-
NewsINH, Gaza – Komisioner Jenderal badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini menyatakan bahwa bencana kelaparan di Jalur Gaza terjadi akibat tindakan yang disengaja melalui blokade bantuan dan serangan sistematis Israel terhadap infrastruktur. “Kelaparan menyebar di Gaza. Kelaparan ini seluruhnya adalah karena tindak manusia. Lebih dari 70 persen ladang tanaman pun hancur,” kata Lazzarini dalam pernyataannya di media sosial yang dipantau pada Kamis (03/10/2024) seperti dikutip dari kantor berita Antara. Ia mengatakan, jumlah warga Gaza yang tidak mendapat bantuan jatah makanan yang mencapai 1 juta orang pada Agustus kemarin, melonjak menjadi 1,4 juta orang pada September. Akibat agresi dan blokade Israel yang menyebabkan kerusakan infrastruktur dan tatanan pemerintahan di Gaza, lebih dari 100 ribu ton pasokan makanan tak bisa masuk, kata dia. Terlebih, kehancuran besar di Gaza memaksa seluruh populasi kawasan tersebut, yang jumlahnya sekitar 2,1 juta orang pada 2023, menggantungkan nasib pada bantuan kemanusiaan dari luar. Lazzarini menyatakan, pembatasan dan penundaan pengiriman bantuan kemanusiaan hanya akan memperburuk kondisi kehidupan pengungsi di Gaza. “Dengan semakin dekatnya musim dingin dan memburuknya kondisi cuaca, kekurangan bantuan kemanusiaan yang layak hanya akan menciptakan penderitaan yang lebih besar lagi,” kata dia. Untuk itu, Komisioner Jenderal UNRWA menegaskan pentingnya gencatan senjata untuk mengakhiri penderitaan rakyat Palestina dan meredakan ketegangan kawasan. Diperlukan kehendak politik dan kepemimpinan yang teguh di antara pihak-pihak berkonflik untuk memastikan semua sandera dibebaskan, titik-titik penyeberangan baru dibuka, dan bantuan kemanusiaan dapat masuk ke Gaza tanpa halangan apapun, ucap dia. “Memilih perdamaian sebagai cara kita untuk maju adalah pilihan para pemberani. Karena itu, inilah waktunya,” kata Lazzarini. Agresi Israel ke Jalur Gaza yang pada 7 Oktober mendatang genap berlangsung selama setahun tersebut telah menyebabkan hampir 41.600 orang tewas, sebagian besar wanita dan anak-anak, serta lebih dari 96.200 lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat. Serangan Israel juga telah membuat hampir seluruh penduduk wilayah tersebut mengungsi di tengah blokade yang menyebabkan kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan yang parah. Sumber: Antara
-
NewsINH, Bogor – Bekas kontraktor intelijen AS Edward Snowden mengutuk serangan ledakan pager terhadap kelompok Hizbullah. Ia mengkritik tajam Israel melalui cuitannya di media sosial X. Snowden menggambarkan tindakan tersebut sebagai ceroboh dan setara dengan terorisme. Unggahan Snowden menyoroti situasi yang serius yang dilakuan oleh Israel. “Apa yang baru saja dilakukan Israel adalah, dengan cara apa pun, tindakan yang gegabah. Mereka meledakkan banyak orang yang sedang mengemudi (maksudnya mobil yang tidak terkendali), berbelanja (anak-anak Anda berada di kereta dorong bayi sambil berdiri di belakangnya di antrean kasir), dan sebagainya. Tidak bisa dibedakan dari terorisme,” katanya di X. Ia juga mengatakan, banyaknya korban tewas dan cedera merujuk pada penggunaan bahan peledak