Genosida Berlanjut, Stok Pangan Menipis Gaza Terancam Kelaparan

Genosida Berlanjut, Stok Pangan Menipis Gaza Terancam Kelaparan

NewsINH, Gaza – Organisasi internasional memperingatkan bahwa kelaparan kembali terjadi di Jalur Gaza karena stok makanannya mulai habis. Bantuan makanan yang tersisa di Gaza disebut hanya cukup untuk dua minggu ke depan.

Komisaris Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini membenarkan bahwa tidak ada bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza selama lebih dari tiga minggu, dan menekankan bahwa ini adalah periode terpanjang di Jalur Gaza tanpa pasokan apa pun sejak perang dimulai.

Menurut Aljazirah Arabia, Lazzarini menambahkan bahwa orang tua tidak dapat menemukan makanan untuk anak-anak mereka, dan pasien tidak memiliki obat-obatan, sementara kelaparan meningkat, ancaman penyakit membayangi, dan pemboman Israel terus berlanjut.

Menurut Lazzarini, lebih dari 140.000 orang terpaksa mengungsi karena perintah evakuasi yang dikeluarkan militer Israel.

Komisaris Jenderal UNRWA meminta Israel untuk mencabut blokade dan membuka kembali penyeberangan untuk memungkinkan aliran bantuan kemanusiaan dan pasokan komersial secara teratur, menekankan perlunya menghentikan pemboman, membebaskan semua tahanan, dan memperbarui gencatan senjata.

Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan bahwa sisa bantuan pangan di Gaza hanya cukup untuk dua minggu, karena kelaparan kembali mengancam Jalur Gaza dengan dimulainya kembali operasi militer Israel.

Program PBB mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis bahwa mereka hanya memiliki “kira-kira 5.700 ton stok makanan di Gaza,” yang memungkinkan mereka untuk mendistribusikan paket makanan, tepung, dan makanan hangat “selama maksimal dua pekan.”

Program ini juga memperingatkan bahwa “ratusan ribu orang di Gaza sekali lagi menghadapi risiko kelaparan dan kekurangan gizi yang parah karena stok bantuan pangan di Jalur Gaza semakin berkurang dan perbatasan tetap tertutup untuk bantuan kemanusiaan.” Mereka mencatat bahwa perluasan aktivitas militer di Gaza sangat mengganggu dan menghambat operasi bantuan pangan serta membahayakan nyawa pekerja bantuan setiap hari.

Sementara itu, Komisaris Tinggi PBB untuk Urusan Kemanusiaan mengatakan bahwa Israel menolak 40 dari 49 permintaan koordinasi antara tanggal 18 dan 24 Maret. Komisi tersebut menambahkan bahwa Israel telah menghalangi tugas-tugas penting seperti mengumpulkan pasokan penting atau memasok bahan bakar ke toko roti.

Hal ini terjadi ketika hakim Mahkamah Agung Israel dengan suara bulat menolak petisi organisasi hak asasi manusia untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Jalur Gaza. Para hakim menjawab dengan mengatakan, “Israel tidak berkewajiban untuk mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan yang luas dan tidak terbatas ke Gaza, karena Israel berada di tengah perang dan berkewajiban untuk mempertahankan kedaulatan, keamanan, dan kepentingan nasionalnya.”

Para hakim menambahkan bahwa “Israel tidak berkewajiban untuk mengizinkan penggunaan ganda bantuan ke Gaza yang bisa jatuh ke tangan musuh dan digunakan dalam perang melawannya.” Mereka juga menekankan bahwa “tentara Israel melakukan segala dayanya untuk membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza, dengan risiko kemungkinan jatuh ke tangan Hamas.”

Mereka mencatat bahwa pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk memutuskan bentuk dan volume bantuan kemanusiaan yang masuk ke Jalur Gaza. Mereka mengatakan bahwa organisasi hak asasi manusia mengklaim dalam petisi mereka bahwa Israel berkewajiban mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza berdasarkan hukum internasional dan Israel.

Situasi di Gaza memburuk setelah Israel menutup perlintasan pengiriman bantuan kemanusiaan pada 2 Maret, sebagai upaya menekan Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) agar membebaskan sandera di Gaza. Pada tanggal 18, tentara Israel melanjutkan pemboman dahsyat di Jalur Gaza dan kemudian melakukan operasi darat, dua bulan setelah perjanjian gencatan senjata disepakati di Gaza.

 

Sumber: Republika

Pray For Myanmar: Dahsyatnya Gempa Hingga Tewaskan144

Pray For Myanmar: Dahsyatnya Gempa Hingga Tewaskan144

NewsINH, Myanmar – Gempa bumi dahsyat yang mengguncang Myanmar tak hanya merusak bangunan dan infrastruktur lainya. Akan tetapi dahsyatnya gempa tersebut juga meninggalkan duka yang mendalam bagi sanak-keluarga yang ditinggalkan. Tercatat sebanyak 144 jiwa terkonfirmasi meninggal dunia akibat bencana tersebut.

Dilansir dari sejumlah media, jumlah korban tewas akibat gempa bumi di Myanmar, Jumat, bertambah jadi 144 sementara sedikitnya 732 orang terluka, kata pemimpin junta Min Aung Hlaing.

