Kelaparan di Gaza Utara Memburuk, PBB Ingatkan Risiko Kematian Sangat Tinggi

Kelaparan di Gaza Utara Memburuk, PBB Ingatkan Risiko Kematian Sangat Tinggi

NewsINH, Hamilton – Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB pada Kamis (7/11/2024) kemarin memperingatkan situasi di Gaza Utara yang semakin memburuk, dengan menyatakan seluruh penduduk wilayah tersebut berada dalam “risiko kematian segera akibat penyakit, kelaparan, dan kekerasan.”

Juru bicara deputi Stephanie Tremblay dalam konferensi pers mengatakan, “satu-satunya bantuan PBB yang diizinkan masuk ke Gaza Utara sejak pengepungan Israel dimulai sebulan lalu hanyalah pasokan untuk rumah sakit selama misi evakuasi medis,” dengan mengutip data dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA).

“Serangan Israel menghalangi warga Palestina untuk mendapatkan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup mereka, termasuk air,” ujarnya.

Tremblay menekankan, para pekerja kemanusiaan “tidak dapat bekerja dengan aman dan dihalangi oleh pasukan Israel serta kondisi keamanan yang berbahaya untuk mencapai orang-orang yang membutuhkan.”

“Sebagaimana disampaikan pemimpin PBB dan organisasi kemanusiaan, Komite Tetap Antar-Lembaga, sepekan yang lalu, seluruh penduduk di Gaza Utara berada dalam risiko kematian yang segera akibat penyakit, kelaparan, dan kekerasan,” tambahnya.

Menyampaikan bahwa warga Palestina di Gaza Utara “tidak memiliki perlindungan sama sekali” sementara Israel terus melancarkan serangan tanpa henti, Tremblay mendesak perlindungan bagi warga sipil “di utara dan seluruh wilayah Gaza.”

“Hari ini, warga yang masih berada di beberapa bagian Gaza Utara dan gubernuran Gaza kembali diperintahkan keluar oleh otoritas Israel,” lanjutnya, dengan menyebutkan bahwa 14.000 orang yang terdampak terpaksa mengungsi dan tinggal di tempat-tempat penampungan serta lokasi lainnya.

 

Sumber: Anadolu/Antara

12 Hari Digempur Israel, 200 Ribu Warga Gaza Utara Sulit Akses Makanan

12 Hari Digempur Israel, 200 Ribu Warga Gaza Utara Sulit Akses Makanan

NewsINH, Gaza – Sedikitnya 200.000 warga Palestina di kamp Jabalia, Jalur Gaza bagian utara berada dalam kondisi tanpa pasokan pangan, air, atau obat-obatan selama 12 hari berturut-turut diserbu Israel tanpa jeda. Menurut laporan Pertahanan Sipil Gaza pada Rabu (16/10/2024) kemarin, warga Palestina di kamp pengungsi Jabalia terputus akses untuk memperoleh kebutuhan dasar.

Sementara militer Israel secara brutal terus membombardir dan menghancurkan bangunan serta infrastruktur di Provinsi Gaza Utara. Pernyataan tersebut menambahkan bahwa banyak warga sipil tewas tertimbun reruntuhan dan di jalanan, tanpa ada cara untuk mengevakuasi jenazah mereka karena militer Israel menargetkan setiap objek yang bergerak.

Pernyataan itu juga menegaskan bahwa Jabalia sedang dihancurkan secara sistematis dan menghadapi kematian dalam skala besar. Sebelumnya, saksi mata mengatakan kepada Anadolu bahwa tentara Israel melakukan penghancuran luas, membakar, dan merobohkan bangunan serta rumah-rumah di kamp pengungsi tersebut.

Ledakan dilaporkan terjadi di wilayah itu, yang dikaitkan dengan operasi penghancuran yang dilakukan oleh pasukan Israel, tambah para saksi. Tentara Israel melancarkan operasi militer di Gaza utara pada 6 Oktober di tengah pengepungan ketat di wilayah tersebut, dengan alasan bahwa serangan itu bertujuan untuk mencegah Hamas memperoleh kekuatannya kembali di daerah tersebut.

