-
NewsINH, Gaza – Setelah 60 serangan udara menargetkan warga di tenda pengungsian dan membakar mereka dalam kondisi hidup-hidup pada Ahad kemarin, kini Israel melanjutkan serangan lebih lanjut, menewaskan puluhan warga di kamp Al Mawasi. Sebanyak 13 dari 21 korban meninggal hari ini di kamp Mawasi adalah wanita atau anak perempuan. Video bermunculan menunjukkan korban-korban meninggal berjatuhan di tanah dan berusaha dievakuasi warga yang juga ketakutan akan ada serangan lanjutan. Aksi parah juga terjadi pada Ahad (26/5) yang membuat setidaknya 45 orang meninggal mayoritas diantaranya terbakar dalam kondisi hidup-hidup, disaksikan keluarga mereka yang tidak bisa membantu karena api yang begitu besar membakar tenda dengan cepat. Video naas ini disaksikan jutaan orang di dunia, memantik protes lebih lanjut masyarakat internasional mengecam tindakan Israel. “Itu adalah malam horor bagi kami,” kata Abdul Rahman Ismail, seorang warga paska kejadian kepada media Al Jazeera, menambahkan suara ledakan terdengar di mana-mana, pesawat tempur terdengar di langit mereka serta drone juga terus mengawasi mereka. Invasi ke Rafah ini juga terjadi di koridor Philadelphi, bukit Al Zarub, sekitar RS Kuwaiti, dan sekitaran Al Awda. Banyak warga terjebak diantara invasi pasukan Zionis ini dan mereka tidak bisa evakuasi kemanapun karena mereka akan ditembaki jika terlihat oleh artileri pasukan Zionis.
-
NewsINH, Gaza – Setidaknya 18 warga Palestina meninggal saat hendak mengambil bantuan yang dijatuhkan dari udara ke Gaza baru-baru ini, 12 diantaranya tenggelam setelah mereka berenang ke Laut Gaza saat mencoba mendapatkan bantuan, mengutip kementerian kesehatan Gaza. Mereka termasuk di antara ratusan orang yang berenang ke laut dekat Pantai As-Sudaniya di Gaza pada Senin setelah paket bantuan diterjunkan ke sana. “Mengapa pihak yang menyalurkan bantuan tidak bisa menyampaikannya melalui penyeberangan?” Muhammad Sobeih, salah satu warga Gaza yang terjun ke laut untuk mendapatkan bantuan, mengatakan kepada Al Jazeera saat itu. “Penyeberangannya lebih aman dan mudah.” Sementara itu, enam warga Palestina lain meninggal terinjak-injak saat massa berebut bantuan makanan di Gaza utara, di mana kelaparan ekstrem merajalela, lapor kantor media Gaza. Kantor media Gaza mengatakan bahwa bantuan yang diberikan melalui udara adalah tindakan yang “kasar” dan “sia-sia” mengingat kondisi seperti kelaparan di Gaza utara, dan menyerukan pembukaan jalur penyeberangan darat yang dapat membawa lebih banyak bantuan dengan cara yang lebih aman dan efisien. Awal bulan ini, setidaknya lima warga Palestina tewas di Gaza utara akibat paket bantuan yang dijatuhkan dari udara menabrak mereka setelah parasutnya gagal dibuka. Hal ini memicu lebih banyak kritik terhadap metode pengiriman bantuan tersebut. Kisah pilu warga Palestina untuk memperoleh makanan bagi diri mereka dan keluarganya terus terdengar. Pagi itu, sebuah pesawat militer membelok di atas reruntuhan Kota Gaza dan menjatuhkan puluhan parasut hitam yang membawa bantuan makanan. Di darat, di mana hampir tidak ada bangunan yang masih berdiri, laki-laki dan anak laki-laki yang kelaparan berlomba menuju pantai di mana sebagian besar bantuan tampaknya telah mendarat. Lusinan dari mereka berdesak-desakan untuk mendapatkan makanan, dengan kerumunan orang yang berkumpul