NewsINH, Gaza – Serangan udara dan darat terus dilakukan oleh militer Israel disejumlah wilayah di Jalur Gaza, Palestina. Bombardir tak berperikemanusiaan yang terus dilancarkan pasukan Israel telah membunuh sedikitnya 500 anak-anak Palestina. Jumlah ini merupakan pembunuhan anak-anak Palestina paling banyak sepanjang sejarah penjajahan Israel di tanah Palestina.
Dilansir dari republika, Jumat (13/10/2023) Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza mencatat sebanyak 1.537 warga meninggal akibat pengeboman Israel sejak Sabtu pekan lalu. Dari jumlah itu, 500 diantaranya adalah anak-anak dan 276 perempuan, serta 6.612 orang mengalami luka-luka.
Sementara itu, korban tewas Israel akibat Operasi Badai Al-Aqsa yang dilancarkan oleh sayap bersenjata kelompok Hamas Palestina, Brigade Al-Qassam, telah mencapai 1.300 orang. Sedangkan jumlah korban luka dilaporkan 3.300 orang, seperti dilansir Israel Public Broadcasting Korporasi (KAN). KAN juga mengatakan, 350 warga Israel yang terluka berada dalam kondisi kritis.
Pejabat Israel menyatakan ada anak-anak yang terbunuh dalam serangan Hamas pada Sabtu pekan lalu. Kendati demikian, sejauh ini jumlahnya tak terverifikasi. Klaim bahwa pasukan Hamas memenggal bayi-bayi di Israel seperti yang ikut digaungkan Presiden AS Joe Biden juga diakui tak ada buktinya.
Jumlah anak-anak yang gugur di Gaza kemungkinan masih bertambah menyusul kelakuan Israel yang tak hanya membombardir Gaza tapi juga memutus seluruh akses kebutuhan hidup ke wilayah yang diblokade sejak 16 tahun lalu itu. Sementara jumlah yang dibunuh Israel tahun ini sudah melampaui jumlah korban anak-anak dalam penyerangan sebelumnya.
Pada Agustus 2022, 44 anak-anak Palestina dibunuh di Gaza, lima diantaranya dibantai tentara Israel saat mengunjungi makam kakek mereka di Falluja. Pada Mei 2021, 68 anak-anak Palestina dibunuh Israel di Gaza. Pada Juli-Agustus 2014, 459 anak dibunuh bom Israel di Gaza. Baru saja pada Mei lalu, lima anak-anak juga dibunuh bom Israel di Gaza. Sepanjang 2023 ini, tentara Israel menembak mati 34 anak-anak dan remaja di Tepi Barat.
Konflik dimulai pada hari Sabtu ketika Hamas memulai Operasi Banjir Al-Aqsa terhadap Israel, sebuah serangan mendadak multi-cabang yang mencakup rentetan peluncuran roket dan infiltrasi ke Israel melalui darat, laut dan udara.
Hamas mengatakan operasi tersebut merupakan upaya penghabisan membebaskan Palestina dari penindasan berpuluh tahun Israel yang telah menewaskan ribuan warga Palestina termasuk lebih dari 2.000 anak-anak. Hamas juga berdalih penyerangan sebagai pembalasan atas penyerbuan Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur yang diduduki dan meningkatnya kekerasan pemukim Israel terhadap warga Palestina.
Militer Israel kemudian melancarkan Operasi Pedang Besi terhadap sasaran Hamas di Jalur Gaza. Respons Israel meluas hingga memotong pasokan air dan listrik ke Gaza, yang semakin memperburuk kondisi kehidupan di wilayah yang terkepung sejak tahun 2007.
Kamar mayat di rumah sakit terbesar di Gaza penuh sesak pada Kamis karena jenazah datang lebih cepat daripada yang dapat diterima oleh kerabat mereka pada hari keenam pemboman udara besar-besaran Israel di wilayah berpenduduk 2,3 juta orang itu.
Dengan banyaknya warga Palestina yang terbunuh setiap hari dalam serangan Israel, petugas medis di daerah kantong yang terkepung mengatakan mereka kehabisan tempat untuk menyimpan sisa-sisa yang diambil dari serangan terbaru atau yang diambil dari reruntuhan bangunan yang hancur.
Kamar mayat di rumah sakit Al Shifa di Kota Gaza hanya mampu menampung sekitar 30 jenazah dalam satu waktu, dan para pekerja harus menumpuk tiga jenazah di luar ruang pendingin dan meletakkan lusinan jenazah lagi, secara berdampingan, di tempat parkir. Ada yang ditaruh di tenda, ada pula yang tergeletak di atas semen, di bawah sinar matahari.
“Kantong jenazah mulai berdatangan dan terus berdatangan dan sekarang menjadi kuburan,” kata Abu Elias Shobaki, perawat di Shifa, tentang tempat parkir. “Saya lelah secara emosional dan fisik. Saya hanya harus menahan diri untuk tidak memikirkan betapa buruknya keadaan yang akan terjadi.”
Sementara, Israel bersiap menghadapi kemungkinan invasi darat ke Gaza untuk pertama kalinya dalam hampir satu dekade. Serangan darat kemungkinan akan meningkatkan jumlah korban jiwa warga Palestina, yang telah melampaui empat perang berdarah terakhir antara Israel dan Hamas.