Warga Palestina membantah klaim Israel, dengan mengatakan bahwa serangan mematikan itu bertujuan untuk memaksa mereka meninggalkan daerah tersebut selamanya. Sejak saat itu, lebih dari 342 orang tewas di tengah kehancuran besar di seluruh wilayah itu, menurut pihak berwenang Palestina.

Operasi 12 hari Israel tanpa jeda itu adalah operasi darat ketiga yang dilakukan tentara Israel di kamp Jabalia sejak genosida yang sudah berlangsung di Gaza sejak 7 Oktober 2023. Israel telah meluncurkan serangan brutal di Gaza sejak tahun lalu, yang telah menewaskan lebih dari 42.400 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, serta melukai lebih dari 99.000 lainnya.

Konflik ini telah meluas ke Lebanon, di mana Israel meluncurkan serangan mematikan di seluruh negeri tersebut, menewaskan lebih dari 1.500 orang dan melukai lebih dari 4.500 lainnya sejak 23 September.

Meskipun ada peringatan internasional bahwa Timur Tengah berada di ambang perang regional di tengah serangan tanpa henti Israel terhadap Gaza dan Lebanon. Tel Aviv memperluas konflik dengan melancarkan serangan darat ke Lebanon selatan pada 1 Oktober.

 

Sumber: Anadolu/Antara

UNRWA: Krisis Pangan di Gaza Terjadi Akibat Tindakan Sengaja Israel

UNRWA: Krisis Pangan di Gaza Terjadi Akibat Tindakan Sengaja Israel

NewsINH, Gaza – Komisioner Jenderal badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini menyatakan bahwa bencana kelaparan di Jalur Gaza terjadi akibat tindakan yang disengaja melalui blokade bantuan dan serangan sistematis Israel terhadap infrastruktur.

“Kelaparan menyebar di Gaza. Kelaparan ini seluruhnya adalah karena tindak manusia. Lebih dari 70 persen ladang tanaman pun hancur,” kata Lazzarini dalam pernyataannya di media sosial yang dipantau pada Kamis (03/10/2024) seperti dikutip dari kantor berita Antara.

Ia mengatakan, jumlah warga Gaza yang tidak mendapat bantuan jatah makanan yang mencapai 1 juta orang pada Agustus kemarin, melonjak menjadi 1,4 juta orang pada September.

Akibat agresi dan blokade Israel yang menyebabkan kerusakan infrastruktur dan tatanan pemerintahan di Gaza, lebih dari 100 ribu ton pasokan makanan tak bisa masuk, kata dia.

Terlebih, kehancuran besar di Gaza memaksa seluruh populasi kawasan tersebut, yang jumlahnya sekitar 2,1 juta orang pada 2023, menggantungkan nasib pada bantuan kemanusiaan dari luar.

Lazzarini menyatakan, pembatasan dan penundaan pengiriman bantuan kemanusiaan hanya akan memperburuk kondisi kehidupan pengungsi di Gaza.

“Dengan semakin dekatnya musim dingin dan memburuknya kondisi cuaca, kekurangan bantuan kemanusiaan yang layak hanya akan menciptakan penderitaan yang lebih besar lagi,” kata dia.

Untuk itu, Komisioner Jenderal UNRWA menegaskan pentingnya gencatan senjata untuk mengakhiri penderitaan rakyat Palestina dan meredakan ketegangan kawasan.

Diperlukan kehendak politik dan kepemimpinan yang teguh di antara pihak-pihak berkonflik untuk memastikan semua sandera dibebaskan, titik-titik penyeberangan baru dibuka, dan bantuan kemanusiaan dapat masuk ke Gaza tanpa halangan apapun, ucap dia.

“Memilih perdamaian sebagai cara kita untuk maju adalah pilihan para pemberani. Karena itu, inilah waktunya,” kata Lazzarini.

Agresi Israel ke Jalur Gaza yang pada 7 Oktober mendatang genap berlangsung selama setahun tersebut telah menyebabkan hampir 41.600 orang tewas, sebagian besar wanita dan anak-anak, serta lebih dari 96.200 lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.