yang ditanam alih-alih malfungsi yang tidak disengaja. “Seiring masuknya informasi tentang alat peledak yang meledak di Lebanon, tampaknya sekarang kemungkinan besar itu adalah bahan peledak yang ditanam, bukan hasil peretasan. Mengapa? Terlalu banyak cedera yang konsisten dan sangat serius. Jika itu adalah baterai yang terlalu panas yang meledak, Anda akan menduga akan lebih banyak kebakaran kecil & kesalahan tembak.” Kelompok perlawanan Islam di Lebanon, Hizbullah, mengatakan Israel sepenuhnya bertanggung jawab atas ledakan pager tersebut. Dalam pernyataan terbarunya, Hizbullah mengonfirmasi bahwa Israel berada di balik serangan siber terhadap Lebanon, yang mengakibatkan ratusan orang terluka dan beberapa orang meninggal dunia di seluruh negeri. Hizbullah berjanji untuk menanggapi agresi Israel dengan cara-cara yang terkadang tidak dapat diperkirakan atau diantisipasi oleh pendudukan. “Musuh yang berbahaya dan kriminal niscaya akan menghadapi hukuman yang setimpal atas serangan keji ini, dengan cara yang sudah diduga maupun tidak diduga,” bunyi pernyataan itu. Jumlah korban tewas akibat ledakan pager Hizbullah mencapai 12 orang, dan ribuan lainnya terluka pada Selasa sore. Sehari kemudian, walkie talkie yang digunakan Hizbullah juga meledak sehingga menyebabkan 20 orang tewas dan ratusan lainnya terluka. Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi menuduh Israel mendorong Timur Tengah ke ambang perang regional. AS, yang membantah terlibat dalam ledakan itu, mengatakan pihaknya tengah mengupayakan diplomasi intensif untuk mencegah eskalasi konflik. Seorang pejabat AS, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan Israel memberi tahu Washington pada hari Selasa bahwa mereka akan melakukan sesuatu di Lebanon. Namun Israel tidak memberikan rincian dan operasi itu sendiri merupakan kejutan bagi Washington, kata pejabat itu. Sumber: Al Mayedeen/ Reuters/ Tempo
-
NewsINH, Gaza – Pasukan Israel telah menyerang lima sekolah di Jalur Gaza hanya dalam delapan hari, menewaskan puluhan orang yang berlindung di sekolah tersebut, menurut pejabat, petugas medis, dan tim penyelamat Palestina. Serangan terbaru pada Minggu menghantam sekolah Abu Oreiban yang dikelola PBB di kamp pengungsi Nuseirat, menewaskan sedikitnya 17 orang dan melukai sekitar 80 orang. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak, kata Pertahanan Sipil Palestina.a Hani Mahmoud dari Al Jazeera, melaporkan dari Rumah Sakit Martir Al-Aqsa Deir el-Balah, tempat beberapa orang yang terluka dibawa, mengatakan bahwa ia melihat wanita dan anak-anak yang mengalami luka bakar parah “menangis kesakitan dan kesakitan” di lantai. “Ini akibat pembakaran bom,” ujarnya. Serangan itu terjadi setelah serangan yang lebih mematikan menghantam tenda-tenda di dekat pintu masuk sekolah al-Awda di Khan Younis pada 9 Juli, menewaskan sedikitnya 29 orang. Dua hari sebelumnya, serangan lain terhadap sekolah Keluarga Kudus yang dikelola gereja di Kota Gaza menewaskan empat orang. Pertumpahan darah di sekolah-sekolah yang menjadi tempat penampungan di Gaza, diklaim Israel menjadi lokasi Hamas, telah menjadi kejadian yang berulang sepanjang agresi kali ini.
