Kelaparan di Gaza Utara Memburuk, PBB Ingatkan Risiko Kematian Sangat Tinggi

Kelaparan di Gaza Utara Memburuk, PBB Ingatkan Risiko Kematian Sangat Tinggi

NewsINH, Hamilton – Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB pada Kamis (7/11/2024) kemarin memperingatkan situasi di Gaza Utara yang semakin memburuk, dengan menyatakan seluruh penduduk wilayah tersebut berada dalam “risiko kematian segera akibat penyakit, kelaparan, dan kekerasan.”

Juru bicara deputi Stephanie Tremblay dalam konferensi pers mengatakan, “satu-satunya bantuan PBB yang diizinkan masuk ke Gaza Utara sejak pengepungan Israel dimulai sebulan lalu hanyalah pasokan untuk rumah sakit selama misi evakuasi medis,” dengan mengutip data dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA).

“Serangan Israel menghalangi warga Palestina untuk mendapatkan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup mereka, termasuk air,” ujarnya.

Tremblay menekankan, para pekerja kemanusiaan “tidak dapat bekerja dengan aman dan dihalangi oleh pasukan Israel serta kondisi keamanan yang berbahaya untuk mencapai orang-orang yang membutuhkan.”

“Sebagaimana disampaikan pemimpin PBB dan organisasi kemanusiaan, Komite Tetap Antar-Lembaga, sepekan yang lalu, seluruh penduduk di Gaza Utara berada dalam risiko kematian yang segera akibat penyakit, kelaparan, dan kekerasan,” tambahnya.

Menyampaikan bahwa warga Palestina di Gaza Utara “tidak memiliki perlindungan sama sekali” sementara Israel terus melancarkan serangan tanpa henti, Tremblay mendesak perlindungan bagi warga sipil “di utara dan seluruh wilayah Gaza.”

“Hari ini, warga yang masih berada di beberapa bagian Gaza Utara dan gubernuran Gaza kembali diperintahkan keluar oleh otoritas Israel,” lanjutnya, dengan menyebutkan bahwa 14.000 orang yang terdampak terpaksa mengungsi dan tinggal di tempat-tempat penampungan serta lokasi lainnya.

 

Sumber: Anadolu/Antara

UNRWA: Krisis Pangan di Gaza Terjadi Akibat Tindakan Sengaja Israel

UNRWA: Krisis Pangan di Gaza Terjadi Akibat Tindakan Sengaja Israel

NewsINH, Gaza – Komisioner Jenderal badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini menyatakan bahwa bencana kelaparan di Jalur Gaza terjadi akibat tindakan yang disengaja melalui blokade bantuan dan serangan sistematis Israel terhadap infrastruktur.

“Kelaparan menyebar di Gaza. Kelaparan ini seluruhnya adalah karena tindak manusia. Lebih dari 70 persen ladang tanaman pun hancur,” kata Lazzarini dalam pernyataannya di media sosial yang dipantau pada Kamis (03/10/2024) seperti dikutip dari kantor berita Antara.

Ia mengatakan, jumlah warga Gaza yang tidak mendapat bantuan jatah makanan yang mencapai 1 juta orang pada Agustus kemarin, melonjak menjadi 1,4 juta orang pada September.

Akibat agresi dan blokade Israel yang menyebabkan kerusakan infrastruktur dan tatanan pemerintahan di Gaza, lebih dari 100 ribu ton pasokan makanan tak bisa masuk, kata dia.

Terlebih, kehancuran besar di Gaza memaksa seluruh populasi kawasan tersebut, yang jumlahnya sekitar 2,1 juta orang pada 2023, menggantungkan nasib pada bantuan kemanusiaan dari luar.

Lazzarini menyatakan, pembatasan dan penundaan pengiriman bantuan kemanusiaan hanya akan memperburuk kondisi kehidupan pengungsi di Gaza.

“Dengan semakin dekatnya musim dingin dan memburuknya kondisi cuaca, kekurangan bantuan kemanusiaan yang layak hanya akan menciptakan penderitaan yang lebih besar lagi,” kata dia.

Untuk itu, Komisioner Jenderal UNRWA menegaskan pentingnya gencatan senjata untuk mengakhiri penderitaan rakyat Palestina dan meredakan ketegangan kawasan.