di bukit pasir yang dipenuhi puing-puing. “Orang-orang sekarat hanya untuk mendapatkan sekaleng tuna,” kata Mohammad al-Sabaawi sambil membawa tas yang hampir kosong di bahunya, dan seorang anak laki-laki di sampingnya. “Situasinya tragis, ketika kami sedang dilanda kelaparan. Apa yang bisa kami lakukan? Mereka mengejek kami dengan memberi kami sekaleng kecil tuna.” Kelompok-kelompok bantuan mengatakan hanya sebagian kecil dari pasokan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar kemanusiaan telah tiba di Gaza sejak Oktober karena pengepungan Israel yang sedang berlangsung. Sementara PBB telah memperingatkan akan terjadinya kelaparan di bagian utara wilayah tersebut pada Mei, jika tidak ada intervensi segera sejak militer Israel mencegah bantuan masuk ke wilayah tersebut. Bantuan yang masuk ke Jalur Gaza melalui jalur darat jauh di bawah tingkat sebelum perang, sekitar 150 kendaraan per hari dibandingkan dengan setidaknya 500 truk bantuan sebelum perang, menurut UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina. Ketika warga Gaza semakin putus asa, pemerintah asing beralih menggunakan bantuan udara, khususnya di wilayah utara yang sulit dijangkau, termasuk Kota Gaza. Amerika Serikat, Prancis dan Yordania adalah beberapa negara yang melakukan bantuan via udara kepada orang-orang yang tinggal di reruntuhan kota terbesar di wilayah yang terkepung tersebut. Namun awak pesawat sendiri mengatakan bantuan tersebut tidak cukup. Letnan Kolonel Angkatan Udara AS Jeremy Anderson menyatakan awal bulan ini bahwa apa yang mampu mereka berikan hanyalah “setetes air” dari apa yang dibutuhkan. Operasi udara juga dirusak oleh kematian. Lima orang di darat tewas karena terjatuh dan 10 lainnya terluka setelah parasut tidak berfungsi, menurut seorang petugas medis di Gaza. Seruan meningkat agar Israel mengizinkan lebih banyak bantuan melalui jalur darat, sementara Israel menyalahkan PBB dan UNRWA karena tidak mendistribusikan bantuan di Gaza. “Warga Palestina di Gaza sangat membutuhkan apa yang telah dijanjikan – membanjirnya bantuan. Bukan tetesan. Bukan tetes,” kata Sekjen PBB Antonio Guterres pada Minggu setelah mengunjungi perbatasan selatan Gaza dengan Mesir di Rafah. “Melihat di Gaza, tampaknya empat penunggang kuda perang, kelaparan, penaklukan, dan kematian sedang berlari melintasinya,” tambahnya. Israel telah melancarkan invasi brutal melalui udara dan darat ke Gaza yang telah menewaskan sedikitnya 32.333 orang, menurut kementerian kesehatan di Gaza. Sekembalinya ke rumah di Kota Gaza dengan sedikit uang untuk menghidupi keluarganya, seorang pria Palestina lainnya mengatakan situasi mereka sangat menyedihkan. “Kami adalah warga Gaza, menunggu bantuan, rela mati demi mendapatkan sekaleng kacang – yang kemudian kami bagikan kepada 18 orang,” katanya. Sumber: Al Jazeera/Al Arabiya/ Tempo
-