-
NewsINH, Yaman – Kelompok Houthi di Yaman kembali melakukan penyerangan terhadap kapal milik Amerika Serikat yang melintasi perairan teluk Aden, Yaman. Hal ini diungkapkan oleh Komando Pusat Amerika Serikat. Dalam sebuah pernyataan pada hari Senin (15/1/2024) kemarin, militer AS mengatakan tidak ada korban luka atau kerusakan signifikan yang dilaporkan dan Gibraltar Eagle yang berbendera Kepulauan Marshall melanjutkan perjalanannya setelah insiden di Teluk Aden. Kelompok pemberontak Yaman mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut. “Semua kapal dan kapal perang Amerika dan Inggris yang terlibat dalam agresi terhadap negara kami dianggap sebagai sasaran musuh,” kata juru bicara militer Yahya Saree. Dia mengatakan bahwa tidak ada serangan AS atau Inggris di Yaman di masa depan yang “tanpa hukuman”. Sebelumnya, badan Operasi Perdagangan Maritim Inggris (UKMTO) mengatakan sebuah kapal terkena rudal dari atas 95 mil laut tenggara Aden, tanpa mengidentifikasi kapal tersebut. Perusahaan Keamanan Maritim Inggris, Ambrey, mengatakan tiga rudal dilaporkan diluncurkan oleh Houthi, dengan dua rudal tidak mencapai laut dan rudal ketiga menghantam kapal curah. Dikatakan bahwa dampak tersebut dilaporkan menyebabkan kebakaran di ruang tunggu, namun kapal curah tersebut tetap berlayar dan tidak ada korban luka di dalamnya. Mereka menilai kapal itu tidak berafiliasi dengan Israel. Serangan terhadap kapal tersebut terjadi kurang dari sehari setelah Houthi meluncurkan rudal jelajah anti-kapal ke arah kapal perusak AS di Laut Merah, kata para pejabat AS. Kelompok Houthi menguasai Yaman bagian barat, termasuk Selat Bab al-Mandeb yang terletak sangat strategis dan penting. Jalur ini mengarah ke Laut Merah dan hingga Terusan Suez. Sejak perang Israel di Gaza dimulai, mereka telah menyerang kapal-kapal di wilayah yang menurut mereka terkait dengan Israel atau menuju pelabuhan Israel. Mereka mengatakan bahwa dengan menyerang kapal-kapal tersebut untuk menekan Israel agar menghentikan serangannya terhadap Gaza dan mengurangi pembatasan pasokan bantuan kemanusiaan bagi penduduk Palestina. Israel telah berperang dengan Hamas, kelompok yang menguasai Gaza, selama lebih dari tiga bulan. Pasukan AS dan Inggris menanggapi serangan Houthi pekan lalu dengan melakukan puluhan serangan udara dan laut terhadap sasaran Houthi di Yaman. Abdel-Malik al-Houthi, pemimpin Houthi, telah berjanji membalas dendam. Pada hari Kamis, ia mengatakan bahwa “setiap serangan terhadap kelompok Houthi di Yaman yang dilakukan oleh Amerika Serikat tidak akan berlangsung tanpa tanggapan.” Dilaporkan dari Washington, DC, Mike Hanna dari Al Jazeera mengatakan bahwa para pejabat AS percaya bahwa setelah serangan pekan lalu, Houthi mempertahankan sekitar tiga perempat dari kapasitas mereka untuk menembakkan rudal dan meluncurkan drone. “Serangan baru-baru ini terhadap kapal barang milik AS tampaknya diluncurkan dari kota Hodeidah, yang menjadi target serangan AS-Inggris dalam beberapa hari terakhir,” kata Hanna. “Jadi, ada peningkatan dalam hal apa yang terjadi situasinya sangat mengerikan dan ini adalah sesuatu yang diawasi dengan sangat ketat oleh intelijen AS.” Omar Rahman, anggota Dewan Urusan Global Timur Tengah, mengatakan serangan satu kali yang menargetkan instalasi Houthi tidak akan mengurangi kemampuan kelompok tersebut atau menghalangi mereka untuk menyerang