“Peningkatan jumlah kematian dan jumlah korban luka diperkirakan masih akan terjadi. Bangunan-bangun runtuh di banyak tempat, jadi kami masih melakukan operasi penyelamatan di gedung-gedung ini,” kata Min Aung Hlaing dalam pidatonya kepada rakyat Myanmar.

Myanmar akan berterima kasih atas bantuan dari negara mana pun menyusul dampak gempa ini, katanya menambahkan.

Gempa bermagnitudo 7,7 mengguncang Myanmar bagian tengah pada Jumat. Getaran gempa juga terasa hingga ke negara tetangga Thailand dan China.

Junta, yang mengambil alih pemerintahan sipil di Myanmar pada 2021, telah mengumumkan keadaan darurat sebagai tanggapan atas bencana tersebut.

Menurut laporan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), terjadi gempa susulan berkekuatan 6,4 magnitudo setelah 12 menit gempa pertama.

Gempa itu terjadi pada kedalaman sekitar 10 kilometer, dengan guncangan kuat di dekat Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar.

Saksi mata melihat beberapa bangunan runtuh di Mandalay, sementara sebuah masjid di wilayah tengah negara itu, Bago, runtuh sebagian dan menewaskan belasan korban.

Guncangan pertama disusul oleh gempa susulan berkekuatan 6,4 magnitudo 12 menit kemudian, menurut laporan US Geological Survey.

Di Bangkok, satu orang tewas dan 43 lainnya terjebak di dalam gedung bertingkat yang masih dalam tahap konstruksi di distrik Chatuchak, seperti dilaporkan Thai PBS.

Di Myanmar, sebuah biara di kota Taungoo juga runtuh, menewaskan lima anak pengungsi, menurut laporan Eleven Media Group.

Setidaknya 20 orang meninggal saat gempa mengguncang Masjid Shwe Pho Shing di wilayah Mandalay saat ibadah salat Jumat berlangsung, sebagaimana dilaporkan Khit Thit Media.

“(Masjid) itu runtuh saat kami sedang beribadah. Sekitar tiga masjid ambruk. Ada orang yang terjebak. Saat ini, setidaknya 20 orang telah meninggal, dan jumlah korban bisa bertambah. Masjid Shwe Pho Shing juga runtuh,” ujar seorang petugas penyelamat.

Upaya evakuasi terhadap para korban yang masih terperangkap terus dilakukan.

Selain itu, Jembatan Ava yang bersejarah di Mandalay dilaporkan runtuh akibat gempa, sementara Istana Mandalay juga mengalami kerusakan.

Saluran televisi pemerintah MRTV, melalui kanal Telegramnya, mengutip pernyataan dari Dewan Administrasi Negara bahwa Komite Nasional Penanggulangan Bencana telah menetapkan status darurat di wilayah yang terdampak gempa, termasuk Sagaing, Mandalay, Magway, Negara Bagian Shan bagian timur laut, Naypyidaw, dan Bago.

Di Thailand, otoritas setempat juga menetapkan Bangkok sebagai “zona darurat” akibat gempa, menurut laporan Thai PBS News. Bursa Efek Thailand menghentikan aktivitas perdagangan akibat gempa tersebut, seperti dilaporkan Thai Enquirer.

Sementara itu, sebuah rumah sakit utama di ibu kota Myanmar, Naypyidaw, dilaporkan menerima banyak korban luka.

Gempa yang terjadi pada kedalaman 10 kilometer ini juga mengganggu komunikasi seluler di wilayah terdampak.

Foto-foto yang dibagikan media lokal menunjukkan bangunan dan jalan mengalami kerusakan akibat guncangan dahsyat tersebut. Getaran gempa juga terasa hingga ke negara-negara tetangga.

 

Sumber: Anadolu/Sputnik-OANA/Antara

 

Takjil On The Road, INH dan PPI Tunisia Sebar Kebahagiaan di Bulan Ramadan

Takjil On The Road, INH dan PPI Tunisia Sebar Kebahagiaan di Bulan Ramadan

NewsINH, Tunisia – Bulan ramadan merupakan salah satu bulan yang dipercayai umat Islam untuk perbanyak berbuat kebaikan salah satunya adalah berbagi untuk sesama. Lembaga kemanusiaan International Networking for Humanitarian (INH) bekerjsama dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia meluncurkan proyek sosial bertajuk “Takjil On The Road” yang bertujuan membagikan takjil kepada masyarakat kurang mampu di Tunisia.

“Alhamdulillah kegiatan sosial kita yakni Takjil on The Road  yang bekerjasama dengan INI telah kami laksanakan tepatnya pada hari Senin 24 Maret 2025 di beberapa titik strategis di ibu kota Tunis, yakni di kawasan padat penduduk seperti Rue Sidi El Bechir, Av de La Gare, Rue de Belgique, Av. Habib Bourguiba, Av. Jean Jaures, dan Rue de Turquie,” kata Hendro Alfansyah Ketua Panitia Ramadan PPI Tunisia

Menurutnya, kegiatan yang diinisiasi oleh mahasiswa Indonesia di Tunisia ini menyasar 50 orang penerima manfaat, terdiri dari anak yatim, keluarga miskin, dan tunawisma. Pembagian takjil dilakukan untuk membantu mereka yang kurang mampu, memberikan perhatian di tengah kesibukan dan perjuangan mereka sehari-hari.

