-
NewsINH, Kuwait – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dewan Kerjasama Teluk (GCC) ke-45 pada Minggu (1/12) menyerukan diakhirinya genosida Israel yang berlangsung di Jalur Gaza selama lebih dari satu tahun dan menyatakan solidaritas dengan Lebanon. Pernyataan ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal GCC Jasem Al-Budaiwi dalam konferensi pers penutupan KTT yang diselenggarakan di Kuwait. Dalam deklarasi KTT tersebut, para pemimpin GCC menyerukan “penghentian kejahatan pembunuhan dan hukuman kolektif di Gaza, pengusiran warga, serta penghancuran fasilitas sipil dan infrastruktur, termasuk fasilitas kesehatan, sekolah, dan tempat ibadah, yang jelas-jelas melanggar hukum internasional dan hukum humaniter internasional.” Para pemimpin GCC menyambut baik “resolusi KTT luar biasa Arab-Islam yang diselenggarakan oleh Arab Saudi pada 11 November 2024, yang bertujuan memperkuat aksi internasional untuk menghentikan perang di Gaza, mencapai perdamaian yang berkelanjutan dan komprehensif, serta melaksanakan solusi dua negara sesuai dengan Inisiatif Perdamaian Arab.” Mereka juga memuji upaya Qatar dalam menemukan kesepakatan terkait gencatan senjata di Gaza dan pertukaran tahanan. Selain itu, para pemimpin GCC mengutuk “agresi Israel yang terus berlanjut terhadap Lebanon” dan memperingatkan bahaya eskalasi konflik, yang dapat membawa dampak buruk bagi rakyat di kawasan dan perdamaian serta keamanan internasional. Mereka menyambut baik kesepakatan gencatan senjata di Lebanon dan berharap hal ini menjadi langkah awal untuk menghentikan perang, mendorong penarikan Israel dari wilayah Lebanon, melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701, serta memulangkan pengungsi ke tempat tinggal mereka. KTT ini juga memuji upaya Arab Saudi dan Oman dalam memediasi dengan semua pihak di Yaman, termasuk pemerintah dan kelompok Houthi, untuk menghidupkan kembali proses politik di negara tersebut. Para pemimpin GCC menegaskan komitmen mereka terhadap “pendekatan damai,” dengan memprioritaskan “dialog dan diplomasi untuk menyelesaikan semua sengketa di kawasan dan sekitarnya. Hal itu juga sesuai dengan ketentuan hukum internasional dan Piagam PBB, menghormati kedaulatan negara, integritas wilayah, kesatuan nasional, serta kemerdekaan politik, serta menolak penggunaan atau ancaman kekuatan.” Selain isu politik, mereka juga menyerukan “percepatan pembentukan pasar digital terpadu untuk memperkuat integrasi ekonomi regional dan daya saing global di antara negara-negara anggota GCC.” KTT ini dipimpin oleh Emir Kuwait Sheikh Mishal Al-Ahmad Al-Jaber Al-Sabah dan dihadiri oleh Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, Wakil Presiden UEA Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan, Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, Putra Mahkota Bahrain Salman bin Hamad Al Khalifa, serta Wakil Perdana Menteri Oman Fahd bin Mahmoud Al Said. KTT berakhir dengan kesepakatan untuk menggelar pertemuan berikutnya di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Sumber: Anadolu/Antara
-
NewsINH, Gaza – Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menuntut agar Pemerintah Israel sebagai kekuatan pendudukan di Gaza harus memastikan bahwa organisasi kemanusiaan dapat melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif. Dalam konferensi pers pada Kamis (5/9/2024) kemarin, Juru Bicara PBB Stephane Dujarric menekankan peran penting PBB dan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA) sebagai “tulang punggung, jantung, paru-paru, dan lengan” bantuan kemanusiaan di Gaza. “Kami terus berhubungan dengan rekan-rekan Israel, terutama COGAT (Koordinasi Kegiatan Pemerintah Militer Israel di Wilayah Teritori) tentang cara meningkatkan sistem tersebut,” katanya. Dujarric mengatakan bahwa situasi kemanusiaan di Gaza masih berada dalam kondisi yang sangat buruk. Terjadi penurunan signifikan sebesar 35 persen dalam penyediaan jumlah makanan siap saji dibandingkan Juli, dengan lebih dari 700.000 makanan didistribusikan dari lebih dari 200 dapur. “Hal ini sebagian disebabkan oleh banyaknya