NewsINH, Gaza – Nasib dan masa depan anak-anak Palestina semakin terhimpit ditengah gempuran misiu dan blokade jalur Gaza Palestina secara total oleh pihak otoritas Israel. Pertempuran yang hampir satu pekan antara tentara pejuang kemerdekaan Palestina dan militer Israel masih belum padam. Diperkirakan, perang tahun ini akan lebih lama dari pada perang pada tahun-tahun sebelumnya.
Pesawat-pesawat tempur Israel masih berseliweran melakukan serangan udara dan memblokade total akses ke Jalur Gaza. Blokade ini menyebabkan penduduk Gaza, termasuk anak-anak telah kehilangan akses ke banyak kebutuhan, termasuk makanan, air, dan pendidikan.
Serangan udara Israel telah mengakibatkan kematian ratusan anak-anak di Gaza, dan blokade total menimbulkan risiko lebih memprihatinkan. Sebagai tanggapan atas serangan Hamas terhadap Israel, lingkungan Gaza, termasuk al-Karama dan Rimal, telah dibombardir dan jumlah korban sipil yang tewas, termasuk ratusan anak-anak, terus meningkat.
Pada hari Rabu (11/10/2023), jumlah korban tewas di Gaza mencapai sedikitnya 950 warga Palestina, termasuk 260 anak-anak. Pusat Informasi Kesehatan Palestina melaporkan bahwa 10 persen dari 3.726 orang yang terluka adalah anak-anak.
Menurut Defense for Children International (DCI), sebuah organisasi hak asasi manusia Palestina yang berfokus pada hak-hak anak, sejak tahun 2005. Disebutkan bahwa enam serangan militer besar di Gaza telah menewaskan sedikitnya 1.000 anak Palestina.
“Kami tahu dari pengalaman sebelumnya bahwa anak-anak akan ketakutan,” kata Jason Lee, direktur Save the Children untuk wilayah Palestina yang diduduki, dalam sebuah pernyataan pada hari Sabtu lalu.
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengumumkan blokade penuh atas Gaza pada hari Senin (8/10/2023). Ia membenarkan langkah tersebut dengan menggambarkan warga Palestina sebagai “orang-orang yang buas”.
Dengan blokade ini, berarti pasokan listrik, gas, makanan dan air telah terputus di Gaza. Padahal wilayah Gaza sejak lama, telah hidup di bawah blokade darat, laut dan udara sejak tahun 2007 dan perbatasannya dikontrol oleh Israel.
Sejak blokade ini, Israel telah melancarkan lima serangan militer ke Gaza, menghancurkan rumah-rumah warga. Karena blokade dan kurangnya akses ke material, rekonstruksi rumah-rumah tersebut berjalan lambat dan sulit, membuat para penghuninya mengungsi.
Anak-anak sangat rentan terhadap kondisi ini – kurangnya akses terhadap air bersih, sumber daya sanitasi, dan perlindungan dari cuaca ekstrem – yang menyebabkan ketegangan pada kesehatan fisik dan mental mereka.
Kurangnya makanan di tengah blokade total juga akan menyebabkan tingkat kerawanan pangan yang lebih tinggi. DCI melaporkan bahwa anak-anak di Gaza sebelumnya telah menggunakan metode berbahaya untuk mengumpulkan makanan atau uang untuk membeli makanan, memasuki zona-zona di mana mereka dapat diserang oleh militer Israel.
Kurangnya fasilitas air dan sanitasi di Gaza sebelumnya telah menyebabkan anak-anak menderita penyakit termasuk flu dan demam tifoid, menurut DCI. Defisit listrik yang sering terjadi telah memperburuk masalah anak-anak yang rentan terhadap panas dan dingin yang ekstrem, kata DCI dalam laporannya.
Menurut laporan tahun 2022 dari Save the Children, empat dari lima anak di Gaza hidup dengan depresi, kesedihan, dan ketakutan, sementara lebih dari separuhnya bergumul dengan pikiran untuk bunuh diri. Anak-anak di sana juga mengalami trauma karena menyaksikan kematian anak-anak lain.