“Takjil On The Road bertujuan tidak hanya untuk menyediakan makanan berbuka bagi mereka yang membutuhkan, tetapi juga mempererat hubungan sosial antara masyarakat dan mahasiswa Indonesia di Tunisia. Kegiatan ini diharapkan bisa menumbuhkan rasa empati, kepedulian, dan solidaritas, serta memberi dampak positif yang berkelanjutan,” katanya.

Melalui aksi berbagi  ini, lanjut Hendro dihjarapkan dapat memberikan sedikit kebahagiaan kepada masyarakat yang kurang mampu, serta mempererat tali persaudaraan dengan warga Tunisia.

Dengan total anggaran sebesar TND 1,121.26, kegiatan ini meliputi pembelian bahan makanan untuk takjil, serta biaya promosi seperti banner dan stiker untuk mendukung pelaksanaan acara. Pembagian takjil termasuk makanan seperti yogurt, keju, susu, syurbah, dan brownies, yang disalurkan langsung kepada penerima manfaat,” jelasnya.

Salah seorang penduduk lokal di Tunisia atau penerima manfaat dalam program berbagi ini menyambut  positif. Banyak yang menyampaikan terima kasih dan doa penuh haru kepada para panitia dan donatur yang telah membantu mereka. Takjil yang diberikan tidak hanya memenuhi kebutuhan berbuka puasa, tetapi juga memberikan rasa perhatian dan kepedulian yang mendalam.

“Takjil ini sangat berarti bagi kami. Kami merasa diperhatikan dan ini memberi kami semangat untuk terus menjalani kehidupan,” ujar salah satu penerima takjil yang merasa terharu.

Takjil On The Road membuktikan bahwa aksi sosial sederhana bisa memiliki dampak besar, terutama bagi mereka yang sedang membutuhkan. Selain memberikan kebahagiaan, kegiatan ini juga menjadi simbol solidaritas dan kepedulian di bulan Ramadan. Ke depan, Panitia Ramadhan PPI Tunisia berharap bisa mengoptimalkan kegiatan ini dengan memperluas distribusi, berinovasi dalam pemberian takjil, dan bekerja sama dengan lebih banyak pihak untuk memperluas manfaatnya. (***)


Dengan semangat berbagi dan kepedulian, Takjil On The Road menjadi contoh nyata bagaimana sedikit perhatian bisa membuat perbedaan besar bagi sesama.

Ramadan Care 2025, INH dan PPI Suriah Berbagi untuk Pengungsi Palestina di Damaskus

Ramadan Care 2025, INH dan PPI Suriah Berbagi untuk Pengungsi Palestina di Damaskus

NewsINH, Damaskus – Lembaga Kemanusiaan International Networking for Humanitarian (INH) berkolaborasi dengan PPIDK Timtengka (kawasan Timur Tengah dan Afrika) dan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Suriah menggelar acara Ramadan Care yang bertajuk ‘Hidangan Kebaikan Suriah’ bersama dengan ratusan warga Palestina yang ada di pengungsian Yarmuk, Damaskus, Suriah.

Kegiatan berbagi ini berlangsung pada hari Minggu (23/3/2025)  atau yang bertepatan dengan 23 Ramadan 1446 Hijriyah. Dimana pada hari tersebut juga bertepatan dengan hari spesial bagi PPI Suriah yakni Hari Ulang Tahun (HUT) PPI Suriah yang telah memasuki usia setengah abad.

Haikal Ramdani Usemahu, selaku ketua panitia PPI Suriah Ramadan Care 2025, menyampaikan dalam sambutannya bahwa ‘hubungan Indonesia dan Palestina sangat dekat. Bahkan kami sebagai orang Indonesia tidak memandang kalian kecuali dengan perasaan cinta dan kasih sayang yang mendalam. Kami sangat senang dengan pertemuan seperti ini, Ibarat seperti bertemu dengan saudara yang lama tidak berjumpa.

Haikal merinci, acara ini diikuti kurang lebih sekitar 235 warga Palestina juga warga Suriah dari segala lapisan usia, dari mulai anak-anak hingga orang tua.

“Semuanya nampak sumringah dalam kegiatan yang berlangsung kurang lebih 2 jam ini. Sebelum ifthar bersama, ada beberapa rangkaian kegiatan yang tak kalah menarik, salah satunya dengan games tebak-tebakan seputar agama, hafalan Al qur’an, dan juga tentang Indonesia. Semuanya sahut menyahut saling ingin menjawab,” kata Haikal.

Menurutnya, momentum ramadan merupakan waktu yang sangat tepat untuk kegiatan amal termasuk berbagi kebahagiaan dengan warga Palestina yang mengungsi di Suriah akibat akibat penjajahan zionis Israel.

“Semoga kolaborasi ini bisa terus terjalin dan kami selaku warga Indonesia di Suriah sangat berterimakasih kepada para donatur INH semoga amal kebaikan kalian dibalas berkalilipat oleh Allah Subhanahu Wata’ala,” harapnya.

Sementara itu, Dalam sesi akhir Ketua Umum PPI Suriah, Akmal Fadlurrahman, mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah ikut menyukseskan acara ini, dan berharap acara-acara yang memberikan manfaat bagi sesama ini bisa terus ada kedepannya.