perintah evakuasi yang dikeluarkan oleh pasukan keamanan Israel dengan setidaknya 70 dapur terpaksa menghentikan penyediaan makanan atau direlokasi,” ucapnya. Dujarric juga mencatat bahwa lebih dari satu juta orang di Gaza tengah dan selatan tidak menerima jatah makanan pada Agustus. Israel terus melakukan serangan brutal di Jalur Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera. Hampir 40.900 warga Palestina, kebanyakan perempuan dan anak-anak, telah terbunuh dan lebih dari 94.400 lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat. Blokade yang terus berlanjut di daerah kantong tersebut telah menyebabkan kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan yang parah, sehingga sebagian besar wilayah tersebut hancur. Israel menghadapi tuduhan genosida atas tindakannya di Gaza di Mahkamah Internasional. Sumber : Anadolu/Antara
-
NewsINH, Gaza – Selama bertahun-tahun, Alex de Waal telah meneliti dan menulis tentang krisis pangan dan bencana kelaparan di seluruh dunia. Namun, kondisi yang diciptakan Israel saat ini di Jalur Gaza adalah sesuatu yang belum pernah ia temui sebelumnya. Pada Senin, Inisiatif Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu, atau IPC, mengeluarkan laporan baru yang memperingatkan bahwa kelaparan kini “sedang terjadi” di Gaza, dengan 1,1 juta — atau setengah populasinya — ” menghadapi tingkat kelaparan yang sangat parah. Laporan tersebut menunjukkan bahwa situasinya telah memburuk secara signifikan sejak penilaian terakhir pada Desember. Dan, jika Israel melanjutkan strategi mematikannya, jumlah orang yang mengalami kondisi tersebut akan meningkat dua kali lipat pada Juli. “Saya tidak bisa membayangkan kejadian yang bisa secepat ini,” kata De Waal dalam wawancara dengan Anadolu tentang situasi di Gaza, di mana Israel telah membunuh lebih dari 31.600 warga Palestina sejak 7 Oktober dan menyebabkan jutaan lainnya ke jurang kelaparan. Dalam 6 bulan terakhir, serangan Israel telah menyebabkan 85 persen penduduk Gaza mengungsi dan kekurangan makanan, air, obat-obatan, serta kebutuhan hidup lainnya. Angka terbaru menunjukkan hampir 30 warga Palestina, termasuk anak-anak, meninggal dunia karena kekurangan gizi dan dehidrasi. Kelaparan massal biasanya merupakan “proses yang lambat” dan membutuhkan “waktu lama,” terutama di wilayah di mana terdapat produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup, kata De Waal, yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif World Peace Foundation di Universitas Tufts, Amerika Serikat. Di Gaza, Israel telah menerapkan taktik kelaparan massal “di (wilayah) yang sangat terkonsentrasi secara geografis… dan dengan cara yang sangat cepat, luar biasa cepatnya,” dia menjelaskan. Menurut data pada akhir November atau awal Desember, kurang dari satu persen anak-anak menderita gizi buruk akut yang parah. Hanya dalam kurun 2 bulan, lebih dari separuh populasi Gaza diturunkan ke status darurat atau lebih buruk lagi, dan “sepengetahuan saya, hal ini belum pernah terjadi pada kecepatan seperti itu,” kata dia. Israel melancarkan serangan militer mematikan di Gaza sejak serangan lintas batas yang dilakukan kelompok Hamas Palestina pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan hampir 1.200 orang. Lebih dari 31.600 warga Palestina — sebagian besar perempuan dan anak-anak — sejak saat itu telah tewas di daerah kantong tersebut, dan hampir 73.700 orang lainnya luka-luka di tengah kehancuran massal dan kelangkaan kebutuhan bahan pokok. Perang Israel telah memaksa 85 persen penduduk Gaza menjadi pengungsi di tengah blokade yang melumpuhkan terhadap sebagian besar makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur daerah itu telah rusak atau hancur, menurut PBB. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi anak-anak UNICEF mengatakan 13.000 anak terbunuh akibat serangan Israel di Gaza. Adapun banyak anak yang bertahan hidup mengalami malnutrisi akut dan “bahkan tidak memiliki tenaga untuk menangis.” Kelaparan Sebagai Senjata Menyatakan suatu daerah dilanda kelaparan adalah proses teknis dan bisa terhambat oleh akses terhadap data dan kendala politik, kata De Waal. Di negara-negara seperti Ethiopia, Nigeria, dan Yaman, terlihat bahwa pihak berwenang tidak ingin mendeklarasikan kelaparan terjadi di sana dan menghalangi akses terhadap data, kata dia. “Saya yakin, Israel akan sangat mirip… Mereka (Israel) tidak menginginkan deklarasi kelaparan,” kata De Waal. Pihak berwenang Israel mungkin mengeluarkan argumen dengan menyatakan “metode analisisnya tidak benar-benar teliti,” dan itu mungkin ada benarnya, kata dia. “Akan tetapi hal ini tidak boleh mengaburkan fakta bahwa meskipun tidak ada cukup data untuk menyatakan kelaparan, terdapat bukti yang sangat besar mengenai bencana yang sedang terjadi,” ujarnya. Poin kuncinya, menurut dia, adalah “tindakan mempergunakan kelaparan bukan berarti orang-orang harus mati.” “Yang perlu Anda lakukan untuk bertanggung jawab adalah dengan mencabut hak mereka. Jadi, meski tidak ada kelaparan, bukan berarti kelaparan tidak digunakan sebagai senjata,” katanya. Tindakan Netanyahu dan Assad mirip De Waal mengatakan ada beberapa contoh konflik di masa lalu di mana kelaparan digunakan sebagai senjata, salah satunya adalah di Suriah. “Tindakan Pemerintahan Netanyahu dan tindakan Pemerintahan Assad sangat mirip,” kata dia. Perbedaannya adalah Israel melakukannya dalam skala yang lebih besar dan cepat. Di tempat-tempat lain seperti Yamah dan wilayah Tigray di Ethiopia, De Waal menunjukkan bahwa “keduanya sangat berbeda karena populasinya jauh lebih besar dan juga perdesaan, tersebar di wilayah yang jauh lebih luas.” Ia juga menekankan bencana kelaparan di Gaza akan berdampak generasi ke generasi bagi warga Palestina. “Saat populasi — khususnya anak-anak — berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan, Anda tidak bisa membalikkan begitu saja. Jadi, pembunuhan mungkin berhenti, tetapi kematian akan terus berlanjut,” katanya. Belum lagi, rekonstruksi agar Gaza dapat dihuni kembali akan membutuhkan upaya yang besar dan waktu yang lama. “Anak dalam kandungan atau anak kecil yang terpapar secara fisik akan tumbuh tanpa kemampuan fisik yang utuh. Mereka akan menjadi lebih pendek, tidak akan mempunyai kemampuan mental, mereka tidak akan berkembang sepenuhnya. “Jadi akan ada dampaknya pada generasi berikutnya, bahkan mungkin dua generasi,” kata De Waal. Contohnya, ada penelitian yang dilakukan terhadap penyintas bencana kelaparan musim dingin di Belanda pada 1944 dan 1945 yang menunjukkan betapa anak-anak yang masih sangat kecil saat ini lebih pendek dibandingkan kakak dan adiknya. “Mereka tidak memiliki kualitas pendidikan yang sama,” kata De Waal. Trauma psikologis juga tentunya akan terus berlanjut dari generasi ke generasi, tambahnya. “Itu karena, kekerasan yang terjadi jelas sangat traumatis, namun kelaparan juga merupakan hal psikologis yang sangat traumatis,” kata De Waal. Sumber: Antara
-
NewsINH, Sanaa – Tak terima negaranya dijadikan sasaran serangan oleh Amerika dan Inggris Puluhan ribu warga Yaman, turun ke jalan dan berunjuk rasa memprotes serangan Amerika Serikat (AS) serta Inggris ke negara tersebut. Aksi itu berlangsung di beberapa kota Yaman yang dijuluki sebagai negeri seribu wali. Beberapa kota yang dijadikan tempat aksi protes itu diantaranya Hodeida, Taiz dan Aden. Dalam aksinya, massa turut membawa dan membentangkan bendera Palestina sebagai simbol solidaritas apa yang terjadi di Jalur Gaza. “Kami mengutuk keras serangan AS dan Inggris di Hodeida dan kota-kota Yaman lainnya. Kami ingin memberi tahu mereka bahwa kedaulatan Yaman dilindungi. Kami tidak akan melepaskan dukungan kami untuk Palestina bahkan jika kami semakin menderita,” kata Muhammad Ayyash Qahim, seorang warga Hodeida, yang berpartisipasi dalam unjuk rasa. Di Taiz dan Aden yang dikuasai pemerintah Yaman, masyarakat menyampaikan kecaman keras atas serangan AS dan Inggris ke negara mereka. “Dengan melancarkan serangan, AS bertujuan untuk mempertahankan hegemoninya atas seluruh wilayah Arab,” ujar Abdul Jalil Razaz, seorang warga Taiz. Mohammed Adel, seorang warga Aden mengatakan serangan AS dan Inggris akan sangat mempengaruhi kehidupan warga