Sejak awal serangan udara Israel, lebih dari 73.000 warga Palestina meninggalkan rumah mereka. Para pengungsi ini mencari perlindungan di 64 sekolah yang dikelola oleh UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina.
Namun, sekolah tidak lagi menjadi tempat yang aman dan menurut UNRWA, setidaknya empat sekolah di Gaza mengalami kerusakan akibat pemboman Israel. Pada hari Selasa, sekolah Al Fakhoora milik Yayasan Education Above All (EAA) hancur akibat serangan udara.
Dalam sebuah pernyataan, EAA mengatakan bahwa “hukuman kolektif, pembalasan, dan serangan terhadap warga sipil dan infrastruktur sipil merupakan pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan internasional, dan jika disengaja, hal tersebut merupakan kejahatan perang.”
Para siswa di Gaza juga mengalami ketakutan yang terus menerus akan serangan Israel. Kementerian Pendidikan telah membuat program pelatihan bagi para guru dan siswa di sekolah-sekolah dekat perbatasan Gaza untuk melakukan latihan evakuasi jika terjadi serangan.(***)
Related Posts
-
Setahun Agresi dan Genosida di Gaza, Korban Syahid Hampir 42 Ribu
NewsINH, Gaza – Sedikitnya 39 lebih warga Palestina kembali syahid dalam serangan Israel di Jalur Gaza, menambah jumlah total korban meninggal dunia akibat perang genosida Tel Aviv sejak tahun lalu menjadi 41.909 orang. Hal ini disampaikan Kementerian Kesehatan Palestina di daerah kantong tersebut pada Senin (7/10/2024) kemarin waktu setempat. Pernyataan kementerian itu menambahkan bahwa sekitar 97.303 orang lainnya mengalami luka-luka dalam serangan itu. “Pasukan Israel menewaskan 39 orang lagi dan menyebabkan 137 orang lainnya luka-luka dalam empat aksi pembantaian keluarga dalam 24 jam terakhir,” kata Kementerian itu. “Banyak orang masih terjebak di bawah reruntuhan dan di jalanan karena tim penyelamat tidak dapat menjangkau mereka,” tambah kementerian tersebut. Israel melanjutkan serangan brutal ke Jalur Gaza menyusul serangan dari kelompok Hamas Palestina pada 7 Oktober 2023, meski resolusi Dewan Keamanan PBB menyerukan gencatan senjata segera. Serangan Israel telah menyebabkan hampir seluruh penduduk wilayah itu mengungsi di tengah blokade yang berlangsung yang menyebabkan kelangkaan parah bahan makanan, air bersih dan obat-obatan. Israel menghadapi tudingan genosida di Mahkamah Internasional atas aksinya di Gaza. Sumber: Anadolu/Oana / Antara
-
AI Minta Dunia Lindungi Rakyat Palestina dari Anacaman Genosida Israel
NewsINH, London –Amnesty Internasional (AI) sebuah lembaga yang bergerak dibidang hak asasi manusia meminta dunia untuk melindungi rakyat Palestina dari ancaman genosida Israel terhadap warga Gaza. AI juga menyambut baik laporan baru Pelapor Khusus PBB di daerah pendudukan di wilayah Palestina. Pelapor Khusus PBB menemukan terdapat “dasar masuk akal untuk meyakini” Israel melakukan genosida di Gaza. “Upaya lembaga ini harus menjadi seruan penting mendorong negara-negara bertindak. Mereka harus menegakan kewajiban mereka di bawah Konvensi Genosida dan mengambil langkah konkrit untuk melindungi rakyat Palestina di Gaza hari ini,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard seperti dikutip dari Aljazirah, Selasa (26/3/2024). “Sudah waktunya untuk bertindak mencegah genosida,” tambahnya. Callamard mendesak negara-negara untuk menerapkan tekanan politik pada pihak-pihak yang bertikai untuk mematuhi resolusi gencatan senjata Gaza, Dewan Keamanan PBB yang diadopsi Senin (25/3/2024) kemarin. Ia mengatakan, mereka harus menggunakan pengaruhnya agar Israel mematuhi resolusi itu, termasuk