Diperlukan kehendak politik dan kepemimpinan yang teguh di antara pihak-pihak berkonflik untuk memastikan semua sandera dibebaskan, titik-titik penyeberangan baru dibuka, dan bantuan kemanusiaan dapat masuk ke Gaza tanpa halangan apapun, ucap dia.

“Memilih perdamaian sebagai cara kita untuk maju adalah pilihan para pemberani. Karena itu, inilah waktunya,” kata Lazzarini.

Agresi Israel ke Jalur Gaza yang pada 7 Oktober mendatang genap berlangsung selama setahun tersebut telah menyebabkan hampir 41.600 orang tewas, sebagian besar wanita dan anak-anak, serta lebih dari 96.200 lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.

Serangan Israel juga telah membuat hampir seluruh penduduk wilayah tersebut mengungsi di tengah blokade yang menyebabkan kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan yang parah.

 

Sumber: Antara

Tuben, Prancis Kecam Israel Karena Membenarkan Kelaparan di Gaza

Tuben, Prancis Kecam Israel Karena Membenarkan Kelaparan di Gaza

NewsINH, Paris – Prancis menyatakan kemarahan dan mengecam pernyataan Kepala Otoritas Keuangan Israel sayap kanan Bezalel Smotrich yang mengatakan tindakan untuk membuat warga Palestina di Gaza kelaparan sampai mati merupakan hal yang bisa dibenarkan.

Dalam sebuah pernyataan yang dikutip Kamis, Kementerian Luar Negeri Prancis menyatakan keheranan yang mendalam atas komentar Smotrich di sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh harian Hayom Israel.

Smotrich berkata bahwa “tidak seorang pun akan membiarkan kami menyebabkan 2 juta warga sipil mati kelaparan meskipun itu mungkin dibenarkan dan bermoral sampai para sandera kami dikembalikan.”

“Prancis meminta pemerintah Israel untuk mengutuk keras pernyataan yang tidak dapat diterima ini,” kata pernyataan kementerian tersebut.

Kementerian Luar Negeri Prancis menekankan bahwa Israel harus mematuhi putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tertanggal 26 Januari untuk melakukan segala yang mungkin guna mencegah tindakan genosida selama operasi militernya di Gaza.

Pernyataan tersebut menggarisbawahi bahwa menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada 2 juta warga sipil dalam kondisi darurat di Gaza merupakan kewajiban berdasarkan hukum humaniter internasional.

Hal itu merujuk kepada pernyataan Kepala Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) Karim Khan yang mengatakan bahwa mencegah penyaluran bantuan dapat dianggap sebagai kejahatan.

Kementerian itu juga menunjukkan pentingnya mencapai gencatan senjata mengingat adanya risiko ketidakstabilan di kawasan tersebut dan jumlah korban jiwa yang tidak dapat diterima.

“Tindakan kemanusiaan yang ditukar dengan tindakan kemanusiaan dapat dibenarkan secara moral, tetapi apa yang dapat kita lakukan? Kita hidup dalam realitas tertentu saat ini,” ucapnya.

Israel menentang putusan ICJ untuk mencegah genosida dengan tidak mengizinkan bantuan kemanusiaan yang memadai untuk mencapai Gaza, menurut Amnesty International.

Israel telah memberlakukan blokade yang melumpuhkan di Jalur Gaza sejak serangan lintas batas pada 7 Oktober 2023 oleh kelompok Palestina Hamas yang menyebabkan seluruh penduduk wilayah itu berada di ambang kelaparan.

Mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, Israel juga menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutalnya yang berkelanjutan di Gaza.

Hampir 40.000 warga Palestina telah tewas sejak Oktober lalu, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan lebih dari 91.600 orang terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.

 

Sumber : Anadolu/Antara

Sudan Alami Tingkat Kelaparan Terburuk yang Pernah Ada

Sudan Alami Tingkat Kelaparan Terburuk yang Pernah Ada

NewsINH, Sudan – Sebuah laporan baru dari Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC) mengungkapkan bahwa konflik yang berlangsung selama lebih dari satu tahun telah menyebabkan tingkat kerawanan pangan akut yang terburuk dalam sejarah Sudan dan salah satu yang terburuk di dunia.

Di sepuluh negara bagian, sekitar 755.000 orang menderita kondisi seperti kelaparan (IPC Fase 5), dan 8,5 juta orang mengalami kelaparan tingkat darurat (IPC Fase 4). Hingga saat ini, lebih dari 10 juta orang telah mengungsi, dan dua juta orang mengungsi ke negara lain.