“Kerja sama PPIDK Timtengka dan INH dengan PPI Negara, tidak hanya dengan PPI Suriah saja, namun ada beberapa negara lain, seperti Yordania, Yaman, Pakistan, Tunisia, Maroko, sebagai wujud kepedulian dalam menyediakan Ifthar Ramadan bagi umat Muslim yang membutuhkan,” pungkasnya. (***)

“Jangan Berhenti Bicara Tentang Gaza” jadi Pesan Terakhir Jurnalis Al-Jazeerah Sebelum Dibunuh Israel

“Jangan Berhenti Bicara Tentang Gaza” jadi Pesan Terakhir Jurnalis Al-Jazeerah Sebelum Dibunuh Israel

NewsINH, Gaza – Di tengah perang yang terus berkecamuk di Gaza, wartawan Al Jazeera Mubasher Hossam Shabat, menjadi suara kuat yang menceritakan penderitaan rakyatnya di saat-saat berbahaya, mengarahkan kameranya ke arah yang coba disembunyikan Israel.

Pemuda di usia yang masih belia ini memilih berada di garis depan dunia jurnalistik. Ia mendokumentasikan setiap serangan, setiap tetes darah, untuk mengungkapkan kepada dunia apa yang terjadi di Gaza.

Sebelum syahid, ia meninggalkan sebuah wasiat yang beredar luas di media sosial, di mana ia dengan tegas meminta agar penderitaan penduduk Gaza terus diliput. Dalam wasiatnya, ia menulis:

“Jika kalian membaca ini, itu berarti saya telah terbunuh, kemungkinan besar menjadi target oleh pasukan pendudukan Israel.”

Ia melanjutkan bahwa selama 18 bulan terakhir, ia mendedikasikan setiap momen hidupnya untuk rakyatnya.

“Saya mendokumentasikan kengerian di Gaza Utara dari menit ke menit, bertekad untuk menunjukkan kepada dunia kebenaran yang mereka coba kuburkan,” lanjutnya.

Ia menambahkan bahwa ia tidur di trotoar, di sekolah, di tenda, di mana pun dia bisa. Baginya, setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup.

“Saya menahan lapar selama berbulan-bulan, tetapi saya tidak pernah meninggalkan rakyat saya. Sekarang, akhirnya saya beristirahat, sesuatu yang tidak pernah saya kenal selama 18 bulan terakhir,” imbuhnya.

Dalam wasiatnya, ia meminta untuk tidak berhenti bicara tentang Gaza.

“Jangan biarkan dunia berpaling darinya. Teruslah berjuang, teruslah menceritakan kisah kami, hingga Palestina Merdeka,” tegasnya.

Ia menutup wasiatnya dengan sebuah tanda tangan dan pesan singkat.

“Untuk terakhir kalinya, Hossam Shabat, dari Gaza Utara,” tutupnya.

Masalah waktu

Hossam Shabat lahir pada 10 Oktober 2001 di kota Beit Hanoun, Gaza Utara, dan tumbuh dalam keluarga terhormat. Ia belajar jurnalisme di Universitas Ilmu Terapan Gaza.

Sejak kecil, ia sudah menekuni dunia jurnalistik. Pada tahun 2016, saat berusia 14 tahun, ia mendirikan platform “Media Beit Hanoun” di media sosial untuk membahas kota kelahirannya dan mengangkat permasalahannya.

Menurut saudaranya, Salah, sejak kecil, Hossam mencintai jurnalisme.

“Dia adalah orang yang berinisiatif dan selalu berusaha membuktikan dirinya. Setelah belajar jurnalisme di universitas, dia mulai bekerja dengan berbagai kantor berita lokal,” kata Salah.

Selama perang yang dimulai Israel pada 7 Oktober 2023, Hossam bekerja sebagai koresponden lepas untuk banyak kantor berita internasional dan saluran televisi Arab, hingga akhirnya menjadi wartawan tetap Al Jazeera Mubasher.

“Setelah menerima ancaman dari Israel, dia tahu bahwa mereka akan segera menargetkannya. Kami sebagai keluarga juga yakin bahwa itu hanya masalah waktu. Namun, kami tetap bersyukur kepada Allah atas segala hal,” ungkapnya dengan keyakinan bahwa Hossam akan syahid.

Mengenai sifatnya, Salah menambahkan bahwa Hossam adalah orang yang sangat dermawan.

“Ini adalah salah satu sifat paling menonjol darinya. Bahkan di saat-saat terakhirnya, dia masih memikirkan orang lain. Salah satu wasiatnya kepada kami adalah: ‘Jagalah orang-orang.’ Sebelum syahid, dia juga meminta kami untuk membelikan obat bagi seorang pasien,” kenangnya.

Dekat dengan masyarakat

Wartawan Al Jazeera di Gaza, Mohammad Qreiqa, berbicara tentang rekannya yang syahid itu.

“Saya mengenal Hossam sejak awal perang. Meskipun karier jurnalistiknya singkat—usianya baru 23 tahun—dampaknya sangat besar,” katanya.

Ia menambahkan bahwa Hossam berhasil menjangkau dunia Arab dan internasional melalui rekaman-rekaman yang ia ambil saat serangan Israel. Saat pertama kali orang-orang mengungsi, dan saat pelanggaran Israel terjadi.

“Dengan kameranya, Hossam menangkap penderitaan orang-orang di kamp pengungsian dan pusat penampungan, sepenuhnya selaras dengan penderitaan mereka. Inilah yang membuatnya memiliki basis dukungan yang besar,” imbuhnya.