Serangan Israel juga telah membuat hampir seluruh penduduk wilayah tersebut mengungsi di tengah blokade yang menyebabkan kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan yang parah.

 

Sumber: Antara

Miris Ya Allah…!!!, Warga Gaza Utara Dipaksa Hidup dengan 245 Kalori Per Hari

Miris Ya Allah…!!!, Warga Gaza Utara Dipaksa Hidup dengan 245 Kalori Per Hari

NewsINH, Gaza – Krisis pangan dan benca kelaparan menghantui ratusan ribu warga Jalur Gaza di Bagian utara. Pasalnya, sejak perang dan aksi genosida Israel ke wilayah tersebut bantuan kemanusiaan sangat minim dan sulit masuk karena adanya larangan dari otoritas Israel.

Laporan Oxfam yang berjudul ‘Konsumsi Makanan di Jalur Gaza – Garis Merah’ mengungkap terhitung sejak Januari 2024 warga di utara Gaza dipaksa untuk hidup dengan rata-rata 245 kalori per hari atau kurang dari 400g kaleng kacang fava. Yang direkomendasikan adalah 2.100 kalori yang dibutuhkan per orang berdasarkan hitungan data demografi dengan pertimbangan usia dan gender.

Kondisi kelaparan ini, lantaran tentara Israel terus melancarkan serangan. Lebih dari 300 ribu orang diyakini terperangkap di utara Gaza, tak bisa melarikan diri. Pada akhir pekan lalu, Pemerintah Israel mengatakan pada UNRWA kalau konvoi kendaraan pembawa bantuan kemanusiaan tidak akan lagi diizinkan masuk utara Gaza.

Analisis Oxfam yang dituangkan dalam laporannya berdasarkan data terbaru yang digunakan Integrated Food Security Phase Classification (IPC) untuk menganalisis Jalur Gaza. Oxfam juga menemukan total makanan yang dikonsumsi warga Gaza sejak Oktober 2023 rata-rata hanya 41 persen kalori perhari per orang. Gaza memiliki populasi 2.2 juta jiwa.

Dalam laporan ‘Konsumsi Makanan di Jalur Gaza – Garis Merah’, disebutkan Pemerintah Israel sudah tahun dengan tepat selama hampir dua dekade untuk berapa banyak kalori per hari yang dibutuhkan untuk mencegah gizi buruk di Gaza, menghitungnya berdasarkan usia dan gender. Bukan hanya menggunakan perhitungan yang tinggi yakni 2.279 kalori per orang, namun juga memperhitungkan produksi pangan lokal di Gaza.

“Sebelum perang, kami dalam kondisi kesehatan yang prima dengan tubuh yang kuat. Sekarang, lihatlah anak-anak saya dan saya sendiri, kami turun berat badan sangat banyak sejak kami tidak makan dengan selayaknya,” kata seorang Ibu yang terperangkap di utara Gaza. Dia menceritakan mencoba makan apapun yang ditemukan, di antaranya tanaman yang bisa dimakan setiap hanya demi bisa bertahan hidup.

Sumber: middleeastmonitor.com

Sebulan Digempur, Gaza Mulai Alami Krisis Pangan

Sebulan Digempur, Gaza Mulai Alami Krisis Pangan

NewsINH, Gaza – Sebulan digempur militer Israel, wilayah Palestina di Jalur Gaza mulai mengalami krisis panggan, energi dan air bersih. Dikabarkan semua toko roti di Gaza bagian utara sudah mulai tutup dan tidak lagi menjual makanan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengonfirmasi bahwa semua toko roti di utara Gaza kini telah ditutup. Kondisi ini karena kekurangan bahan bakar, air, dan tepung terigu serta kerusakan pada banyak toko roti.

Menurut laporan PBB yang dikutip dari Aljazeera, tepung terigu tidak lagi tersedia di pasar wilayah utara. Organisasi bantuan tidak dapat mengirimkan makanan apa pun ke sana selama tujuh hari. Sedangkan di selatan Gaza, PBB mengatakan, hanya sembilan toko roti yang masih sesekali buka. Mereka menyediakan roti ke tempat penampungan ketika tepung dan bahan bakar tersedia.