kapal-kapal di Laut Merah. “Apa yang dilakukan Amerika dan Inggris tidak dapat dibenarkan secara strategis. Hal ini dapat dibenarkan jika Anda melihat apa yang dilakukan Houthi di Laut Merah secara terpisah dari apa yang terjadi di Gaza dan wilayah lainnya,” katanya kepada Al Jazeera. “AS dan Inggris mengabaikan sumber krisis ini, yaitu genosida di Gaza, namun mereka juga membiarkan terjadinya hal tersebut,” kata Rahman. “Mereka berusaha mencegah eskalasi regional yang lebih luas dengan mengambil tindakan militer terhadap titik konflik yang terjadi akibat apa yang terjadi di Gaza.” Sumber: Aljazeera
-
NewsINH, Gaza – Bagi seorang pekerja media yang melaporkan fakta dilapangan tentu menjadi sebuah pengalaman yang tak ternilai harganya. Apalagi melaporkan fakta dan kebenaran dalam sebuah peperangan di medan konflik pertempuran senjata. Pers atau media sejatinya menjadi salah satu entitas yang wajib dilindungi sebagai mana dalam hukum Humaniter Internasional, jurnalis yang bertugas di daerah konflik bersenjata dianggap sebagai warga sipil dan terhindar dari serangan. Lalu bagimana dengan nasib sejumlah pekerja media yang turut serta menjadi korban bankan meninggal dunia disaat melaksanakan tugas peliputan di Jalur Gaza, Palestina. Ancaman dan keselamatan pekerja media menjadi taruhan untuk dapat menyebarkan informasi ke benaran ke berbagai penjuru dunia. Pasalnya, militer Israel secara serampangan dan sporadis menjatuhkan bom dan rudalnya tanpa melihat terlebih dahulu sasaran yang akan menjadi korbanya. The Committee to Protect Journalist (CPJ) mengungkapkan, sebanyak 23 jurnalis telah terbunuh ketika melakukan peliputan konflik Israel-Palestina yang sedang berlangsung. CPJ menyerukan agar jurnalis tak dijadikan target dalam serangan oleh para pihak yang berkonfrontasi. CPJ mengatakan, dari 23 jurnalis yang sudah dilaporkan tewas, sebanyak 19 di antaranya merupakan jurnalis Palestina. Sisanya terdiri dari tiga jurnalis Israel dan satu jurnalis Lebanon. Menurut CPJ, terdapat delapan jurnalis lainnya yang mengalami luka-luka. “CPJ juga menyelidiki sejumlah laporan yang belum dapat dikonfirmasi mengenai jurnalis lain yang terbunuh, hilang, ditahan, disakiti atau diancam, dan mengenai kerusakan pada kantor media dan rumah jurnalis,” kata CPJ, dilaporkan Anadolu Agency, Senin (23/10/2023). Koordinator CPJ Timur Tengah dan Afrika Utara, Sherif Mansour, mengatakan jurnalis adalah warga sipil yang melakukan “pekerjaan penting” selama masa krisis. Oleh karena itu, pihak-pihak yang bertikai tidak boleh menjadikan mereka sasaran.“Jurnalis di seluruh wilayah melakukan pengorbanan besar untuk meliput konflik yang memilukan ini. Semua pihak harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan keselamatan mereka,” ujar Mansour. Organisasi Kantor Berita se-Asia Pasifik (OANA) menekankan perlunya komitmen untuk melindungi jurnalis yang bertugas di wilayah konflik, termasuk Palestina, dalam Konferensi dan Pertemuan Ke-51 Dewan Eksekutif OANA di Istanbul, Turki, Senin (22/10/2023). “Kami mengingatkan bahwa kita harus berkomitmen untuk berupaya memberikan perlindungan dan keamanan kepada semua jurnalis di segala kondisi,” kata Direktur Utama Kantor Berita Anadolu (Turki) Serdar Karagoz dalam sambutannya pada pembukaan konferensi itu. Dia menceritakan bagaimana reporter Anadolu Ali Jadallah dan keluarganya di Jalur Gaza menjadi korban