Menurutnya, Hossam selalu berada di antara warga, saat mereka mengungsi, terkena serangan, dan saat menghadapi kematian.

“Dia menghasilkan banyak laporan yang disiarkan di Instagram dan Al Jazeera Mubasher,” tuturnya.

Qreiqa menekankan bahwa Hossam menghadapi banyak bahaya dalam pekerjaannya, tetapi tetap bertahan.

“Dia tidak pernah mundur. Keberaniannya luar biasa. Dia selalu menjadi orang pertama yang tiba di lokasi serangan untuk mendokumentasikan momen-momen pertama agresi Israel,” ungkap Qreiqa.

Ia menyimpulkan bahwa Hossam melihat jurnalisme sebagai misi, bukan sekadar pekerjaan. Hossam tidak hanya merekam penderitaan orang, tetapi juga membantu mereka secara langsung.

“Ia membawa air, membantu mereka mengangkut barang-barang mereka. Baginya, ini adalah tugas rakyat yang tertindas, bukan hanya profesi,” kenangnya.

Pahlawan momen pertama

Rekannya, jurnalis Yousef Faris, mengenang momen terakhir mereka bersama.

“Hossam memiliki keberanian yang luar biasa, hampir sembrono, tetapi juga kesederhanaan yang mendekati kepolosan seorang anak,” ujarnya.

Faris mengatakan kepada Al Jazeera Net bahwa Hossam adalah remaja yang polos, baik dalam hati, wajah, maupun tindakannya. Baginya, Hossam seperti anak kecil yang besar.

“Tetapi dia begitu berani, bahkan terlalu berani. Kami sering memintanya untuk lebih berhati-hati, tetapi dia tidak mengenal rasa takut,” imbuhnya.

Berkali-kali, lanjut Faris, Hossam tiba di lokasi tepat ketika rudal kedua jatuh. Hossam nyaris syahid beberapa kali, tetapi dia tidak pernah berhenti.

Ia menambahkan bahwa Hossam sangat dicintai oleh rekan-rekannya.

“Kami seperti keluarga. Kami sering memohon kepadanya untuk menjaga dirinya, tetapi dia terlalu mencintai jurnalisme. Dia menemukannya sebagai panggilan jiwa. Saat kami mundur karena takut, dia justru maju untuk meliput,” katanya.

Meskipun masih muda dan dengan pengalaman terbatas, kata Faris, Hossam berhasil mengukir tempat penting bagi dirinya sendiri.

“Semua media yang pernah bekerja dengannya tahu bahwa mereka tidak bisa kehilangannya, karena dia mengisi celah yang tidak bisa diisi orang lain—yaitu meliput momen pertama dan gambar pertama,” tegasnya.

Menurutnya, jika ada pengungsi, Hossam ada di antara mereka. Jika ada korban luka, Hossam ada di tengah mereka. Jika mobil pemadam kebakaran berangkat, Hossam ikut serta.

“Allah menganugerahkan Hossam dengan penerimaan yang besar dari masyarakat karena kesederhanaan dan keasliannya. Dia mirip dengan rakyatnya, dengan tanahnya, dan dengan mereka yang hidup di atasnya,” tutup Faris mengakhiri ceritanya.

Selamat jalan kawan, dedikasi dan baktimu untuk menyuarakan kebenaran di Gaza akan menjadi amal kebaikan yang tak bisa dibayarkan dengan uang, semoga Allah Subahanahu Wata’ala membalas semua kebaikan

 

Sumber: Gazamedia

PBB Catat Jumlah Anak Diamputasi di Gaza Terbanyak di Dunia

PBB Catat Jumlah Anak Diamputasi di Gaza Terbanyak di Dunia

NewsINH, Gaza – Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan menyatakan bahwa Jalur Gaza, Palestina memiliki kelompok anak-anak dengan amputasi terbesar dalam sejarah modern.

Ketua Program Disabilitas di Asosiasi Bantuan Medis menegaskan bahwa bantuan bagi anak-anak dengan amputasi selama gencatan senjata hanya mencakup 20% dari kebutuhan.

Ia juga menambahkan bahwa Israel melarang masuknya bahan untuk pembuatan anggota tubuh buatan dengan alasan dapat digunakan untuk tujuan militer.

Asosiasi Bantuan Medis adalah lembaga amal Inggris yang menyediakan layanan medis di Tepi Barat yang diduduki, Jalur Gaza, dan Lebanon.

Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, sejak melanjutkan perang genosida pada 18 Maret lalu, 730 warga Palestina telah syahid dan 1.367 lainnya terluka. Sebagian besar adalah anak-anak dan wanita.

Dengan dukungan Amerika Serikat (AS), Israel telah melakukan genosida di Gaza sejak 7 Oktober 2023. Akibatnya, sebanyak lebih dari 163.000 warga Palestina syahid dan terluka, sebagian besar adalah anak-anak dan wanita, serta lebih dari 14.000 orang hilang.