Kabar terbaru dari badan bantuan PBB di Wilayah Pendudukan Palestina muncul setelah Kementerian Dalam Negeri Gaza melaporkan bahwa semua toko roti di Gaza City dan Gaza utara telah ditutup pada Senin (6/11/2023) kemarin.

Salah satu toko roti yang mengalami kerusakan adalah Toko Roti Sharq. Serangan udara di Jalan Nasr di Gaza City pada pekan lalu mengakibatkan puluhan orang terluka dan terbunuh.

Lima toko roti di Jalur Gaza telah menjadi sasaran langsung serangan Israel. Sekitar delapan toko roti lainnya mengalami kerusakan parah akibat serangan di dekat lokasi tersebut sehingga tidak dapat berjualan kembali.

Ketika pengepungan total yang diberlakukan oleh Israel terhadap wilayah yang sudah diblokade terus berlanjut, makanan semakin menipis, dan roti sebagai makanan pokok warga Palestina menjadi semakin sulit didapat dari hari ke hari.

Warga kini mengantre berjam-jam hanya untuk mendapatkan sekantong roti pita untuk anggota keluarganya, dengan antrean dimulai sebelum fajar di beberapa daerah.

Ketua Asosiasi Pemilik Toko Roti di Jalur Gaza Abdelnasser al-Jarmi mengatakan, toko roti telah membatasi jam operasinya. Tindakan ini dilakukan karena kurangnya bahan bakar, listrik, dan cadangan energi listrik untuk generator.

Ada juga kekurangan tepung dalam jumlah besar. “Badan pengungsi PBB memiliki 30 ribu ton tepung yang seharusnya dibagikan kepada para pengungsi sebelum perang pecah pada 7 Oktober. Toko roti mengambil sebagian tepung untuk membuat roti dan menyediakannya kepada masyarakat,” ujar al-Jarmi.

Menurut Oxfam International, hanya sekitar dua persen dari kebutuhan pangan untuk memberi makan 2,3 juta penduduk Gaza yang telah dikirimkan sejak 7 Oktober. Al-Jarmi mengatakan, permintaan jauh melebihi pasokan, dengan permintaan bahan bakar dan tepung disalurkan melalui perbatasan selatan Rafah.

“Kami menginginkan jaminan keamanan sehingga kami dapat melanjutkan layanan di toko roti kami. Namun, sekarang ini adalah situasi yang mustahil,” kata Al-Jarmi.

Hingga saat ini dari data Kementrian Kesehatan Palestina, jumlah korban meninggal dunia akibat agresi tersebut telah tembus 10.468 orang menjadi syahid, 4 ribu lebih merupakan anak-anak dan lebih dari 27.000 orang terluka akibat agresi yang terus berlanjut terhadap rakyat Gaza hingga saat ini. (***)

 

Sumber: Republika

Krisis Somalia, UNICEF: Ratusan Anak Menderita Gizi Buruk dan Dikubur “Bak Sampah”

Krisis Somalia, UNICEF: Ratusan Anak Menderita Gizi Buruk dan Dikubur “Bak Sampah”

NewsINH, Somalia – Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani masalah anak-anak yakni UNICEF mengatakan ratusan anak-anak di Somalia meninggal akibat kekurangan nutrisi. Tak hanya itu negara di kawasan tanduk Afrika ini terancam mengalami krisis pangan dan bencana kelapan.

Dilansir dari Reuters, Rabu (7/9/2022) salah seorang pejabat di wilayah Somalia menggambarkan orang-orang kelaparan berjalan jauh dengan anak-anak di pundak mereka untuk melarikan diri dari kekeringan dan kekerasan yang ditimbulkan oleh militan Al Shabaab dan beberapa anak meninggal di tengah jalan.

Wilayah Tanduk Afrika menghadapi musim hujan yang gagal untuk kelima kalinya secara berturut-turut. Kelaparan tahun 2011 di Somalia merenggut lebih dari seperempat juta jiwa, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak.