“Kami sangat terkejut dengan situasi mengerikan yang menimpa jutaan warga Sudan,” kata Samy Guessabi, Direktur Aksi Melawan Kelaparan di Sudan. “Situasi ini sangat penting bagi masyarakat yang terjebak di zona konflik dan tidak memiliki akses terhadap perlindungan,” tambahnya.

Perang saudara, yang pecah pada April 2023, menyebabkan penurunan ketahanan pangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan lebih dari 25,6 juta orang – lebih dari separuh populasi negara tersebut – diperkirakan akan menghadapi krisis atau kondisi yang lebih buruk (IPC Fase 3 atau lebih tinggi) antara Juni dan September 2024 yang bertepatan dengan musim paceklik.

Kondisi seperti kelaparan telah melanda Darfur Raya, Kordofan Selatan dan Utara, Nil Biru, Al Jazirah, Khartoum, dan lima negara bagian lainnya. Terdapat risiko kelaparan yang nyata di 14 wilayah jika konflik meningkat.

Konflik ini juga telah menghancurkan infrastruktur utama, fasilitas layanan kesehatan, layanan air dan sanitasi, lahan pertanian dan aset lainnya. Pergerakan sangat dibatasi dan sebagian besar orang yang memiliki akses ke pasar tidak dapat membeli kebutuhan dasar karena inflasi. Harga pangan telah meningkat hingga 296% sejak dimulainya konflik untuk beberapa komoditas.

sumber: Aksi Melawan Kelaparan

 

Setidaknya 3.500 Anak Gaza Rawan Meninggal Kelaparan

Setidaknya 3.500 Anak Gaza Rawan Meninggal Kelaparan

NewsINH, Gaza – Memasuki bulan ke delapan serangan Israel ke Jalur Gaza, menipisnya pasokan pangan, tidak adanya akses kesehatan, air bersih, listrik, dan lainnya mengancam setidaknya 3.500 anak-anak dengan resiko sekarat, lapor media di Jalur Gaza.

Dalam satu hari ini saja, dilaporkan banyak serangan udara menargetkan kamp Nuseirat di pusat Gaza. Kamp ini terkenal dengan pembantaian 210 warga Gaza oleh Israel saat mereka membawa 4 tawanan Israel di Jalur Gaza, lapor Al Jazeera.

Pada hari yang sama setidaknya sembilan warga yang sedang mengantri bantuan makanan dibunuh oleh serangan udara di bagian selatan, Rafah.

Sampai saat ini, sekitar 37.372 warga Gaza telah syahid dan 85.452 luka-luka dalam serangan Israel ke Gaza sejak 7 Oktober 2023.

Gaza Makin Menyedihkan, Bangsal RS Dipenuhi Anak-anak Kelaparan

Gaza Makin Menyedihkan, Bangsal RS Dipenuhi Anak-anak Kelaparan

NewsINH, Gaza – Rumah sakit di Gaza dipenuhi pasien anak yang kelaparan dan kekurangan gizi akut. Salah satunya adalah Fadi al-Zant yang berusia enam tahun. Ia mengalami kekurangan gizi akut, tulang rusuknya menonjol di bawah kulit kasar, matanya cekung saat ia terbaring di tempat tidur di rumah sakit Kamal Adwan di Gaza utara, tempat terjadinya kelaparan.

Kaki Fadi yang kurus tidak mampu lagi menopangnya untuk berjalan. Foto-foto Fadi sebelum perang menunjukkan seorang anak yang tersenyum dan tampak sehat. Ia berdiri dengan celana denim biru di samping saudara kembarnya yang lebih tinggi dengan rambut disisir. Sebuah klip video pendek menunjukkan dia menari di sebuah pesta pernikahan dengan seorang gadis kecil.

Fadi menderita penyakit fibrosis kistik. Sebelum konflik, ia mengonsumsi obat-obatan yang tidak dapat lagi ditemukan oleh keluarganya. Ia juga mengonsumsi berbagai jenis makanan seimbang yang kini tidak lagi tersedia lagi di Gaza, menurut ibunya, Shimaa al-Zant.

“Kondisinya semakin buruk. Dia semakin lemah. Dia terus kehilangan kemampuannya untuk melakukan sesuatu,” katanya dalam video yang diperoleh Reuters dari seorang pekerja lepas. “Dia tidak bisa berdiri lagi. Saat saya membantunya berdiri, dia langsung terjatuh.”