 

Sumber: Gazamedia

Israel Pecundang, Diam-Diam Mulai Mengusir Warga Gaza

Israel Pecundang, Diam-Diam Mulai Mengusir Warga Gaza

NewsINH, Gaza – Israel dilaporkan telah memulai tahap pertama pengusiran warga Palestina dari Gaza menuju negara ketiga pada Rabu pekan lalu. Sebanyak 70 warga Gaza yang memiliki kewarganegaraan asing atau memiliki hubungan keluarga di luar negeri diberangkatkan dari Bandara Ramon di Israel selatan dengan pesawat militer Rumania menuju Eropa.

Jerusalem Post melasnir, pihak berwenang Israel mengatakan mereka membantu evakuasi sebagai bagian dari kebijakan emigrasi mereka. Kepergian kelompok tersebut bertepatan dengan operasi militer baru di Gaza dan meningkatnya tekanan internasional untuk mengembalikan bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut.

“Kami bekerja dengan segala cara untuk menerapkan visi presiden AS, dan kami akan mengizinkan setiap penduduk Gaza yang ingin pindah ke negara ketiga untuk melakukannya,” kata Menteri Pertahanan Israel Katz, merujuk pada rencana yang dikembangkan pada masa kepresidenan Donald Trump untuk mendorong pengosongan Gaza.

Kabinet Keamanan Israel menyetujui pembentukan direktorat yang bertugas membantu warga Palestina di Gaza yang ingin pindah ke negara ketiga, sebagai bagian dari inisiatif emigrasi yang lebih luas yang dikembangkan oleh Katz melalui koordinasi dengan Amerika Serikat.

Selama akhir pekan, pemerintah mengkonfirmasi pembentukan Biro Emigrasi Sukarela, yang menurut Katz akan memfasilitasi keberangkatan warga Gaza yang “aman dan diawasi” sesuai dengan hukum Israel dan internasional.

Direktorat tersebut, yang beroperasi di bawah Kementerian Pertahanan, akan berkoordinasi dengan organisasi internasional dan mengelola logistik di penyeberangan yang ditentukan, serta mengawasi infrastruktur transportasi darat, laut, dan udara. Kandidat untuk memimpin kantor tersebut diperkirakan akan segera dilantik.

Menteri Keuangan Bezalel Smotrich telah mengusulkan jangka waktu yang ambisius untuk merelokasi hingga 10.000 warga Gaza per hari sambil menegaskan bahwa kendala anggaran tidak akan menghambat proses tersebut. Kritikus memperingatkan bahwa program ini berisiko menjadi pengungsian paksa, sementara belum ada negara ketiga yang secara terbuka setuju untuk menerima pengungsi dalam jumlah besar.

Pada sesi kabinet yang sama, para menteri menyetujui pemisahan resmi 13 lingkungan di Tepi Barat menjadi pemukiman independen, sehingga meningkatkan ketegangan mengenai kebijakan Israel di wilayah pendudukan.

Kementerian Luar Negeri Mesir mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Komite Kementerian Arab-Islam di Gaza bertemu dengan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Kaja Kallas untuk membahas pengabaian Israel terhadap gencatan senjata dengan Hamas dan tingginya angka kematian warga sipil akibat serangan baru Israel di Gaza.

“Para pihak membahas perkembangan terkini di wilayah Palestina yang diduduki dan menyatakan keprihatinan besar mereka atas gagalnya gencatan senjata di Gaza dan tingginya jumlah korban sipil akibat serangan udara baru-baru ini,” demikian bunyi pernyataan bersama.

“Para pihak mengutuk dimulainya kembali permusuhan dan penargetan warga sipil dan infrastruktur sipil, dan menyerukan segera kembalinya implementasi penuh perjanjian gencatan senjata dan pembebasan sandera dan tahanan, yang mulai berlaku pada 19 Januari dan disponsori oleh Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat.” Pernyataan tersebut juga mengungkapkan keprihatinan atas serangan Israel dan peningkatan aktivitas pemukiman di Tepi Barat yang diduduki.

 

Sumber: Republika

Khianati Gencatan Senjata Israel Bunuh 270 Anak di Gaza

Khianati Gencatan Senjata Israel Bunuh 270 Anak di Gaza

NewsINH, Gaza – Save the Children mengatakan lebih dari 270 anak-anak telah terbunuh dalam sepekan sejak Israel melanjutkan perangnya di Gaza. Serangan belakangan menandai “hari-hari paling mematikan bagi anak-anak sejak perang dimulai”.

“Bom berjatuhan, rumah sakit hancur, anak-anak terbunuh [dan] dunia terdiam,” kata Rachael Cummings, direktur kemanusiaan Save the Children di Gaza dilansir Aljazirah. “Tidak ada bantuan, tidak ada keamanan, tidak ada masa depan.”

Organisasi tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa dimulainya kembali perang adalah “hukuman mati bagi anak-anak Gaza”. Lebih dari 17.900 anak telah terbunuh sejak perang dimulai pada Oktober 2023, menurut Kantor Media Pemerintah Gaza.

“Anak-anak dibunuh saat mereka tidur di tenda, mereka kelaparan dan diserang. Satu-satunya cara untuk memastikan anak-anak dan keluarga terlindungi adalah melalui gencatan senjata yang pasti,” kata Save the Children.

Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan pada Selasa bahwa sejak 18 Maret, IDF telah menewaskan sedikitnya 792 orang dan melukai 1.663 orang. Sehingga total selama 18 bulan terakhir menjadi 50.144 orang tewas dan 113.704 orang terluka. Ribuan lainnya hilang dan diperkirakan meninggal.

