertahanan sipil hampir berhenti total, kecuali di lokasi sempit di sejumlah daerah.”

Penggunaan drone peledak/robot oleh Israel dilarang berdasarkan hukum internasional lantaran dianggap sebagai senjata sembarangan yang tidak dapat diarahkan atau dibatasi hanya pada sasaran militer. Menurut pengawas HAM Euro-Mediterania, militer Israel mulai menggunakan bomb-laden drone tersebut untuk pertama kalinya di Gaza pada Mei saat serangan kedua ke kamp pengungsi Jabalia.

Kelompok itu membenarkan bahwa militer Israel telah memperluas operasi penghancuran dan pembongkaran bangunan tempat tinggal di area serangan rezim di Gaza utara, dengan menggunakan tiga cara yakni pemboman udara, bom-laden drone/robot peledak dan penanaman bom di rumah-rumah.

“Mereka yang selamat dari pembunuhan dan pemboman langsung masih berisiko meninggal akibat kelaparan atau kehausan, lantaran pasukan Israel mencegah masuk bantuan apa pun ke Gaza utara, sambil juga menghancurkan dan membakar toko roti di sana, selain membongkar sumur air yang tersisa.”

Militer Israel melancarkan operasi militer di Gaza utara pada 6 Oktober di tengah pengepungan ketat wilayah tersebut, mengeklaim bahwa serangan tersebut bertujuan untuk mencegah kelompok Palestina Hamas mendapatkan kembali kekuatan di daerah tersebut. Israel terus menggencarkan serangan brutal di Gaza menyusul serangan lintas batas oleh kelompok Hamas pada 7 Oktober tahun lalu, meski terdapat resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera.

Sejak itu, lebih dari 42.200 orang, mayoritas perempuan dan anak-anak, tewas dan lebih dari 98.400 orang terluka, menurut otoritas kesehatan setempat. Serangan Israel telah menyebabkan hampir seluruh penduduk Jalur Gaza mengungsi di tengah pengepungan yang hingga kini masih berlangsung, yang telah mengakibatkan krisis makanan, air bersih serta obat-obatan. Israel menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas perbuatan mereka di Gaza.

 

Sumber: Republika

Liga Arab sebut Israel berupaya usir Palestina dengan genosida di Gaza

Liga Arab sebut Israel berupaya usir Palestina dengan genosida di Gaza

NewsINH, Gaza – Liga Arab pada Minggu (13/10/2024) kemarin mengecam genosida yang sedang dilakukan oleh Israel di Gaza utara dan menuduh Tel Aviv sedang menjalankan rencana untuk mengosongkan wilayah tersebut.

Dalam sebuah pernyataan, Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit mengecam “dengan sekeras-kerasnya operasi Israel yang berkelanjutan di Gaza utara, terutama di Jabalia, yang mengakibatkan ratusan orang tewas dan terluka.”

Aboul Gheit mengatakan Israel “memanfaatkan perhatian global yang tertuju pada aksinya di Lebanon untuk terus melakukan lebih banyak kekejaman yang menambah catatan memalukan (Israel) di Gaza.”

Dia menegaskan bahwa “tujuan operasi Israel adalah memisahkan Gaza utara dari wilayah lainnya dan sepenuhnya mengosongkannya dari penduduk, untuk melaksanakan rencana pengusiran.”

Gheit juga menyoroti bahwa Israel “menggunakan kebijakan yang sangat brutal dengan mencegah pasokan penting, seperti air dan makanan, mencapai rakyat serta menargetkan fasilitas kesehatan dan meratakan bangunan.”

Baca juga: Israel perkuat tindakan genosida dengan membantai warga Gaza utara

Tentara Israel meluncurkan serangan militer terbarunya di Gaza utara pada 6 Oktober di tengah pengepungan ketat, dengan alasan bahwa tujuannya adalah untuk mencegah kelompok Palestina Hamas memulihkan kekuatan di daerah tersebut.

Israel terus melakukan serangan brutal di Gaza setelah serangan lintas batas oleh kelompok Palestina Hamas pada 7 Oktober tahun lalu, meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera.

Lebih dari 42.200 orang telah tewas, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan lebih dari 98.400 terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.

Serangan Israel telah menyebabkan hampir seluruh penduduk Jalur Gaza mengungsi di tengah blokade yang terus berlanjut, yang telah menyebabkan kekurangan parah makanan, air bersih, dan obat-obatan.

Israel menghadapi gugatan kasus genosida di Pengadilan Internasional (ICJ) atas tindakannya di Gaza.