“Sekitar 730 anak telah dilaporkan meninggal akibat kekurangan makanan dan gizi di seluruh negeri antara Januari dan Juli tahun ini tetapi jumlahnya bisa lebih banyak karena banyak kematian yang tidak dilaporkan,” kata perwakilan UNICEF Somalia Wafaa Saeed dalam jumpa pers di Jenewa.

Anak-anak dengan kekurangan gizi akut yang parah serta penyakit seperti campak, kolera atau malaria dan menawarkan gambaran situasi di seluruh negeri.

Ahmed Shire, menteri informasi negara bagian Glamudug, utara ibu kota Mogadishu, mengatakan 210 orang telah meninggal karena kekurangan gizi dalam beberapa bulan terakhir.

“Al Shabaab membakar lima kota sepenuhnya, membakar bahkan sumur menjadi abu,” katanya kepada Reuters.

“Orang-orang ini berjuang dengan kekeringan yang menewaskan setengah dari hewan mereka. Al Shabaab menjarah hewan yang tersisa.” katanya.

Shire mengatakan sekitar 1.000 keluarga, dengan masing-masing memiliki tujuh anak, telah meninggalkan daerah itu dengan berjalan kaki dan tidak dapat diselamatkan karena ancaman serangan kelompok bersenjata.

Al Shabaab, sebuah kelompok yang terkait dengan Al-Qaeda, telah menyerang sasaran militer dan sipil selama lebih dari satu dekade.

UNICEF mengatakan wabah penyakit meningkat di antara anak-anak, dengan sekitar 13.000 kasus dugaan campak dilaporkan dalam beberapa bulan terakhir di mana 78 persennya adalah anak balita.

Faduma Abdiqadir Warsame, yang mengelola sembilan kamp pengungsi di pinggiran Mogadishu, mengatakan timnya telah menguburkan 115 anak-anak dan orang tua dalam tiga bulan terakhir.

“Ribuan keluarga yang tersisa hanyalah kerangka. Jika tidak segera dibantu, mereka akan mengikuti,” katanya, seraya menambahkan bahwa kebanyakan orang terlalu miskin untuk membayar pemakaman yang layak.

Bantuan keuangan untuk Somalia telah meningkat baru-baru ini dan permohonan PBB senilai $1,46 miliar sekarang telah didanai 67 persen. Tetapi para pejabat bantuan memperingatkan bahwa masih dibutuhkan lebih banyak lagi.

“Kita akan menyaksikan kematian anak-anak dalam skala yang tak terbayangkan jika kita tidak bertindak cepat,” kata Audrey Crawford, direktur negara Somalia di Dewan Pengungsi Denmark.

 

Sumber: Reuters

Krisis Keuangan, 750 Ribu Pengungsi Ethiopia Terancam Kelaparan

Krisis Keuangan, 750 Ribu Pengungsi Ethiopia Terancam Kelaparan

NewsINH, Roma – Badan-badan PBB mengaku membutuhkan dana Rp 1 triliun lebih untuk memberikan jatah makanan kepada lebih dari 750 ribu orang yang mencari perlindungan di Ethiopia. Dana itu akan dipakai untuk bantuan pangan selama enam bulan ke depan.

Dilansir dari Saudi Gazette, Rabu (10/8/2022), Program Pangan Dunia (WFP), badan pengungsi PBB UNHCR, dan Layanan Pengungsi dan Pengungsi Pemerintah Ethiopia (RRS) mengajukan permohonan bantuan.

Menurut lembaga-lembaga itu, tanpa dana bantuan, WFP akan kehabisan makanan untuk para pengungsi pada Oktober mendatang.

Krisis yang akan datang akan membuat keluarga rentan pada risiko kekurangan gizi, kekurangan zat gizi mikro, dan peningkatan kerentanan terhadap penyakit.

“Tiga perempat juta pengungsi akan dibiarkan tanpa makanan hanya dalam hitungan satu pekan kecuali kami menerima dana segera,” kata Claude Jibidar, Perwakilan WFP dan Direktur Negara untuk Ethiopia.

