Sikap Arogansi Israel, Parlemen Yordania Usir Dubes Israel di Amman

NewsINH, Amman – Dampak sikap arogansi pemerintah Israel dibawa kepemimpinan Perdana Menteri (PM) Menjamin Netanyahu terus mendapatkan kecaman dari dunia internasional. Pasalnya, Sikap politikus dan pejabat sayap kanan di pemerintahan Israel terus mengundang kontroversi. Selain pernyataan-pernyataan ultranasionalistik, kebijakan mereka membuat Israel kian terkucilkan.

Dikutip dari Republika, Kamis (23/3/2023), parlemen Yordania di Kota Amman merekomendasikan pengusiran duta besar Israel dari negara tersebut. Hal itu sebagai protes terhadap perilaku seorang menteri di pemerintahan sayap kanan Israel, Bezalel Smotrich. Sikap Menteri Keuangan Israel ini telah memicu kontroversi awal pekan ini.

Dalam sebuah pertemuan di Paris pada Ahad (19/3), Smotrich kembali melontarkan pernyataan kontroversial. Dalam pidatonya, dia mengatakan bahwa tidak ada orang Palestina. “Tidak ada orang Palestina, karena tidak ada orang Palestina,” kata Smotrich mengutip aktivis Zionis Prancis-Israel Jacques Kupfer.

Smotrich mengutip Alkitab bahwa tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan untuk Israel. Smotrich mengklaim tanah pendudukan Palestina sebagai kebenaran sejarah.

“Setelah 2.000 tahun Tuhan mengumpulkan umat-Nya. Orang-orang Israel kembali ke rumah. Ada orang Arab di sekitar yang tidak menyukainya, jadi apa yang mereka lakukan? Mereka mengarang orang fiktif dan mengklaim hak fiktif atas Tanah Israel, hanya untuk melawan gerakan Zionis. Itu adalah kebenaran sejarah, itu adalah kebenaran alkitabiah,” ujarnya.

Smotrich berbicara di sebuah podium yang menampilkan peta yang disebut Israel Raya. Peta itu mencakup wilayah pendudukan Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, Jalur Gaza yang diblokade, dan Yordania, yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1994.

Insiden itu menimbulkan reaksi kemarahan Yordania. Dan duta besar Israel di Amman akhirnya dipanggil oleh kementerian luar negeri Yordania untuk menyatakan keberatannya. Pemerintah Mesir dan Uni Emirat Arab juga mengeluarkan pernyataan yang mengutuk kata-kata dan tindakan Smotrich.

Dalam tanggapannya kepada anggota parlemen, Wakil Perdana Menteri Yordania Tawfiq Krishan mengatakan bahwa insiden tersebut telah mempersatukan warga Yordania. “Peta Yordania hanya diklaim oleh orang Yordania,” kata Krishan.

Israel dan Yordania menandatangani perjanjian damai pada tahun 1994, setelah berperang satu sama lain pada tahun 1948 dan 1967. Banyak orang Yordania berasal dari Palestina. Para keturunan Palestina itu dipaksa meninggalkan rumah mereka oleh Israel.

Indonesia juga telah mengecam keras sikap Bezalel Smotrich yang mengingkari eksistensi Bangsa Palestina dan tidak menghormati eksistensi serta kedaulatan wilayah Yordania. “Indonesia terus konsisten mendukung perjuangan bangsa Palestina dan menghormati kedaulatan wilayah Yordania,” ujar pernyataan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia di Twitter, Rabu (22/3/2023).

Sementara, Uni Eropa mengkritik keputusan parlemen Israel (Knesset) mencabut Undang-Undang (UU) Pelepasan atau Disengagement Law yang disepakati pada 2005. Pencabutan UU itu memungkinkan pemukim Yahudi Israel untuk kembali ke empat permukiman ilegal di Tepi Barat yang telah dibongkar.

“(Keputusan Israel) kontra-produktif terhadap upaya deeskalasi, dan menghambat kemungkinan untuk mengejar langkah-langkah pembangunan kepercayaan serta menciptakan cakrawala politik untuk dialog,” kata juru bicara Uni Eropa Peter Stano, dikutip laman Middle East Monitor, Rabu (22/3).