Krisis kesehatan kian parah setelah lebih dari lima bulan setelah serangan darat dan udara Israel ke Gaza. Makanan, obat-obatan dan air bersih di Gaza kian langka.

Rumah sakit Kamal Adwan, yang merawat Fadi, juga telah merawat sebagian besar dari 27 anak. Menurut kementerian kesehatan di Gaza yang dikuasai pejuang Hamas, mereka meninggal karena kekurangan gizi dan dehidrasi dalam beberapa pekan terakhir.

Korban lainnya meninggal di Rumah Sakit al-Shifa Kota Gaza, juga di utara, kata kementerian. Di kota paling selatan Rafah, lebih dari 1 juta warga Palestina mencari perlindungan dari serangan Israel.

Menurut laporan dari Reuters, ada 10 anak-anak yang mengalami kekurangan gizi parah di pusat kesehatan al-Awda di Rafah. Tanpa tindakan segera, kelaparan akan melanda di Gaza utara, di mana 300.000 orang terjebak akibat pertempuran, kata pengawas kelaparan dunia, Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC).

Sebelum perang melanda, makanan favorit Fadi adalah ayam shawarma, hidangan panggangan Levantine, kata ibunya. Dia makan banyak buah dan minum susu. Ketika perang dimulai, katanya, keluarga tersebut meninggalkan rumah mereka di distrik al-Nasr di Kota Gaza, yang mengalami kerusakan luas akibat pemboman. Mereka mengungsi sebanyak empat kali sebelum tiba di Beit Lahia.

Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan kurangnya obat-obatan berkontribusi terhadap memburuknya kondisi anak-anak yang meninggal.

Bagi anak-anak yang sehat sebelum konflik, kekurangan gizi yang berkepanjangan dapat menghambat perkembangan fisik dan otak. Ketika malnutrisi akut terjadi, tubuh anak berhenti tumbuh dan bayang-bayang kematian pun mengancam.

 

Sumber: Tempo/REUTERS

Bencana Kelaparan jadi Senjata Senyap Israel di Jalur Gaza

Bencana Kelaparan jadi Senjata Senyap Israel di Jalur Gaza

NewsINH, Gaza – Selama bertahun-tahun, Alex de Waal telah meneliti dan menulis tentang krisis pangan dan bencana kelaparan di seluruh dunia. Namun, kondisi yang diciptakan Israel saat ini di Jalur Gaza adalah sesuatu yang belum pernah ia temui sebelumnya.

Pada Senin, Inisiatif Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu, atau IPC, mengeluarkan laporan baru yang memperingatkan bahwa kelaparan kini “sedang terjadi” di Gaza, dengan 1,1 juta — atau setengah populasinya — ” menghadapi tingkat kelaparan yang sangat parah.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa situasinya telah memburuk secara signifikan sejak penilaian terakhir pada Desember. Dan, jika Israel melanjutkan strategi mematikannya, jumlah orang yang mengalami kondisi tersebut akan meningkat dua kali lipat pada Juli.

“Saya tidak bisa membayangkan kejadian yang bisa secepat ini,” kata De Waal dalam wawancara dengan Anadolu tentang situasi di Gaza, di mana Israel telah membunuh lebih dari 31.600 warga Palestina sejak 7 Oktober dan menyebabkan jutaan lainnya ke jurang kelaparan.

Dalam 6 bulan terakhir, serangan Israel telah menyebabkan 85 persen penduduk Gaza mengungsi dan kekurangan makanan, air, obat-obatan, serta kebutuhan hidup lainnya. Angka terbaru menunjukkan hampir 30 warga Palestina, termasuk anak-anak, meninggal dunia karena kekurangan gizi dan dehidrasi.

Kelaparan massal biasanya merupakan “proses yang lambat” dan membutuhkan “waktu lama,” terutama di wilayah di mana terdapat produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup, kata De Waal, yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif World Peace Foundation di Universitas Tufts, Amerika Serikat.

Di Gaza, Israel telah menerapkan taktik kelaparan massal “di (wilayah) yang sangat terkonsentrasi secara geografis… dan dengan cara yang sangat cepat, luar biasa cepatnya,” dia menjelaskan.

Menurut data pada akhir November atau awal Desember, kurang dari satu persen anak-anak menderita gizi buruk akut yang parah. Hanya dalam kurun 2 bulan, lebih dari separuh populasi Gaza diturunkan ke status darurat atau lebih buruk lagi, dan “sepengetahuan saya, hal ini belum pernah terjadi pada kecepatan seperti itu,” kata dia.