Yaman serta akses terhadap pasokan kemanusiaan. “Harga barang-barang yang tiba di Yaman kemungkinan akan meningkat tajam akibat serangan tersebut. Dan karena kenaikan biaya pengiriman, akan lebih sulit bagi Yaman untuk menerima bantuan dari organisasi internasional, yang dapat menimbulkan kesulitan besar bagi kehidupan masyarakat setempat,” ucap Adel. Kekhawatiran juga disampaikan warga Aden lainnya, Yassin Muthana. Sebagai warga Yaman dirinya sangat khawatir serangan ini akan berkepanjangan dan berdampak pada kehidupan kami yang sangat terkena dampak konflik selama bertahun-tahun. Sebelumnya, pada Kamis (11/1/2024) malam lalu, AS dan Inggris melancarkan serangan udara ke beberapa wilayah di Yaman, termasuk ibu kota Sanaa. Mereka membidik fasilitas-fasilitas milik kelompok Houthi. Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengungkapkan dalam serangan tersebut militer negaranya menargetkan fasilitas yang terkait dengan kendaraan udara tak berawak atau drone, rudal balistik dan jelajah, serta kemampuan radar pesisir dan pengawasan udara milik Houthi. “AS mempertahankan haknya untuk membela diri dan, jika perlu, kami akan mengambil tindakan lanjutan untuk melindungi pasukan AS,” kata Austin. Presiden AS Joe Biden mengatakan negaranya meluncurkan serangan ke Yaman karena kelompok Houthi yang berbasis di negara tersebut telah membahayakan personel AS, perdagangan, dan mengancam kebebasan navigasi di Laut Merah. Dia menekankan AS tidak akan ragu mengambil langkah lebih lanjut untuk melindungi kepentingannya. “Serangan (ke Yaman) ini merupakan respons langsung terhadap serangan-serangan Houthi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap kapal maritim internasional di Laut Merah, termasuk penggunaan rudal balistik anti-kapal untuk pertama kalinya dalam sejarah,” kata Biden dalam sebuah pernyataan yang dirilis Gedung Putih, Jumat lalu. “Serangan-serangan ini telah membahayakan personel AS, pelaut sipil, dan mitra kami, membahayakan perdagangan, dan mengancam kebebasan navigasi,” tambah Biden. Dia mengungkapkan serangan ke sejumlah titik di Yaman yang menargetkan fasilitas Houthi dilakukan AS dan Inggris, dengan dukungan dari Australia, Bahrain, Kanada, serta Belanda. Biden menegaskan dia tidak akan ragu mengambil langkah lebih lanjut terhadap Houthi. Sumber: Republika/AP
-
NewsINH, Bogor – Lembaga Kemanusiaan International Networking for Humanitarian atau INH memanfaatkan tanggal 10 Muharram yang jatuh pada hari Jumat (28/7/2028) untuk kegiatan berbagi sesama anak yatim dan dhuafa. Kegiatan sosial ini merupakan bagian dari penyaluran program INH yakni “1000 Yatim Dhuafa Berseri” “10 Muharram bagi umat Islam merupakan salah satu hari istimewa, dimana pada hari tersebut banyak peristiwa penting terjadi, kami di Lembaga kemanusiaan juga memanfaatkan momentum ini untuk berbagi sesama anak yatim,” kata Ibnu Hafidz, Manager Program INH saat memberikan sambutan di acara penyaluran program Seribu Yatim Dhuafa Berseri, di kantor INH, Jalan Thata Boulevard II, Cileungsi, Kec. Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ibnu mengatakan, penyaluran program ini merupakan bagian dari rangkain program sosial yang dilakukan oleh INH setiap tahunya. Tidak hanya di kantor INH, penyaluran program tersebut juga dilakukan di beberapa wilayah lainya di Indonesia melalui Sahabat Relawan INH atau (Share INH). “Alhamdulillah untuk hari ini, anak-anak yatim dan dhuafa yang kami undang merupakan anak-anak yang berada disekitar lingkungan kantor INH dan beberapa lembaga atau yayasan anak yatim yang merupakan mitra INH, senyum anak yatim menjadi spirit kami dalam perjuangkan kemanusiaan,” jelasanya. Ibnu juga berterimakasih kepada para donatur yang telah berpartisipasi dan mensukseskan terwujudnya program tersebut. Santunan anak yatim dan Dhuafa ini rencananya akan berlangsung hingga selesainya bulan Muharram atau bulan pertama di kalender hijriah. “Seperti janji Rosulullah Shalallahu Alaihi Wasalam, bahwa barang siapa yang memuliahkan anak yatim maka Allah Subhanahu Wata’ala akan menjajikan surga untuknya,” jelas Ibnu. (Tim Media)