 

Sumber: Anadolu/Antara

Tolak Eavakuasi dari Israel, Warga Palestina: Lebih Baik Mati Daripada Pergi

Tolak Eavakuasi dari Israel, Warga Palestina: Lebih Baik Mati Daripada Pergi

NewsINH, Gaza – Tentara Israel yang telah menghabisi lebih dari 42.000 warga Gaza sejak tahun lalu, memerintahkan warga Palestina di Jabalia, Beit Hanoun, dan Beit Lahia untuk meninggalkan rumah mereka di Gaza utara dan bergerak ke selatan.

Namun, banyak warga Palestina mengatakan tidak akan meninggalkan rumah mereka setelah dipaksa evakuasi oleh rezim Zionis.

“Lebih baik mati daripada pergi,” kata Ibrahim Awda, yang tinggal bersama keluarganya di sebuah tenda di kamp pengungsi Jabalia, kepada Anadolu dikutip dari Antara, Kamis (10/10/2024).

“Tentara pendudukan ini berusaha memaksa kami untuk bermigrasi dan pindah ke selatan setelah satu tahun bertahan di utara dan setelah kehilangan rumah dan pekerjaan kami,” paparnya, menambahkan.

Awda, yang kehilangan dua anak dan rumahnya akibat serangan Israel, mengatakan bahwa penduduk Palestina di kamp Jabalia menolak untuk mematuhi perintah evakuasi Israel.

“Mereka tidak akan meninggalkan rumah mereka di Gaza utara kecuali kami mati,” tegas lelaki yang telah berusia 42 tahun itu.

Menurut laporan Anadolu, tentara Israel telah memperketat pengepungan di sekitar Gaza utara dari segala arah, memutus hubungan dengan Gaza City. Serangan militer di Jabalia ini adalah yang ketiga oleh tentara Israel sejak pecahnya konflik Gaza tahun lalu.

Ratusan warga Palestina tewas dan ribuan terluka dalam penembakan artileri dan serangan udara Israel di kamp tersebut dalam beberapa bulan terakhir, menurut otoritas kesehatan setempat.

Awda mengatakan bahwa tentara Israel mencoba menipu warga Gaza utara dengan mengeklaim bahwa wilayah selatan “aman” bagi mereka.

“Keberlanjutan kejahatan Israel dan pembunuhan yang disengaja terhadap warga sipil yang mengungsi menunjukkan kebohongan mereka,” tambahnya.

Ia mencontohkan kematian sedikitnya 26 orang pada akhir pekan ini dalam serangan Israel terhadap sebuah sekolah dan masjid yang menjadi tempat penampungan pengungsi di kota Deir al-Balah di pusat Gaza.

“Pembantaian ini terjadi pada hari yang sama saat tentara Israel mengeluarkan perintah evakuasi bagi kami untuk menuju ke selatan,” kata Awda.

Mureed Ahmad, 26, memiliki pandangan yang sama.

“Kami menolak untuk meninggalkan rumah kami sejak hari pertama perang. Kami tidak akan menerima untuk pergi sekarang,” katanya kepada Anadolu.

Pemuda Palestina ini percaya bahwa tentara Israel menggunakan “tekanan militer” untuk memaksa penduduk Jabalia mengungsi ke selatan.

“Kebijakan ini terbukti gagal, Penduduk Palestina menolak untuk meninggalkan rumah mereka meskipun tentara Israel terus mengepung,” ujarnya.

Otoritas Palestina memperkirakan ada sekitar 700.000 orang yang masih tinggal di Gaza utara. Tentara Israel telah berulang kali mengeluarkan perintah bagi warga Palestina untuk mengungsi dari wilayah mereka sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023.

Jalur Gaza utara telah berada di bawah pengepungan ketat Israel yang membuat seluruh penduduk wilayah tersebut berada di ambang kelaparan.

As’ad Al-Nadi, seorang warga Jabalia, mengatakan bahwa ia mencoba melarikan diri dari wilayah tersebut bersama keluarganya menuju “zona aman” di Gaza City bagian barat.

“Namun, kami diserang secara langsung, menyebabkan anak laki-laki saya yang berusia 16 tahun terluka,” kenangnya.

Dia harus memapah putranya di bahunya untuk dibawa oleh ambulans ke Rumah Sakit Al-Ahli Baptist untuk mendapatkan perawatan medis. Meskipun dia masih khawatir akan keluarganya, Al-Nadi mengatakan bahwa dia tidak akan meninggalkan rumahnya di Jabalia dan pindah ke selatan.