Israel melancarkan serangan militer mematikan di Gaza sejak serangan lintas batas yang dilakukan kelompok Hamas Palestina pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan hampir 1.200 orang.

Lebih dari 31.600 warga Palestina — sebagian besar perempuan dan anak-anak — sejak saat itu telah tewas di daerah kantong tersebut, dan hampir 73.700 orang lainnya luka-luka di tengah kehancuran massal dan kelangkaan kebutuhan bahan pokok.

Perang Israel telah memaksa 85 persen penduduk Gaza menjadi pengungsi di tengah blokade yang melumpuhkan terhadap sebagian besar makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur daerah itu telah rusak atau hancur, menurut PBB.

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi anak-anak UNICEF mengatakan 13.000 anak terbunuh akibat serangan Israel di Gaza. Adapun banyak anak yang bertahan hidup mengalami malnutrisi akut dan “bahkan tidak memiliki tenaga untuk menangis.”

Kelaparan Sebagai Senjata

Menyatakan suatu daerah dilanda kelaparan adalah proses teknis dan bisa terhambat oleh akses terhadap data dan kendala politik, kata De Waal.

Di negara-negara seperti Ethiopia, Nigeria, dan Yaman, terlihat bahwa pihak berwenang tidak ingin mendeklarasikan kelaparan terjadi di sana dan menghalangi akses terhadap data, kata dia.

“Saya yakin, Israel akan sangat mirip… Mereka (Israel) tidak menginginkan deklarasi kelaparan,” kata De Waal.

Pihak berwenang Israel mungkin mengeluarkan argumen dengan menyatakan “metode analisisnya tidak benar-benar teliti,” dan itu mungkin ada benarnya, kata dia.

“Akan tetapi hal ini tidak boleh mengaburkan fakta bahwa meskipun tidak ada cukup data untuk menyatakan kelaparan, terdapat bukti yang sangat besar mengenai bencana yang sedang terjadi,” ujarnya.

Poin kuncinya, menurut dia, adalah “tindakan mempergunakan kelaparan bukan berarti orang-orang harus mati.”

“Yang perlu Anda lakukan untuk bertanggung jawab adalah dengan mencabut hak mereka.
Jadi, meski tidak ada kelaparan, bukan berarti kelaparan tidak digunakan sebagai senjata,” katanya.

Tindakan Netanyahu dan Assad mirip

De Waal mengatakan ada beberapa contoh konflik di masa lalu di mana kelaparan digunakan sebagai senjata, salah satunya adalah di Suriah.

“Tindakan Pemerintahan Netanyahu dan tindakan Pemerintahan Assad sangat mirip,” kata dia.

Perbedaannya adalah Israel melakukannya dalam skala yang lebih besar dan cepat.

Di tempat-tempat lain seperti Yamah dan wilayah Tigray di Ethiopia, De Waal menunjukkan bahwa “keduanya sangat berbeda karena populasinya jauh lebih besar dan juga perdesaan, tersebar di wilayah yang jauh lebih luas.”

Ia juga menekankan bencana kelaparan di Gaza akan berdampak generasi ke generasi bagi warga Palestina.

“Saat populasi — khususnya anak-anak — berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan, Anda tidak bisa membalikkan begitu saja. Jadi, pembunuhan mungkin berhenti, tetapi kematian akan terus berlanjut,” katanya.

Belum lagi, rekonstruksi agar Gaza dapat dihuni kembali akan membutuhkan upaya yang besar dan waktu yang lama.

“Anak dalam kandungan atau anak kecil yang terpapar secara fisik akan tumbuh tanpa kemampuan fisik yang utuh. Mereka akan menjadi lebih pendek, tidak akan mempunyai kemampuan mental, mereka tidak akan berkembang sepenuhnya.

“Jadi akan ada dampaknya pada generasi berikutnya, bahkan mungkin dua generasi,” kata De Waal.

Contohnya, ada penelitian yang dilakukan terhadap penyintas bencana kelaparan musim dingin di Belanda pada 1944 dan 1945 yang menunjukkan betapa anak-anak yang masih sangat kecil saat ini lebih pendek dibandingkan kakak dan adiknya.

“Mereka tidak memiliki kualitas pendidikan yang sama,” kata De Waal.

Trauma psikologis juga tentunya akan terus berlanjut dari generasi ke generasi, tambahnya.