Memotong jatah telah menjadi masalah yang telah lama dihadapi WFP. Jatah makanan untuk pengungsi di Ethiopia pertama kali dikurangi sebesar 16 persen pada November 2015, kemudian 40 persen pada November 2021, dan akhirnya 50 persen pada Juni 2022.

Dampak dari pemotongan ini telah meningkat oleh keterbatasan global pada ketersediaan pangan, goncangan ekonomi yang meluas, meningkatnya biaya makanan dan energi, dampak Covid-19, dan konflik bersenjata.

Untuk memahami dampak pemotongan jatah pada pengungsi, WFP, UNHCR dan RRS dilakukan pada bulan April, penilaian cepat terhadap 1.215 rumah tangga kamp pengungsi di seluruh wilayah terkait.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar telah mengatasi kerawanan pangan dengan mengurangi jumlah makanan yang dimakan dalam sehari, mengkonsumsi makanan yang lebih murah, atau membatasi porsi makan.

Penilaian bersama juga mengungkapkan bahwa rumah tangga akan melakukan tindakan putus asa untuk menebus pemotongan dana.

Pemotongan dana telah memaksa pengungsi untuk bergantung pada pasokan makanan yang selalu terbatas, yang meningkatkan kemungkinan konflik berbasis sumber daya.

Data menunjukkan bahwa banyak keluarga telah mengandalkan anak-anak untuk menghasilkan pendapatan tambahan untuk membeli makanan.

Rumah tangga lain terpaksa meminjam uang tunai, mengandalkan teman atau kerabat untuk keuangan.

“Kami memiliki kekurangan Rp 1 triliun untuk kebutuhan minimum pengungsi dan kami sangat prihatin jika pemotongan dana berlanjut, mereka dapat mempertimbangkan untuk kembali ke tempat asal mereka ketika tidak aman,” Jibidar memperingatkan.

Lebih banyak sumber daya harus dimobilisasi untuk memenuhi permintaan pangan segera, dan investasi cerdas harus diambil untuk memprioritaskan pertanian berkelanjutan.

“Prioritas bagi kita semua harus mengembalikan bantuan ke tingkat minimum untuk pengungsi, yang semuanya hanya bergantung pada uang tunai dan bantuan makanan WFP untuk bertahan hidup,” kata Direktur Negara PBB.

Dengan tanggapan donor segera, WFP akan dapat membeli makanan yang tersedia di wilayah tersebut untuk memenuhi kebutuhan makanan para pengungsi dan juga mentransfer uang tunai kepada para pengungsi.

Termasuk memberi mereka pilihan bagaimana memenuhi kebutuhan mendesak mereka dan merangsang pasar lokal.

Badan-badan tersebut telah membentuk sistem yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan bantuan pangan para pengungsi melalui verifikasi biometrik, mekanisme akuntabilitas dan program untuk memberikan bantuan pangan dan uang tunai bulanan.

Ketiganya meminta semua mitra untuk memperkuat upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan jangka pendek dan jangka panjang sejalan dengan komitmen internasional.

 

Sumber: Republika

Atasi Krisis Pangan di Sudan, Bank Dunia Glontorkan Ratusan Juta Dolar AS

Atasi Krisis Pangan di Sudan, Bank Dunia Glontorkan Ratusan Juta Dolar AS

NewsINH, Khartoum – Guna mengatasi kerawanan pangan di Sudan salah satu negara di kawasan Afrika yang mengalami krisi pangan yang berkepanjangan. Bank Dunia akan menggelontorkan anggaran 100 juta dolar Amerika Serikat (AS) untuk proyek penanganan darurat pangan.

Rencananya, dana ratusan juta dolar ini akan disalurkan melalui Program Pangan Dunia PBB atau World Food Programme (WFP) dari pendanaan yang berasal dari Uni Eropa, Inggris, Arab Saudi dan negara Barat lainnya.

Bantuan dalam bentuk tunai dan makanan ini ditujukan bagi dua juta penduduk Sudan yang mengalami rawan pangan. Menyusul kudeta pada Oktober tahun lalu, Bank Dunia menangguhkan pencairannya untuk operasi bantuan di Sudan. Namun Bank Dunia menyatakan, bahwa dana proyek akan disalurkan melalui WFP secara langsung.