NewsINH, New York – Majelis Umum PBB kembali menggelar sidang darurat terkait perang di Jalur Gaza, Palestina. Mayoritas anggota PBB memberikan suara dan dukungungan politiknya untuk gencatan senjata di Gaza. Sementara itu AS dan Israel tetap bersikeras menentang resolusi tersebut. Dilansir dari Aljazeera, Rabu (13/12/2023). Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) yang beranggotakan 193 negara telah memberikan suara mayoritas mendukung resolusi yang menyerukan gencatan senjata kemanusiaan di Gaza yang saat ini tengah dilanda perang. Resolusi pada hari Selasa (12/12/2023) kemarin waktu setempat 153 negara anggota PBB memberikan suara mendukung, 23 negara abstain dan 10 negara memberikan suara menentang, termasuk Israel dan Amerika Serikat. Meskipun resolusi ini tidak mengikat, resolusi ini berfungsi sebagai indikator opini global. “Kami berterima kasih kepada semua pihak yang mendukung rancangan resolusi yang baru saja diadopsi oleh mayoritas orang,” kata Duta Besar Arab Saudi untuk PBB Abdulaziz Alwasil dalam sambutannya setelah pemungutan suara. “Ini mencerminkan posisi internasional yang menyerukan penegakan resolusi ini.” katanya. Pemungutan suara tersebut dilakukan ketika tekanan internasional meningkat terhadap Israel untuk mengakhiri serangannya yang telah berlangsung selama berbulan-bulan di Gaza, di mana lebih dari 18.000 warga Palestina telah terbunuh, sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak. Lebih dari 80 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza juga telah mengungsi. Serangan udara yang tiada henti dan pengepungan Israel telah menciptakan kondisi kemanusiaan di wilayah Palestina yang oleh para pejabat PBB disebut sebagai “neraka di bumi”. Serangan militer Israel sangat membatasi akses terhadap makanan, bahan bakar, air dan listrik ke Jalur Gaza. Pemungutan suara pada hari Selasa ini terjadi setelah gagalnya resolusi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) pada hari Jumat, yang juga menyerukan gencatan senjata kemanusiaan. AS memveto usulan tersebut, dan memberikan satu-satunya suara yang berbeda pendapat dan dengan demikian membatalkan pengesahan usulan tersebut. Sementara itu, Inggris abstain. Berbeda dengan pemungutan suara di Majelis Umum PBB, resolusi DK PBB mempunyai kekuatan mengikat. Setelah resolusi DK PBB yang dibatalkan pada hari Jumat, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengambil langkah luar biasa dengan menerapkan Pasal 99 Piagam PBB, yang memungkinkan dia mengeluarkan peringatan tentang ancaman serius terhadap perdamaian internasional. Terakhir kali digunakan adalah pada tahun 1971. Namun pengesahan resolusi PBB yang tidak mengikat pada hari Selasa juga mendapat tentangan dari AS. Baik AS maupun Austria memperkenalkan amandemen resolusi untuk mengutuk serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober, yang menandai dimulainya konflik saat ini. Koresponden Al Jazeera Kristen Saloomey mengatakan negara-negara Arab melihat amandemen ini sebagai upaya mempolitisasi pemilu. Keduanya gagal lolos. “Apa yang kami dengar dari banyak negara adalah kredibilitas PBB dipertaruhkan di sini, bahwa penghormatan terhadap hukum internasional memerlukan penghormatan terhadap upaya kemanusiaan,” kata Saloomey. Duta Besar Mesir untuk PBB Osama Abdelkhalek menyebut rancangan resolusi tersebut “seimbang dan netral”, dan menyerukan perlindungan warga sipil di kedua pihak dan pembebasan semua tawanan. Utusan Israel Gilad Erdan menentang seruan gencatan senjata, dan menyebut PBB sebagai “noda moral” terhadap kemanusiaan. “Mengapa Anda tidak meminta pertanggungjawaban para pemerkosa dan pembunuh anak?” dia bertanya dalam pidatonya sebelum pemungutan suara. “Waktunya telah tiba untuk menyalahkan pihak yang bersalah di pundak monster Hamas.” Pemerintahan Presiden AS Joe