“Itu karena, kekerasan yang terjadi jelas sangat traumatis, namun kelaparan juga merupakan hal psikologis yang sangat traumatis,” kata De Waal.

 

Sumber: Antara

Kelaparan Ekstrem Akibatkan Anak-Anak di Gaza Kurus Kering

Kelaparan Ekstrem Akibatkan Anak-Anak di Gaza Kurus Kering

NewsINH, Gaza – Gempuran militer Israel di Jalur Gaza masih terus berlangsung hingga saat ini, perekonomian porak-poranda, kelaparan merajalela, Jalur Gaza bak kota mati akibat serangan yang membabi buta pasukan zionis Israel.

Dua balita dengan kantung mata dan wajah yang cekung, satu mengenakan kardigan kuning dan yang lain dengan atasan garis-garis berbaring di klinik Gaza. Anak-anak Palestina itu kurus, dengan tulang kaki yang menyembul dari popok yang terlihat terlalu besar bagi mereka.

Pemandangan ini terlihat di pusat kesehatan Al-Awda di Rafah, selatan Gaza. Perawat Diaa Al-Shaer mengatakan anak-anak yang menderita malnutrisi dan berbagai penyakit lainnya datang dalam jumlah yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

“Kami akan menerima pasien dengan penyakit ini dalam jumlah besar, yaitu malnutrisi,” katanya Senin (4/3/2024) kemarin.

Berat badan balita yang mengenakan kardigan kuning Ahmed Qannan hanya 6 kilogram. Bibinya Israa Kalakh mengatakan berat itu hanya setengah sebelum perang.

“Situasinya semakin memburuk setiap hari, Tuhan lindungi kami dari apa yang akan datang,” kata Kalakh.

Serangan udara dan darat Israel yang sudah berlangsung selama lima bulan menghancurkan Jalur Gaza dan mengakibatkan pengungsian massal, kelangkaan pangan akut yang mengarah pada apa yang PBB gambarkan sebagai krisis nutrisi. Salah satu dari bencana kemanusiaan yang terjadi di pemukiman Palestina itu.

Pada Ahad (3/3/2024) lalu Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan 15 anak meninggal dunia akibat malnutrisi atau dehidrasi di Rumah Sakit Kamal Adwan di Beit Lahiya di Gaza utara. Wilayah yang mengalami kelangkaan pangan ekstrem.

“Sayangnya angka tidak resmi diperkirakan lebih tinggi,” kata juru bicara Organisasi Kesehatan Dunia Christian Lindmeier.

Krisis kelaparan meningkatan kritik terhadap Israel termasuk dari Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Kamala Harris. Ia mengatakan warga di Gaza kelaparan, ia menyerukan Israel meningkatkan aliran bantuan ke pemukiman Palestina itu.

Dalam video yang diambil dari dalam Rumah Sakit Kamal Adwan terlihat seorang perempuan Anwar Abdulnabi menangisi jenazah putrinya, Mila, yang meninggal di ranjangnya.

“Putri saya, putri saya yang cantik, putri saya yang lembut meninggal dunia,” kata Abdulnabi sambil menangis.

Ia mengatakan Mila yang masih bayi mengalami defisiensi kalsium dan potasium. Tapi ia tidak mengungkapkan penyebab kematiannya.

Dokter unit gawat darurat Dokter Ahmad Salem mengatakan salah satu faktor tingginya kematian anak disebabkan ibu yang baru melahirkan mengalami malnutrisi.

“Para ibu tidak dapat menyusui anak-anak mereka. Kami tidak memiliki susu formula. Hal ini menyebabkan kematian anak-anak di unit perawatan intensif. Juga di kamar bayi, ada banyak kematian,” katanya.

Pengiriman pangan ke seluruh Gaza masih jauh dari yang dibutuhkan. Masalah semakin buruk di utara karena Israel hanya mengizinkan penyeberangan di selatan. Sejumlah truk bantuan dijarah massa yang putus asa sebelum tiba di Utara.

“Rasa tidak berdaya dan putus asa di antara orang tua dan dokter ketika menyadari bantuan untuk menyelamatkan nyawa, yang jaraknya hanya beberapa kilometer jauhnya, tidak dapat dijangkau, pastilah tidak tertahankan,” kata direktur regional UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Adele Khodr.