“Sementara pendanaan berdasarkan perjanjian yang ditandatangani dengan Pemerintah Sudan tetap dihentikan, mitra pembangunan dengan senang hati memberikan dukungan langsung kepada rakyat Sudan selama masa kritis ini,” kata direktur Bank Dunia, Ousmane Dione.

WFP awal tahun ini memperkirakan bahwa jumlah orang yang mengalami krisis dan tingkat darurat kelaparan akan mencapai 18 juta pada September di Sudan. Negara tersebut berpenduduk sekitar 45 juta.

 

Sumber: Republika

Dampak Kekeringan, Anak-anak di Somalia Alami Malnutrisi

Dampak Kekeringan, Anak-anak di Somalia Alami Malnutrisi

NewsINH, Somalia – Dampak terjadinya kekeringan yang berkepanjangan dikawasan Afrika Timur seperti di Somalia mengakibatkan tingkat penderita malnutrisi atau gizi tak seimbang terus mengalami peningkatan hingga 300 persen.  Laporan ini di rilis oleh Lembaga Kemanusian Save the Children.

“Anak-anak membutuhkan perawatan paling berbahaya dari malnutrisi melonjak 300 persen dalam enam bulan pertama tahun 2022,” kata  Adan Farah, Penasihat Kemanusiaan kelompok itu untuk Somalia seperti dikutip dari Anadolu Agency.

Menurutnya, ketika Somalia bergulat dengan musim kemarau terburuk dalam sejarah baru-baru ini, lebih dari 200 anak di bawah usia lima tahun telah meninggal karena kekurangan gizi akut sejak Januari.

“Diperkirakan sekitar setengah dari populasi Somalia dari sekitar 16 juta telah secara langsung atau tidak langsung terdampak kekeringan paling ekstrem di negara itu dalam empat dekade,” tulis laporan tersebut.

Lebih dari 7 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan dan hampir 1 juta yang notabenya berasal dari unsur anak-anak dan perempuan telah mengungsi.

Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan telah memperingatkan bahwa Somalia saat ini sedang mengalami “Krisis pangan” untuk pertama kalinya sejak 2017.

Musim hujan yang gagal untuk keempat kalinya berturut-turut yang belum pernah terjadi sebelumnya di delapan wilayah Somalia telah mendorong keluarga yang terkena dampak ke ambang kelaparan, menurut badan PBB itu.

Farah menjelaskan bahwa kekeringan parah dan dampaknya terhadap ketahanan dan ketersediaan pangan telah membuat keluarga tidak dapat memberi makan anak-anak di daerah yang terkena dampak lebih dari sekali sehari.

“Kurangnya pola makan yang tepat dan kesenjangan asupan makanan membuat anak-anak mengalami malnutrisi parah dan akut,” tambahnya.

 

Sumber: Middleeastmonitor

PBB: Angka Kelaparan Global Naik jadi 828 Juta pada Tahun 2021

PBB: Angka Kelaparan Global Naik jadi 828 Juta pada Tahun 2021

NewsINH, Jenewa – Badan pangan dunia PBB merilis jumlah orang yang terkena dampak kelaparan secara global tumbuh sebanyak 828 juta pada tahun 2021, angka ini meningkat sekitar 46 juta dari tahun 2020 dan 150 juta diantaranya akibat wabah pandemi COVID-19.

Dilansir dari Middleeastmonitor, Kamis (7/7/2022) Laporan PBB menunjukkan dunia bergerak lebih jauh dari tujuannya untuk mengakhiri kelaparan, kerawanan pangan dan kekurangan gizi dalam segala bentuknya pada tahun 2030.

Cindy Hollerman, ekonom Organisasi Pangan dan Pertanian dan editor laporan tersebut, mengatakan pada konferensi pers PBB di Jenewa, “mengecewakan” melihat peningkatan kelaparan dan kekhawatiran menjadi tren.

“Kami masih melihat kelaparan meningkat pada tahun 2021 dan itu sangat mengkhawatirkan,” kata Hollerman, menambahkan: “Mengkhawatirkan juga biaya diet sehat.”