menghentikan serangan dan mencabut langkah-langkah pembatasan pengiriman bantuan kemanusiaan. Callamard juga meminta negara-negara menerapkan embargo senjata komprehensif pada semua pihak dalam konflik, termasuk menekan Hamas dan kelompok bersenjata lain untuk membebaskan semua sandera sipil. Dalam laporan yang dirilis Senin malam lalu Pelapor Khusus PBB di wilayah Palestina Francesca Albanese mengatakan terdapat indikasi yang jelas Israel telah melanggar tiga dari lima tindakan yang dilarang di Konvensi Genosida. “Sifat dan skala serangan Israel yang luar biasa di Gaza dan kehancuran kehidupan yang diakibatkannya mengungkapkan niat untuk menghancurkan fisik Palestina sebagai kelompok,” kata Albanese yang ditunjuk Dewan Hak Asasi Manusia PBB tapi bukan suara resmi PBB. Sumber: Aljazirah/Republika
-
Tak Ada Jaminan Keamanan, WHO Urungkan Kirim Bantuan Medis ke Gaza
NewsINH, Gaza – Untuk kesekian kalinya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengurungkan pengiriman bantuan medis ke wilayah Jalur Gaza bagian Utara. Pembatalan ini lantaran tidak ada jaminan keselamatan dari pihak otoritas Israel. Dengan sangat terpaksa pihaknya membatalkan misi untuk mengirim pasokan medis ke Gaza utara setelah gagal mendapat jaminan keamanan. Ini keempat kalinya WHO membatalkan rencana misi untuk mengirimkan pasokan medis yang sangat dibutuhkan ke Rumah Sakit Al-Awda dan pusat toko obat di Gaza utara sejak 26 Desember. “Ini sudah 12 hari terakhir kali kami dapat menjangkau Gaza utara,” kata kantor WHO di daerah pendudukan Palestina di media sosial X, Selasa (9/1/2024). Menurut laporan badan tersebut, pengeboman secara besar-besaran, pembatasan gerakan dan gangguan komunikasi membuat hampir mustahil mengirimkan pasokan medis secara rutin dan aman di Gaza, terutama ke bagian utara. WHO mengatakan rencana pengiriman pada hari Ahad (7/1/2023) kemarin dirancang untuk mempertahankan operasi di lima rumah sakit di wilayah utara. Juru bicara pemerintah Israel Eylon Levy mengatakan ia tidak memiliki informasi mengenai pernyataan WHO dan merujuk pertanyaan tersebut ke Angkatan Bersenjata Israel (IDF). Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan ia “terkejut dengan skala kebutuhan medis dan kehancuran di Gaza utara.” “Penundaan lebih lanjut akan menambah kematian dan penderitaan untuk terlalu banyak orang,” katanya di media sosial X. Dalam pernyataan terpisah lembaga bantuan Komite Penyelamatan Internasional (IRC) mengatakan tim medisnya dan lembaga amal Bantuan Medis untuk Palestina terpaksa mundur dan menahan aktivitas di Rumah Sakit Al-Aqsa di Gaza tengah karena aktivitas militer Israel di daerah itu meningkat. Israel menggelar operasi militer untuk membalas serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober lalu. Serangan Israel memaksa sebagian besar dari 2,3 juta populasi Gaza mengungsi, membuat banyak orang menjadi tuna wisma dan mengubah infrastruktur sipil menjadi reruntuhan serta menyebabkan kelangkaan pangan, air dan obat-obat. Sumber : Reuters/Republika
-
Ya Salam, Sembilan dari 10 Warga Gaza tidak Makan Setiap Hari