Dalam laporan situasi terbaru bertanggal 1 Maret lalu lembaga bantuan pengungsi PBB untuk Palestina (UNRWA) mengatakan pada bulan Februari rata-rata 97 truk bantuan per hari masuk ke Gaza. Turun dari bulan Januari yang rata-rata 150 truk per hari.

Lembaga PBB dan organisasi-organisasi kemanusiaan mengatakan penurunan ini disebabkan tindakan Israel termasuk penutupan ke wilayah utara Gaza, operasi militer dan sistem pemeriksaan rumit Israel terhadap barang-barang menuju Gaza.

Israel mengatakan mereka tidak membatasi bantuan kemanusiaan atau medis dan menyalahkan kurangnya pengiriman pada kapasitas lembaga-lembaga bantuan.

Israel menyalahkan Hamas, yang memulai perang dengan melancarkan serangan mendadak ke Israel selatan pada tanggal 7 Oktober. Israel juga menuduh Hamas menggunakan penduduk sipil Gaza sebagai perisai manusia.

Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan serangan udara dan darat Israel di Gaza menewaskan lebih dari 30.000 warga Palestina di sana.

Di pusat kesehatan Al-Awda di Rafah, seorang anak laki-laki berusia 12 tahun bernama Yazan Al-Kafarna meninggal dunia pada hari Senin. Dalam video kantor berita Reuters pada Sabtu (2/3/2024) lalu ia tampak pucat dan kurus kering, dengan anggota tubuh yang tinggal tulang.

Kepala departemen pediatrik di rumah sakit Abu Yousef Al-Najar di Rafah, tempat bocah itu dirawat sampai ia dipindahkan ke Al-Awda, Dokter Jabir Al-Shaar mengatakan Yazan menderita lumpuh otak dan bergantung pada makanan khusus seperti buah dan susu, yang sekarang tidak tersedia di Gaza.

Ibunya, Um Yazan Al-Kafarna, menghabiskan hari-hari terakhir hidupnya di sisinya.

“Dia biasa makan, minum, bergerak, bermain, tertawa. Saya biasa bermain dengannya,” katanya.

 

Sumber: Republika

Kelaparan Dan Penyakit Menghantui Pengungsi Di Gaza

Kelaparan Dan Penyakit Menghantui Pengungsi Di Gaza

NewsINH, Gaza – Kantor Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) merilis sebuah video yang menunjukkan situasi sulit yang dihadapi oleh para pengungsi penduduk Palestina yang terusir dari rumahnya akibat agresi Israel di Jalur Gaza.

“Tidak sedikit orang yang belum makan selama beberapa hari, anak-anak tidak memiliki pakaian musim dingin, dan tidak ada perawatan medis. Sebagian besar produk tidak tersedia di pasaran dan ketika tersedia, harganya sangat mahal,” kata Olga Cherevko dari tim OCHA seperti dikutip dari Gazamedia, Kamis (18/1/2023).

Menurutnya, tempat perlindungan seperti pengungsian adalah kebutuhan besar dan tentu saja makanan, dan yang paling utama adalah perdamaian.

Selain itu ancaman penyakit juga membayangi para pengungsi di Gaza. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa terdapat peningkatan pada jumlah kasus penyakit hepatitis A di pusat Gaza dan Rafah, hal ini akibat air yang terkontaminasi dan kondisi sanitasi yang buruk di kamp pengungsian.

Baca Juga : INH Kirim Ribuan Paket Bantuan Kemanusiaan ke Kamp Pengusian di Gaza

Hingga saat ini, perang di Gaza masih memanas, dimana tank-tank Israel kembali menyerbu ke bagian-bagian Jalur Gaza sebelah utara yang mereka tinggalkan pekan lalu, kata warga Gaza, Selasa, 16 Januari 2024, menyulut kembali beberapa pertempuran yang paling intens sejak tahun baru ketika Israel mengumumkan mereka sedang menurunkan sekala operasi di sana.

Ledakan-ledakan besar dapat terlihat di wilayah-wilayah sebelah utara Gaza dari seberang perbatasan dengan Israel sebuah pemandangan yang jarang selama dua minggu terakhir sejak Israel mengumumkan penarikan pasukan dari utara sebagai bagian dari transisi kepada operasi-operasi militer yang lebih kecil dan terarah.

Deru tembakan hebat terdengar melintasi perbatasan sepanjang malam. Di pagi hari, jejak spiral meliuk-liuk di langit saat pertahanan Iron Dome Israel menembak jatuh roket yang ditembakkan oleh militan melintasi pagar, bukti bahwa mereka tetap mampu meluncurkannya meskipun terjadi perang selama lebih dari 100 hari.