“Saya mungkin akan pindah di dalam Gaza utara, tapi saya tidak akan pernah pindah ke selatan. Semua orang yang melarikan diri ke Gaza selatan sejak perang pecah belum dapat kembali ke Gaza utara sampai hari ini,” tegasnya.

Israel terus melakukan serangan brutal di Jalur Gaza menyusul serangan oleh kelompok Palestina Hamas tahun lalu, meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera.

Serangan Israel telah mengakibatkan hampir seluruh penduduk Jalur Gaza terlantar di tengah blokade yang sedang berlangsung, yang menyebabkan kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan yang parah.

Israel menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas tindakannya di Gaza.

 

Sumber: Anadolu/Antara

Bungkam Kebebasan Pers, Tentara Israel Serbu Kantor Berita Al Jazeera di Kota Ramallah Palestina

Bungkam Kebebasan Pers, Tentara Israel Serbu Kantor Berita Al Jazeera di Kota Ramallah Palestina

NewsINH, Ramallah – Tentara Israel menyerbu dan menutup kantor TV Aljazeera di kota Ramallah, Tepi Barat, pada Ahad (22/9/2024) pagi kemarin waktu setempat, dalam tindakan yang digambarkan sebagai keputusan militer yang sewenang-wenang.

Kantor berita Palestina, Wafa, melaporkan pemerintah Israel memerintahkan staf Aljazeera untuk meninggalkan lokasi sebelum kemudian menutup kantor media tersebut.

Penyerbuan terjadi di tengah peningkatan ketegangan di kawasan maupun pengawasan terhadap organisasi media yang meliput perang Israel di Gaza.

Menurut Wafa, tentara-tentara Israel menyita dokumen dan perlengkapan dari kantor Aljazeera. Mereka juga memberlakukan larangan berkegiatan selama 45 hari terhadap saluran Aljazeera di wilayah tersebut dengan alasan masalah keamanan.

Dilansir laman Anadolu, Serikat Jurnalis Palestina mengecam penggerebekan dan penutupan tersebut dan menyebutnya sebagai serangan baru terhadap jurnalisme dan kebebasan media.

Serikat tersebut mendesak organisasi dan lembaga internasional pembela hak dan keselamatan jurnalis agar mengambil tindakan segera untuk mengecam dan memastikan keputusan tersebut dibatalkan.

Serikat juga menyatakan solidaritas dengan Aljazeera dan beserta para jurnalisnya dengan menawarkan kantor pusat dan sumber daya untuk membantu kegiatan staf media tersebut selama masa penutupan paksa.

Israel sering menargetkan Al Jazeera dan jurnalisnya, terkadang sampai membunuh mereka – seperti yang dilakukan terhadap Shireen Abu Akleh, Samer Abudaqa, Ismail al-Ghoul, dan Rami al-Rifi.

“Hal ini sangat sejalan dengan kebijakan negara Israel sejak 1948 … untuk mencegah berita nyata tentang warga Palestina atau tentang apa yang dilakukan negara Israel terhadap warga Palestina … menjajah mereka, menangkap mereka, dan menyiksa mereka,” kata Rami Khouri, peneliti terkemuka di Universitas Amerika di Beirut, kepada Al Jazeera seperti dilansir Senin (23/9).

Jivara Budeiri dari Al Jazeera, yang sedang bekerja saat penggerebekan terjadi, mengatakan kepada Al Jazeera Arabic bahwa kelompok Israel yang menyerbu melibatkan para teknisi, yang membuatnya khawatir bahwa para penyerbu itu juga datang untuk menghancurkan arsip biro tersebut.

Tentara Israel berada di kantor Al Jazeera selama beberapa jam, selama waktu itu satu-satunya hal yang dapat diamati adalah beberapa dari mereka merobek spanduk besar jurnalis Al Jazeera Arabic yang terbunuh, Shireen Abu Akleh.

Tidak ada seorang pun di tim Al Jazeera yang terluka. Namun, mereka menghabiskan waktu berjam-jam berdiri di jalan agak jauh dari gedung kantor, tidak dapat mendekatinya untuk mengambil mobil mereka.

Menurut Budeiri dari Al Jazeera Arabic, mereka juga tidak dapat bergerak meliput penggerebekan karena setiap anggota kelompok yang bergerak diancam dengan laser senjata Israel.

Saat tentara Israel berada di kantor Al Jazeera untuk menghancurkan berbagai hal seperti spanduk Shireen Abu Akleh, lebih banyak tentara di mobil lapis baja berpatroli di area sekitar gedung dan tim kantor dapat mendengar suara tembakan dan tembakan tabung gas air mata di sekitar.

 

Sumber: Wafa/Republika/Liputan6

 

Customer Support kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!