Pada Senin, Drop Site News melaporkan bahwa kementerian tersebut merilis dokumen setebal 1.516 halaman yang mencantumkan nama lebih dari 50.000 warga Palestina yang dipastikan terbunuh di Gaza sejak 7 Oktober 2023. Ada total 474 halaman yang mencantumkan lebih dari 15.600 nama anak-anak. 27 halaman pertama mencantumkan nama-nama anak berusia 0-1 tahun.

Selain 876 bayi di bawah usia 1 tahun, Drop Site merinci di media sosial, IDF telah menewaskan sedikitnya 1.686 balita (1-2 tahun), 2.424 anak prasekolah (3-5 tahun), 5.745 siswa sekolah dasar (6-12 tahun), 2.837 remaja muda (13-15 tahun), dan 2.045 remaja tua (16-17 tahun).

Media tersebut mencatat bahwa “jumlah korban ini tidak termasuk kematian yang disebabkan oleh penyebab tidak langsung seperti kelaparan, penyakit, atau ribuan orang yang masih hilang di bawah reruntuhan. Para peneliti mengatakan jumlah korban sebenarnya bisa tiga hingga lima kali lebih tinggi.”

Associated Press melaporkan pada Selasa bahwa “ketika ledakan pertama di Gaza minggu ini dimulai sekitar pukul 01.30 pagi, seorang dokter Inggris yang sedang berkunjung pergi ke balkon sebuah rumah sakit di Khan Younis dan menyaksikan rentetan rudal menyala pada malam sebelum menghantam kota tersebut.”

Dr Sakib Rokadiya kemudian menuju ke bangsal darurat Rumah Sakit Nasser, yang segera dipenuhi orang-orang yang terluka akibat serangan tersebut. “Korban anak demi anak, pasien muda demi pasien muda,” katanya. “Sebagian besarnya adalah perempuan, anak-anak, orang tua.”

Dr Feroze Sidhwa Sidhwa, seorang ahli bedah trauma Amerika dari California yang tergabung dalam badan amal medis MedGlobal, segera bergegas ke area di mana rumah sakit menampung pasien-pasien paling miskin yang masih dianggap mungkin untuk diselamatkan.

Namun gadis kecil pertama yang dilihatnya, berusia 3 atau 4 tahun. sudah terlalu parah lukanya. Wajahnya hancur karena pecahan peluru. “Secara teknis dia masih hidup,” kata Sidhwa, namun dengan banyaknya korban lainnya “tidak ada yang bisa kami lakukan.” Dia memberi tahu ayah gadis itu bahwa putrinya tak bisa diselamatkan. Sidhwa melanjutkan melakukan 15 operasi, satu demi satu.

Ketika Israel sepenuhnya membatalkan gencatan senjata minggu lalu, setelah banyak pelanggaran sejak pertengahan Januari, Ahmad Alhendawi, direktur regional Save the Children, mengatakan bahwa “anak-anak dan keluarga di Gaza hampir tidak dapat bernapas dan kini terjerumus kembali ke dalam dunia bahaya yang sangat familiar sehingga mereka tidak dapat melarikan diri.”

“Serangan udara ini terjadi ketika ratusan ribu warga Palestina masih mengungsi, rumah mereka hancur dan tidak dapat dihuni, dengan tenda-tenda yang menghalangi mereka dan senjata peledak yang dirancang untuk jangkauan luas,” jelasnya.

“Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap senjata peledak. Tubuh mereka yang lebih ringan akan terlempar lebih jauh akibat ledakan, dan tulang mereka lebih lunak dan lebih mudah ditekuk, dengan risiko lebih tinggi mengalami cedera sekunder serta cacat dan cacat jangka panjang. Tubuh mereka yang kecil cepat kehilangan darah—sebuah hukuman mati ketika layanan darurat tidak dapat beroperasi dengan aman dan menjangkau mereka.”

Ia menekankan, anak-anak yang selamat dari serangan gencar ini tidak akan dapat menerima perawatan medis yang memadai atau bahkan obat pereda nyeri dasar. Ini menyusul pembatasan dan penolakan pasokan medis oleh pemerintah Israel serta kebutuhan bahan bakar rumah sakit untuk berfungsi. “Hal ini tidak bisa dibiarkan oleh negara-negara besar di dunia. Ketika anak-anak dibantai secara massal, landasan moral dan hukum umat manusia runtuh. Kita telah melihatnya sendiri: Satu-satunya cara untuk memastikan anak-anak dan keluarga dilindungi sebagaimana diwajibkan oleh hukum internasional adalah melalui gencatan senjata.”

Kantor kemanusiaan PBB, OCHA, mengatakan Israel telah mengeluarkan perintah pengungsian yang mencakup sekitar 15 persen wilayah Gaza, menyebabkan 120.000 warga Palestina mengungsi sejak 18 Maret. Orang-orang di Gaza telah berulang kali mengungsi selama perang karena pejabat Israel terus mengancam untuk mencaplok sebagian wilayah tersebut.

“Sekali lagi, OCHA menekankan bahwa warga sipil harus dilindungi baik mereka pindah atau tinggal. Warga sipil yang berangkat ke wilayah yang lebih aman harus diizinkan kembali sesegera mungkin jika keadaan memungkinkan,” kata badan PBB itu dalam sebuah pernyataan.