Israel mengatakan pasukannya telah membunuh puluhan pejuang Hamas semalaman dalam bentrokan di Beit Lahiya di tepi utara Jalur Gaza. Otoritas kesehatan Gaza mengatakan pengeboman Israel selama 24 jam terakhir telah menewaskan 158 orang di daerah kantong tersebut, sehingga meningkatkan jumlah korban jiwa dalam perang tersebut, yang kini memasuki bulan keempat, menjadi 24.285 orang, dan ribuan orang lainnya dikhawatirkan hilang di reruntuhan.

Israel melancarkan perang untuk memberantas Hamas setelah militan menyerbu pagar perbatasan pada 7 Oktober, menewaskan 1.200 orang dan menyandera 240 orang. Perang telah memaksa hampir seluruh warga Gaza meninggalkan rumah mereka, bahkan beberapa kali, dan menyebabkan krisis kemanusiaan, dengan makanan, bahan bakar, dan pasokan medis yang semakin menipis.

 

Sumber: Gazamedia/Reuters

Ya Salam, Sembilan dari 10 Warga Gaza tidak Makan Setiap Hari

Ya Salam, Sembilan dari 10 Warga Gaza tidak Makan Setiap Hari

NewsINH, Gaza – Krisis kemanusian di Jalur Gaza akibat peperangan semakin mengkawatirkan. Warga sipil Palestina semakin terancam dan dihantui kelaparan yang semakin ekstrem lantaran gagalnya operasi kemanusiaan di Jalur Gaza.

Tercatat sembilan dari 10 warga Gaza tidak makan setiap hari. Mereka menahan lapar dan haus karena minimnya dan bahkan habisnya stok makanan yang masuk dari bantuan kemanusiaan ke wilayah yang telah dihujani bom dan peledak militer zionis Israel.

Pada hari Sabtu, Wakil Direktur Program Pangan Dunia (WFP) Carl Skau Skau mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa proses baru untuk memeriksa bantuan Gaza di penyeberangan Karem Abu Salem, yang disebut Kerem Shalom oleh Israel, sedang diuji.

Israel sejauh ini menolak permintaan PBB untuk membuka Karem Abu Salem, namun keduanya memberi isyarat pada hari Kamis bahwa penyeberangan tersebut dapat segera membantu proses pengiriman pasokan kemanusiaan ke Gaza.

Hingga saat ini, bantuan dalam jumlah terbatas telah disalurkan dari Mesir melalui penyeberangan Rafah, yang tidak memiliki fasilitas untuk menampung truk dalam jumlah besar.

Truk-truk telah melaju lebih dari 40 km (25 mil) ke selatan menuju perbatasan Mesir dengan Israel sebelum kembali ke Rafah, yang menyebabkan kemacetan dan penundaan.

“Bagus, bermanfaat karena ini juga pertama kalinya kita bisa mendatangkan pipa dari Yordania. Namun kita memerlukan titik masuk itu juga karena hal itu akan membuat perbedaan besar,” kata Skau.

Berbicara kepada wartawan di Israel awal pekan ini, Kolonel Elad Goren, kepala departemen sipil di COGAT, badan Israel untuk koordinasi sipil dengan Palestina, mengatakan, “Kami akan membuka Kerem Shalom hanya untuk pemeriksaan. Itu akan terjadi dalam beberapa hari ke depan.”

Goren mengatakan tim COGAT sedang berdiskusi dengan Amerika Serikat, PBB dan Mesir mengenai peningkatan volume bantuan kemanusiaan.

“Kami telah mengerahkan sumber daya internal kami sehingga kami memiliki ketersediaan pangan di Mesir dan Yordania untuk menjangkau sekitar 1.000.000 orang dalam satu bulan. Kami siap untuk meluncur. Truk siap bergerak,” kata Skau.

Skau menggambarkan situasi di Gaza semakin kacau ketika orang-orang mengambil apa yang mereka bisa dari titik distribusi bantuan. Ada pertanyaan sampai kapan hal ini bisa berlanjut, karena operasi kemanusiaan dinyatakan gagal.

“Separuh penduduk kelaparan, sembilan dari 10 penduduk tidak makan setiap hari. Tentu saja, kebutuhanya sangat besar” pungkasnya.

 

Sumber: Aljazerah

Customer Support kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!