Menurut Stano, pencabutan Disengagement Law itu merupakan langkah mundur yang jelas. Dia pun menekankan, permukiman Israel di Tepi Barat ilegal menurut hukum internasional. “Mereka (permukiman ilegal Israel) merupakan hambatan utama bagi perdamaian dan mengancam kelangsungan solusi dua negara (Israel-Palestina),” ujar Stano.

Stano mendesak Israel membatalkan keputusan terkait pencabutan Disengagement Law tersebut. Dia pun menyerukan Israel mengambil tindakan guna meredakan situasi yang sudah dibekap ketegangan.

Sebelumnya Amerika Serikat (AS) pun telah mengkritisi keputusan Knesset mencabut Disengagement Law tahun 2005. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Vedant Patel mengatakan, pencabutan Disengagement Law oleh Knesset melanggar komitmen Israel kepada AS terkait perluasan permukiman di Tepi Barat.

“Perubahan legislatif yang diumumkan hari ini sangat provokatif dan kontraproduktif terhadap upaya untuk memulihkan ketenangan saat kita memasuki Ramadhan, Paskah, dan liburan Paskah,” ucap Patel kepada awak media, Selasa (21/3), dikutip laman Aljazeera.

Awak media pun mencecar Patel dengan pertanyaan tentang langkah apa yang bakal diambil pemerintahan Presiden AS Joe Biden agar Israel tidak memperluas proyek permukiman ilegalnya di Tepi Barat.

“Ini adalah sesuatu yang secara khusus telah kami jelaskan dengan sangat jelas, bahwa pertumbuhan pemukiman dan permukiman liar tidak sejalan dengan pandangan kami tentang langkah-langkah apa yang diperlukan untuk membawa kita ke solusi dua negara (Israel-Palestina) yang dinegosiasikan dengan cara damai,” katanya.

Patel tidak bisa memberikan penjelasan soal langkah tegas yang bakal diambil pemerintahan Biden. Dia hanya menyebut bahwa isu itu akan dibahas AS dengan para pejabat Israel.

Pada Senin (20/3) malam lalu, Knesset memilih mencabut sebagian dari Disengagement Law yang disahkan tahun 2005. Dalam proses pemungutan suara, dari 120 anggota Knesset, 31 di antaranya mendukung pencabutan UU 2005 tersebut. Sementara 18 lainnya memilih menentang. Kemudian sisa anggota lainnya memilih abstain.

“Negara Israel malam mini memulai proses pemulihannya dari bencana deportasi,” kata anggota Knesset dari Partai Likud Yuli Edelstein.

Partai Likud adalah partai sayap kanan yang dipimpin Benjamin Netanyahu, perdana menteri Israel saat ini. Pemerintahan koalisi Netanyahu didominasi oleh para tokoh pendukung perluasan permukiman ilegal di Tepi Barat. Hal itu telah menimbulkan kekhawatiran luas di kalangan Palestina.

Disengagement Law tahun 2005 memerintahkan pembongkaran empat pemukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat yang diduduki saat Israel menarik pasukannya dari Jalur Gaza. Empat permukiman itu yakni Sa-Nur, Ganim, Kadim, dan Homesh.

Perdana menteri Israel kala itu, Ariel Sharon, berpendapat, Israel tidak akan dapat mempertahankan permukiman-permukiman terkait di bawah kesepakatan masa depan dengan Palestina. Menurutnya, pembongkaran empat permukiman tersebut akan membantu memberikan kedekatan teritorial Palestina di Tepi Barat dan mempermudah warga Palestina menjalani kehidupan normal.

Sejak UU 2005 itu diterapkan, warga Israel dilarang memasuki kembali daerah-daerah pemukiman tersebut tanpa seizin militer. Dengan pencabutan UU tersebut, warga Israel dapat kembali ke lokasi permukiman yang dievakuasi. Artinya permukiman ilegal Israel di Tepi Barat bakal bertambah.

Israel menduduki Tepi Barat sejak berakhirnya Perang Arab-Israel 1967. Hingga saat ini terdapat lebih dari 700 ribu pemukim Israel yang tinggal di permukiman-permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Permukiman tersebut dianggap ilegal menurut hukum internasional.

 

Sumber: Republika

#DonasiPalestina

Bagikan :
Customer Support kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!