“Peningkatan lebih tajam, di mana orang mengalami perlambatan ekonomi dengan pandemi COVID, tetapi dikombinasikan dengan pendorong lain,” katanya, mengutip “faktor konflik atau iklim dan tingkat ketimpangan yang tinggi.”

Lima badan PBB di balik laporan tersebut mengatakan bahwa laporan itu diterbitkan saat perang berkecamuk di Ukraina, yang melibatkan dua produsen global terbesar sereal, minyak sayur dan pupuk, mengganggu rantai pasokan internasional.

Mereka mengatakan perang Rusia-Ukraina menaikkan harga biji-bijian, pupuk, energi dan makanan terapeutik siap pakai untuk anak-anak dengan gizi buruk.

“Laporan ini berulang kali menyoroti intensifikasi pendorong utama kerawanan pangan dan malnutrisi ini: konflik, iklim ekstrem dan guncangan ekonomi, dikombinasikan dengan kesenjangan yang semakin meningkat,” tulis Kepala lembaga dalam kata pengantar tahun ini.

Laporan Status Ketahanan Pangan dan Gizi di Dunia diterbitkan bersama oleh FAO, Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD), Dana Anak-anak PBB (UNICEF), Program Pangan Dunia PBB (WFP) dan Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO).

Kelaparan melonjak pada tahun 2020

Setelah relatif tidak berubah sejak 2015, proporsi orang yang terkena dampak kelaparan melonjak pada 2020, dan terus meningkat pada 2021 menjadi 9,8 persen dari populasi dunia.

Sekitar 2,3 miliar orang di seluruh dunia (29,3 persen) mengalami kerawanan pangan sedang atau parah pada tahun 2021.

Itu 350 juta lebih banyak dibandingkan sebelum pecahnya pandemi COVID-19, kata laporan itu.

Hampir 924 juta orang (11,7 persen dari populasi global) menghadapi kerawanan pangan pada tingkat yang parah, meningkat 207 juta dalam dua tahun.

Kesenjangan gender dalam kerawanan pangan terus meningkat pada tahun 2021 – 31,9 persen wanita di dunia mengalami kerawanan pangan sedang atau parah, dibandingkan dengan 27,6 persen pria – kesenjangan lebih dari 4 poin persentase, dibandingkan dengan 3 poin persentase pada tahun 2020 .

Hampir 3,1 miliar orang tidak mampu membeli makanan sehat pada tahun 2020, naik 112 juta dari 2019, yang mencerminkan efek inflasi pada harga pangan konsumen yang berasal dari dampak ekonomi dari pandemi COVID-19 dan langkah-langkah yang diambil untuk menahannya.

Diperkirakan 45 juta anak di bawah usia lima tahun menderita wasting, bentuk malnutrisi paling mematikan, yang meningkatkan risiko kematian anak hingga 12 kali lipat.

Selain itu, 149 juta anak balita mengalami pertumbuhan dan perkembangan terhambat karena kekurangan kronis nutrisi penting dalam makanan mereka, sementara 39 juta kelebihan berat badan.

Kemajuan dalam menyusui
Laporan itu mengatakan ada kemajuan dalam pemberian ASI eksklusif, dengan hampir 44 persen bayi di bawah usia enam bulan disusui secara eksklusif di seluruh dunia pada tahun 2020.

Jumlah itu masih jauh dari target 50 persen pada 2030

“Yang sangat memprihatinkan, dua dari tiga anak tidak diberi makanan minimal yang beragam yang mereka butuhkan untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal,” kata laporan itu.

Laporan tersebut memperkirakan bahwa hampir 670 juta orang (8 persen dari populasi dunia) masih akan menghadapi kelaparan pada tahun 2030 – bahkan jika pemulihan ekonomi global terjadi.

Hal ini mirip dengan tahun 2015, ketika tujuan untuk mengakhiri kelaparan, kerawanan pangan, dan kekurangan gizi pada akhir dekade ini diluncurkan di bawah Agenda PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan 2030.

 

Sumber: Middleeastmonitor

Customer Support kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!