“OCHA menegaskan kembali bahwa warga sipil harus dapat menerima bantuan kemanusiaan yang mereka perlukan, dimanapun mereka berada. Semua ini diwajibkan oleh hukum kemanusiaan internasional.”

 

Sumber: Republika

 

Kisah Bocah Gaza Amina Al-Khatib, Seluruh Keluarganya Digenosida Zionis Israel

Kisah Bocah Gaza Amina Al-Khatib, Seluruh Keluarganya Digenosida Zionis Israel

NewsINH, Gaza – Amina Al-Khatib, seorang anak berusia 10 tahun, adalah satu-satunya penyintas dari 2 pembantaian sadis yang dilakukan oleh pendudukan Israel di Kamp Pengusian Nuseirat Palestina yang terletak lima kilometer di timur laut Deir al-Balah. Kamp pengunsgi ini merupakan bagian dari Kegubernuran Deir al-Balah, Jalur Gaza.

Dalam pembantaian pertama, bocah mungil ini kehilangan kedua orang tuanya serta saudara-saudaranya. Beberapa bulan kemudian, pasukan pendudukan Zionis Israel kembali melakukan penyerangan dengan menargetkan rumah neneknya dari pihak ayah, sehingga semua anggota keluarganya gugur tak tersisa.

Amina pun menjadi satu-satunya yang tersisa, membawa kenangan akan tragedi tersebut.

“Saya pikir itu hanya mimpi, dan saudara-saudara saya meletakkan bantal di atas saya. Ketika saya mulai sesak napas, saya berkata, ‘Jika ini mimpi, biarkan saudara-saudara saya mengangkat saya’,” katanya dalam sebuah cuplikan video kesaksiannya.

Itulah awal dari mimpi buruk yang mengubah hidup anak berparas cantik untuk selamanya.

Kisah penderitaan Amina bermula pada 5 Juli 2024, ketika keluarganya memutuskan mengungsi ke Nuseirat demi mencari keamanan setelah meningkatnya serangan udara di daerah mereka.

Pada malam itu, keluarga mereka berkumpul setelah sholat Maghrib.

“Ibu saya berkata, ‘Duduklah bersama saudara-saudaramu dan tonton sesuatu di ponsel.’ Kami berbaring di satu bantal. Tapi tiba-tiba, serangan mendadak dimulai,” kenang Amina.

Saat itu, Amina bersama saudari-saudarinya Layan, Bieda, dan Suwar berada di dalam rumah, sementara ayah, ibu, dan saudara laki-lakinya, Abdurrahman, berada di luar.

Amina tidak menyangka bahwa momen itu akan menjadi awal dari akhir keluarganya di Nuseirat.

Serangan udara menghancurkan segalanya, menewaskan seluruh anggota keluarganya. Kini, Amina sendirian di dunia, memikul kenangan pahit kehilangan mereka untuk selama-lamanya.

Penderitaan Amina menjadi saksi hidup atas pembantaian yang masih menunggu keadilan. Kisahnya menggambarkan kedalaman derita yang dialami anak-anak Palestina di bawah pendudukan.

Amina bukan hanya saksi atas kengerian perang, tetapi juga simbol kekuatan dan ketabahan menghadapi kondisi yang paling mengerikan.

Semoga kelak nanti Amina Al Khatib ini tumbuh dewasa dan menjadi wanita yang tanggu, bisa memikul beban hidupnya, seperti janji Allah Subhanahu Wata’ala “La Yukallifullahu Nafsan Illa Wus’aha”  dimana  Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya.

 

Sumber: Gazamedia

Jumlah Korban Genosida Israel di Gaza Tembus 50 Ribu Jiwa

Jumlah Korban Genosida Israel di Gaza Tembus 50 Ribu Jiwa

NewsINH, Gaza – Korban jiwa akibat serangan dan genosida Israel di Jalur Gaza belum juga berhenti, kian hari jumlahnya terus bertambah. Dalam serangan terbaru Israel sebanyak 41 warga sipil Gaza, Palestina kembali menjadi martir, sehingga jumlah korban yang tercatat sejak Oktober 2023 menjadi 50.021 orang, demikian disampaikan Kementerian Kesehatan pada hari Minggu (23/3/2025) kemarin.

Pernyataan kementerian itu menyebutkan bahwa jumlah korban meninggal dunia termasuk dua jenazah yang ditemukan dari reruntuhan dalam 24 jam terakhir.

Kementerian Kesehatan juga melaporkan bahwa 61 orang yang terluka dipindahkan ke rumah sakit, sehingga jumlah korban luka menjadi 113.274 orang akibat serangan Israel.

“Banyak korban masih terjebak di bawah reruntuhan dan di jalan-jalan, sementara para penyelamat kesulitan untuk mencapai mereka,” tambah pernyataan itu.

Sejak Selasa lalu, lebih dari 700 warga Palestina meninggal dan lebih dari 1.200 lainnya terluka akibat serangan udara mendadak Israel di Gaza, yang menghancurkan kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang mulai berlaku pada Januari 2025 silam.

Pada November lalu, Pengadilan Kriminal Internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Israel juga menghadapi kasus genosida di Pengadilan Internasional untuk Peradilan (ICJ) atas serangannya terhadap wilayah tersebut.

 

Sumber: Gazamedia

Customer Support kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!