Biden dengan tegas mendukung kampanye militer Israel, dengan alasan bahwa Israel harus diizinkan untuk membubarkan Hamas. Namun ketika pasukan Israel menyerang seluruh lingkungan, termasuk sekolah dan rumah sakit, Amerika semakin bertentangan dengan opini internasional. Namun, dalam sambutannya pada hari Selasa, Biden mempertajam kritiknya terhadap sekutu AS tersebut, dengan mengatakan bahwa Israel kehilangan dukungan internasional karena “pemboman tanpa pandang bulu” di Gaza. AS, yang mengkritik keras Rusia atas tindakan serupa di Ukraina, dituduh menerapkan standar ganda mengenai hak asasi manusia. “Dengan setiap langkah yang diambil, AS terlihat semakin terisolasi dari opini arus utama PBB,” Richard Gowan, direktur PBB di International Crisis Group, sebuah LSM, mengatakan kepada Reuters. Sumber: Aljazeera
-
NewsINH, Amman – Raja Yordania Abdullah, mendesak pejabat bantuan PBB dan LSM internasional untuk memberikan tekanan pada Israel agar mengizinkan lebih banyak bantuan ke wilayah Gaza yang terkepung di mana situasi kemanusiaan memburuk. Hal ini diungkapkan oleh kata salah seorang pejabat penting Kerajaan Jordan seperti dikutip dari laporan Reuters, Jumat (1/12/2023). Mereka mengutip penytaraan Raja Jordan pada pertemuan darurat di Amman yang dihadiri para pejabat PBB, kepala organisasi non-pemerintah Barat dan perwakilan donor Arab, bahwa tidak dapat diterima bahwa Israel terus menahan aliran bantuan yang cukup ke daerah kantong padat penduduk, yang menampung 2,3 juta orang. “Karena musyawarah berlangsung secara rahasia seperti yang diminta oleh penyelenggara istana kerajaan,” jelas salah satu delegasi yang diminta tidak menyebutkan identitasnya tersebut. Gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang dibangun atas dasar pembebasan sandera dan tahanan telah memungkinkan lebih banyak bantuan masuk ke Gaza selama enam hari terakhir. Namun pengiriman bantuan termasuk makanan, air, pasokan medis dan bahan bakar masih jauh di bawah jumlah yang dibutuhkan, kata para pekerja bantuan. Karena Israel menolak mengizinkan bantuan apa pun masuk melalui perbatasannya, pasokan telah diterbangkan dan dikirim ke Semenanjung Sinai di Mesir untuk dikirim ke Gaza melalui perbatasan Rafah. Pekerja Bulan Sabit Merah menurunkan dan menyortir kiriman bantuan terbaru di Bandara Al Arish di Sinai utara pada hari Kamis, dan seorang reporter Reuters melihat antrean panjang truk kontainer dan truk bak datar mengantri di sisi jalan menuju Rafah. Israel memulai pemboman tanpa henti di Gaza sebagai tanggapan atas serangan kelompok pejuang kemerdekaan Palestina Hamas di Israel selatan pada tanggal 7 Oktober, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera lebih dari 200 orang. Otoritas kesehatan Gaza, yang dianggap dapat diandalkan oleh PBB, mengatakan lebih dari 15.000 orang dipastikan meninggal dunia dalam serangan Israel, sekitar 40 persen di antaranya adalah anak-anak, dan lebih banyak lagi yang dikhawatirkan tewas dan hilang di bawah reruntuhan. Sementara itu, Kepala bantuan PBB, Martin Griffiths, dan pejabat senior UNRWA yang menghadiri konferensi Amman mengatakan kepada para delegasi bahwa sangat penting bagi Israel untuk membuka kembali perbatasan Kerem Shalom yang, sebelum perang, menangani lebih dari 60 persen muatan truk yang masuk ke Gaza. “Inilah yang akan membuat perbedaan