NewsINH, Ramallah – Otoritas pendudukan Israel mengeluarkan surat perintah penghancuran sebuah sekolah Palestina di Masafer Yatta, Tepi Barat. Meski belum jelas alasan penghancuran lembaga pendiikan itu namun disinyalir tindakan ini untuk menjadikan generasi Palestina mengelami keterbelakangan dalam bidang pendidikan.
Dilansir dari kantor berita Palestina, Wafa, Jum’at (18/11/2022), otoritas militer Israel hari ini mengeluarkan perintah pembongkaran terhadap sebuah sekolah yang masih dalam tahap konstruksi di Masafer Yatta di selatan Tepi Barat.
Fouad al-Imour, salah seorang aktivis yang aktif di Komite Perlindungan dan Ketabahan, mengatakan militer Israel memberi tahu warga di komunitas al-Saffi di Masafer Yatta tentang perintah pembongkaran yang dikeluarkan terhadap sekolah tiga kelas tersebut.
“Sebelumnya Israel juga mengeluarkan perintah untuk menyita sekitar 320 dunum tanah di distrik Betlehem Tepi Barat yang diduduki selatan,” katanya.
Penyitaan dilakukan untuk kepentingan perluasan permukiman yang dibangun secara ilegal di tanah Palestina. Perintah tersebut akan mulai berlaku dalam waktu 30 hari sejak tanggal keputusan.
Sementara itu, Menteri Pendidikan Israel Yifat Shasha-Biton telah menyetujui buku pelajaran baru yang mengajarkan tentang identitas Yahudi. Buku baru yang ditujukan bagi siswa sekolah ini lebih mementingkan afiliasi dengan Yudaisme daripada penghormatan terhadap hak asasi manusia, kesetaraan, dan masalah lainnya.
Shasha-Biton menyetujui buku teks tersebut meskipun mendapat kritik keras dari dalam kementerian dan LSM pendidikan. Dia mengklaim bahwa, isi buku mata pelajaran itu tidak diubah, hanya diperbarui.
Menurut pakar hukum dari Universitas Ibrani Yerusalem dan Institut Demokrasi Israel, Profesor Mordechai Kremnitzer, buku pelajaran baru tersebut menjelaskan kepada para siswa terkait gagasan tentang superioritas Yahudi. Dia mengatakan, perubahan kurikulum ini terkait dengan hasil pemilu yang didominasi oleh politik sayap kanan.
“Tidak mungkin mengabaikan dampak masif pendidikan terhadap hasil pemilu terbaru yang membawa sayap kanan dalam kekuasaan. Materi studi sipil dicuri oleh pihak sayap kanan tertentu dan dimodifikasi sesuai dengan prinsipnya,” ujar Kremnitzer, dilaporkan Middle East Monitor, Rabu (16/11/2022).
Arab48.com melaporkan, materi dalam buku tersebut tidak memasukkan sudut pandang kritis dan mengabaikan jutaan warga Palestina di bawah pendudukan Israel. Buku pelajaran itu juga tidak mengisyaratkan kurangnya kesetaraan sosial dan ekonomi di dalam Israel.
Buku pelajaran tersebut tidak menyebutkan hukum dasar yang berkaitan dengan martabat manusia dan kebebasan untuk bekerja. Tetapi mencakup penjabaran dari hukum kebangsaan Yahudi, dan keunggulan utama orang Yahudi. Materi buku ini pada dasarnya mengabaikan warga Muslim dan Kristen Israel.
Sebelumnya, surat kabar Haaretz melaporkan, pesan supremasi Yahudi mendominasi kurikulum pendidikan yang diusulkan Israel. Sejumlah sumber di Kementerian Pendidikan mengatakan, kurikulum dirumuskan selama setahun terakhir oleh lima anggota komite yang terdiri dari orang Yahudi.
Kurikulum ini diharapkan menjadi dasar untuk program kewarganegaraan sekolah menengah baru di masa depan. Kurikulum baru tersebut sedang menunggu persetujuan akhir.
“Program ini menyampaikan dengan baik pesan supremasi Yahudi kepada para siswa,” ujar Kremnitzer, dilaporkan Haaretz.
Kremnitzer menekankan bahwa, kontribusi sistem pendidikan Israel tidak dapat diabaikan ketika melihat hasil pemilu belum lama ini. Kurikulum baru akan diterapkan untuk kelas sembilan di sekolah umum non-agama, sekolah agama di komunitas umum, serta sekolah umum di komunitas Arab dan Druze.
Menurut salinan kurikulum yang diperoleh Haaretz, kurikulum bagian pertama berkaitan dengan Deklarasi Kemerdekaan Israel. Kurikulum ini fokus pada otoritas pemerintah dan sejumlah simbol dan undang-undang perwakilan. Bagian kedua menawarkan daftar topik untuk dipilih, termasuk “Israel dan Diaspora”, “Hubungan Agama-Negara”, “Konflik Israel-Arab”, dan “Bapak Pendiri”. Dalam kurikulum itu tidak disebutkan keberadaan jutaan orang Palestina atau ketidaksetaraan ekonomi dan sosial di Israel.
Kata-kata seperti kesetaraan tidak disebutkan sama sekali dalam kurikulum baru. Sedangkan dalam kurikulum saat ini, kata ” kesetaraan” muncul sembilan kali, terutama berkaitan dengan persamaan di hadapan hukum.
Sementara kata “loyal” diperkenalkan untuk pertama kalinya dalam konteks menjadi “taat hukum dan setia kepada Negara”. Daftar tujuan tidak mencantumkan kewajiban Negara untuk mengurus dan melayani warga negaranya dan bahwa kata “hak” tidak muncul dalam kurikulum baru tersebut. Sedangkan istilah “martabat manusia” telah dihapus dari kurikulum baru itu.
“Inti dari sistem demokrasi adalah manusia, bersama dengan berbagai kombinasi nilai kesetaraan dan kebebasan. Ini tidak terlihat dalam kurikulum” kata seorang pejabat Kementerian Pendidikan yang berbicara dengan syarat anonim.
Berbagai Sumber