Banyaknya korban jiwa yang berdatangan telah mendorong sistem ini mencapai batas kemampuannya di wilayah yang telah lama diblokade. Rumah sakit di Gaza kekurangan pasokan pada saat normal, namun kini Israel telah menghentikan aliran air dari perusahaan air nasionalnya dan memblokir aliran listrik, makanan, dan bahan bakar ke wilayah pesisir tersebut.
“Kami berada dalam situasi kritis,” kata Ashraf al-Qidra, juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza. “Ambulans tidak bisa menjangkau korban luka, korban luka tidak bisa mendapatkan perawatan intensif, korban meninggal tidak bisa dibawa ke kamar mayat.”
Di lapangan, kisah-kisah yang keluar dari warga Palestina memilukan hati. Salah satunya datang dari Muhammad Ahmed. Ia menuturkan, meninggalkan rumah untuk bekerja pada Rabu dari kamp pengungsi Jabalia di utara Gaza, istri dan anak-anaknya sempat khawatir dia akan menjadi korban pemboman Israel.
Sekitar tiga puluh menit setelah istrinya mengirim pesan kepadanya untuk memeriksa apakah dia baik-baik saja, dua serangan udara Israel merobohkan bangunan tempat tinggal tiga lantai mereka. Serangan itu membunuh seluruh keluarganya, termasuk istri dan anak-anaknya, saudara kandung, keponakan laki-laki, dan saudari iparnya. Ahmed, yang bekerja memasok air minum ke warga Gaza, kembali ke rumah dan mendapati rumahnya hancur menjadi puing-puing.
Keempat anaknya, Haidi (1 tahun), Qussai (3), Sidra (6), dan Linda (7), sedang bermain dengan sepupu mereka yang berusia dua tahun, Ubaida, ketika rumah mereka dibom pada pukul 11.30 waktu setempat. “Sidra sangat ketakutan. Dia merasa ngeri dengan suara bom tersebut. Tapi saudara perempuannya, Linda, selalu menghiburnya,” kata Ahmed kepada Middle East Eye. “Saat saya berangkat kerja, dia dan ibunya khawatir saya akan terbunuh. Tapi mereka malah pergi duluan.”
Ahmed mengatakan bahwa keponakannya yang berusia satu bulan, Yamen, ditemukan meninggal dalam posisi menyusui ibunya di bawah reruntuhan. “Yamen menderita meningitis dan saya membawanya ke dokter sehari sebelumnya. Dia baru berusia satu bulan dan dia sedang disusui ketika serangan udara menghantam rumahnya,” tambah Ahmed.
“Awak pertahanan sipil membutuhkan waktu berjam-jam hingga mereka dapat mengambil jenazah mereka karena gedung tiga lantai berada di atas mereka,” lanjutnya. “Sampai saat ini, jenazah adik saya Haifa yang berprofesi sebagai insinyur masih tertimbun reruntuhan.”
Ditarik dari reruntuhan rumahnya di Jabalia, bersama dengan sekitar 100 orang lainnya yang gugur atau terluka, seorang bayi berusia tiga bulan selamat namun sempat tak diketahui keberadaannya selama berjam-jam.
Dalam upaya menyatukan kembali bayi tersebut dengan keluarganya, Kementerian Kesehatan di Gaza merilis video di mana seorang dokter mendekatkan bayi tersebut ke kamera dan meminta keluarga untuk menghubungi rumah sakit jika mereka mengenalinya.
“Pesawat tempur Israel membom mereka, membunuh orang tuanya, dan dia tertinggal di antara reruntuhan. Kami menemukannya beberapa waktu lalu dan masih mencari keluarganya,” kata dokter.
Diidentifikasi sebagai Qassem al-Kafarna, bayi tersebut bertemu kembali dengan keluarganya beberapa jam kemudian. Menurut kerabatnya, ayah bayi tersebut, saudara laki-lakinya, dan empat sepupunya syahid dalam serangan udara tersebut.
Di kamp pengungsi Khan Younis di Jalur Gaza selatan, pada Rabu serangan udara Israel menghantam sebuah rumah tempat keluarga Abutair berlindung sehari sebelumnya. Serangan tersebut menewaskan dua anak, Firas (14 tahun) dan Ahmed (11), sementara saudara ketiga mereka, Kamal, dan ayah mereka, yang masih berada di unit perawatan intensif, selamat.
Duduk di kursi roda dengan lengan terbalut gips panjang, Kamal tampak dalam video yang beredar di media sosial sambil menangis histeris, mengenang kejadian saat ia dan adiknya tertimpa reruntuhan. “Kami sedang tidur. Saya terbangun karena suara ledakan…Kakak saya meneriakkan nama saya ‘Kamal, Kamal’. Wallahi dia masih hidup, tapi karena ada batu di mulutnya, dia tidak bisa meneriakkan nama saya”, kata anak laki-laki itu.
“Firas, tolong jawab aku, Firas […] Aku ingin menciumnya, aku ingin menciumnya,” serunya, sebelum seorang petugas kesehatan membawanya ke tubuh saudaranya dan membantunya mengucapkan selamat tinggal.
Menurut Kementerian Kesehatan di Gaza, setidaknya 60 enam puluh persen korban dalam pemboman Israel di Gaza adalah anak-anak dan perempuan.
Sumber: republika