NewsINH, Gaza – Krisis kemanusian di Jalur Gaza akibat peperangan semakin mengkawatirkan. Warga sipil Palestina semakin terancam dan dihantui kelaparan yang semakin ekstrem lantaran gagalnya operasi kemanusiaan di Jalur Gaza. Tercatat sembilan dari 10 warga Gaza tidak makan setiap hari. Mereka menahan lapar dan haus karena minimnya dan bahkan habisnya stok makanan yang masuk dari bantuan kemanusiaan ke wilayah yang telah dihujani bom dan peledak militer zionis Israel. Pada hari Sabtu, Wakil Direktur Program Pangan Dunia (WFP) Carl Skau Skau mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa proses baru untuk memeriksa bantuan Gaza di penyeberangan Karem Abu Salem, yang disebut Kerem Shalom oleh Israel, sedang diuji. Israel sejauh ini menolak permintaan PBB untuk membuka Karem Abu Salem, namun keduanya memberi isyarat pada hari Kamis bahwa penyeberangan tersebut dapat segera membantu proses pengiriman pasokan kemanusiaan ke Gaza. Hingga saat ini, bantuan dalam jumlah terbatas telah disalurkan dari Mesir melalui penyeberangan Rafah, yang tidak memiliki fasilitas untuk menampung truk dalam jumlah besar. Truk-truk telah melaju lebih dari 40 km (25 mil) ke selatan menuju perbatasan Mesir dengan Israel sebelum kembali ke Rafah, yang menyebabkan kemacetan dan penundaan. “Bagus, bermanfaat karena ini juga pertama kalinya kita bisa mendatangkan pipa dari Yordania. Namun kita memerlukan titik masuk itu juga karena hal itu akan membuat perbedaan besar,” kata Skau. Berbicara kepada wartawan di Israel awal pekan ini, Kolonel Elad Goren, kepala departemen sipil di COGAT, badan Israel untuk koordinasi sipil dengan Palestina, mengatakan, “Kami akan membuka Kerem Shalom hanya untuk pemeriksaan. Itu akan terjadi dalam beberapa hari ke depan.” Goren mengatakan tim COGAT sedang berdiskusi dengan Amerika Serikat, PBB dan Mesir mengenai peningkatan volume bantuan kemanusiaan. “Kami telah mengerahkan sumber daya internal kami sehingga kami memiliki ketersediaan pangan di Mesir dan Yordania untuk menjangkau sekitar 1.000.000 orang dalam satu bulan. Kami siap untuk meluncur. Truk siap bergerak,” kata Skau. Skau menggambarkan situasi di Gaza semakin kacau ketika orang-orang mengambil apa yang mereka bisa dari titik distribusi bantuan. Ada pertanyaan sampai kapan hal ini bisa berlanjut, karena operasi kemanusiaan dinyatakan gagal. “Separuh penduduk kelaparan, sembilan dari 10 penduduk tidak makan setiap hari. Tentu saja, kebutuhanya sangat besar” pungkasnya. Sumber: Aljazerah
-
Tentara Israel Bunuh Seorang Pemuda Palestina di Salfit
NewsINH, Salfit – Seorang pemuda Palestina ditembak mati oleh tentara pendudukan Israel di dekat kota Salfit di Tepi Barat yang diduduki. Korban meregang nyawa setelah ditembak dari jarak yang sangat dekat. Kementerian Kesehatan Palestina seperti dikutuip dari klantor berita Palestina, Wafa, Jumat (28/4/2023) mengatakan dalam sebuah pernyataan singkat bahwa Ahmad Yaaqob Taha, seorang warga Palestina berusia 39 tahun, ditembak mati oleh tentara pendudukan Israel dari jarak dekat di dekat kota Salfit, Tepi Barat. Video insiden yang beredar di media sosial menunjukkan seorang tentara pendudukan Israel meminta pemuda itu untuk keluar dari mobilnya di bawah todongan senjata, dan dengan cepat setelah pemuda itu keluar dari mobil, tentara itu melepaskan tembakan ke arahnya membuat korban langsung tersungkur kebawah. Pasukan pendudukan Israel mengklaim Taha yang merupakan seorang penduduk kota Bidya di provinsi Salfit Tepi Barat, telah berusaha untuk menikam tentara Israel di sebuah persimpangan di luar pemukiman kolonial Israel di Ariel. “Mereka menuduh korban melakukan penyerangan dan dianggap membahayakan oleh otoritas pendudukan mereka beralibi atau membenarkan pembunuhan berdarah dingin terhadap warga Palestina,” katanya. Tercatat, setidaknya 105 warga Palestina telah dibunuh oleh pasukan pendudukan Israel sepanjang tahun ini, termasuk seorang wanita tua dan setidaknya terdapat delapan anak-anak yang menjadi korban pembunuhan Israel. Sumber: Wafa #DonasiPalestina