nyata” kata kepala sebuah LSM terkemuka di Barat, yang skeptis bahwa Israel akan menyetujui tindakan tersebut sebelum mengakhiri kampanyenya untuk membasmi Hamas. Ia menjelasakan, kemacetan dan keterbatasan kapasitas di Rafah Crossing berarti tidak dapat menangani lebih dari 200 truk setiap hari. Direktur Komunikasi UNRWA, Juliette Touma, badan bantuan PBB yang memberikan bantuan kepada Palestina mengatakan, truk-truk yang membawa bantuan melalui Rafah harus terlebih dahulu melalui inspeksi Israel di Persimpangan antara Nitzana di Israel dan Al-Awja di Mesir, untuk memastikan hanya pasokan bahan bakar terbatas yang diizinkan dan mencegah masuknya barang-barang penggunaan ganda. Kontrol Israel atas jumlah dan jenis barang yang memasuki Gaza telah membatasi upaya bantuan, dan penerimaan pasokan bahan bakar yang terbatas telah menghambat pemulihan sistem kesehatan, menurut pekerja kesehatan dan bantuan. Pengemudi truk di perbatasan Mesir mengatakan mereka terkadang harus menunggu berhari-hari di penyeberangan Nitzana sebelum inspeksi selesai. LSM-LSM dan para pejabat PBB juga mendengar permohonan dari Raja untuk mempercepat pengiriman bantuan ke bagian utara Gaza, di mana Israel telah berupaya untuk mendorong penduduknya ke selatan, namun lebih dari 700.000 orang masih bertahan di sana, kata seorang delegasi. PBB mengatakan akses ke Gaza utara masih terbatas dan sebagian besar fasilitas produksi air di sana masih ditutup karena kekurangan bahan bakar, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan dehidrasi dan penyebaran penyakit dari sumber air yang tidak aman. Sumber: Memo
-
NewsINH, Gaza – Bantuan kemanusiaan terus berdatangan masuk ke Jalur Gaza, Palestina. Bulan Sabit Merah Palestina mencatat setidaknya ada 76 truk bantuan yang telah masuk ke wilayah Gaza. Namun, sangat disayangkan bahan bakar yang menjadi kebutuhan paling urgen masih belum diperbolehkan masuk ke dalam wilayah tersebut. “Sudah ada sekitar 76 truk bantuan telah memasuki Jalur Gaza melalui perbatasan Mesir-Gaza di Rafah pada hari Ahad kemarin,” kata Perhimpunan Bulan Sabit Merah Palestina, seperti dilansir dari republika. Organisasi kemanusiaan tersebut mengatakan truk-truk itu mengangkut pasokan penting ke daerah kantong Palestina tersebut, termasuk obat-obatan, pasokan medis, makanan, air, dan bahan bantuan lainnya. “Untuk bantuan berupa bahan bakar otoritas Israel belum mengizinkan masuk ke Jalur Gaza,” imbuhnya. Sejauh ini, 980 truk bantuan telah memasuki daerah tersebut sejak 21 Oktober. Selama lebih dari sebulan, tentara Israel menyerang semua bagian Jalur Gaza, sementara operasi daratnya fokus mengisolasi bagian utara dan memperbesar kehadiran militernya di sana. Israel melancarkan serangan udara dan darat tanpa henti ke Jalur Gaza, termasuk rumah sakit, tempat tinggal dan rumah ibadah, sejak kelompok perlawanan Palestina Hamas meluncurkan serangan lintas batas pada 7 Oktober. Sejak itu, jumlah korban tewas akibat serangan Israel melampaui 11.100 orang, termasuk lebih dari 8 ribu anak-anak dan perempuan, kata kantor media pemerintah di Gaza pada Ahad. Sementara itu, dari data resmi Israel, jumlah korban tewas di Israel hampir 1.200 orang. Hingga kini, serangan di wilayah jalur Gaza, masih terus berlangsung dan belum adanya tanda-tanda adanya gencatan senjata antar kedua belah pihak. (****)