jiwa dalam konflik bersenjata Israel-Palestina. Serdar mengaku telah mengirim surat kepada OANA, Uni Kantor Berita Eropa (EANA), dan Persekutuan Kantor Berita Mediterania (AMAN) untuk memberikan desakan bagi perlindungan jurnalis di kawasan konflik. Sementara itu, salah seorang wartawan lepas bernama Rakan Abdelrahman menceritakan jika dirinya telah mengenakan rompi dengan tulisan Pers dan siap melaporkan pengeboman Israel di Jalur Gaza. Abdelrahman, yang karyanyanya di produksi oleh Middle East Eye dan The National, tidak hanya sekadar meliput sebuah berita namun berpacu dengan waktu dan kematian. Jurnalis Palestina di Jalur Gaza, seperti Abdelrahman, berusaha melawan rintangan dan kematian untuk mengabarkan situasi perang di Gaza ke seluruh dunia di tengah kesulitan yang mengancam pekerjaan mereka. Hingga kini, pesawat-pesawat tempur Israel telah membom wilayah pesisir tanpa henti. Lebih dari lima ribu orang meninggal dunia akibat serangan Israel dan banyak dari mereka adalah anak-anak. Sebanyak 10.859 orang lainnya terluka akibat serangan udara. Kementerian Dalam Negeri Palestina mengatakan, lebih dari seribu jenazah warga Palestina terjebak di bawah reruntuhan bangunan yang dihancurkan oleh bom. Pekan lalu, Israel mengebom menara komunikasi di wilayah yang terkepung dan memutus aliran listrik ke satu-satunya pembangkit listrik di wilayah tersebut. Tindakan ini merupakan bagian dari pengepungan total yang diterapkan Israel sebagai respons terhadap serangan mengejutkan Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023. Pengeboman dan pengepungan telah menyebabkan Jalur Gaza tidak memiliki akses internet atau listrik yang dapat diandalkan. Hal ini membuat pekerjaan jurnalis, yang sudah berisiko dan menantang di zona perang, menjadi semakin sulit. “Karena koneksi internet yang buruk dan pemadaman listrik, kami tidak dapat melaporkan sesuatu secara real-time. Lagipula tidak ada tempat yang layak untuk bekerja,” kata Abdelrahman kepada Aljazirah. Abdelrahman menambahkan, para jurnalis yang mengenakan rompi pers dan helm pelindung tidak luput dari sasaran Israel. “Kami tidak dapat meliput lokasi pembantaian atau bahkan mencapai tempat-tempat yang telah dibom karena takut serangan Israel lainnya akan menargetkan wilayah yang sama,” kata Abdelrahman. “Setiap detik Anda berada dalam bahaya. Rekan-rekan kami telah membayar harga dengan nyawa mereka, seperti Saeed al-Taweel, Mohammed Subh dan Hisham Alnwajha,” ujar Abdelrahman. Ketiga jurnalis yang disebutkan oleh Abdelrahman terbunuh pada 10 Oktober ketika merekam sebuah gedung di Kota Gaza yang akan dibom. Mereka semua berdiri pada jarak yang aman, ratusan meter dari sasaran gedung Hiji. Namun serangan udara malah menghantam gedung lain, yang lebih dekat dengan mereka. Penduduk di Jalur Gaza mengatakan, perang saat ini adalah yang paling ganas dari serangan-serangan sebelumnya dalam 15 tahun terakhir. Setidaknya 1 juta orang telah menjadi pengungsi internal. Abdelrahman mengatakan, selain rasa takut terkena serangan bom, dia juga khawatir dengan keluarga dan keempat anaknya. Abdelrahman mengatakan, sangat sulit bagi anak-anaknya untuk melalui masa perang yang traumatis ini. “Saya memikirkan kondisi psikologis mereka, paparan mereka terhadap perang yang mengerikan ini. Selama perang Israel sebelumnya, mereka masih terlalu muda untuk mengingatnya, namun kini setelah mereka tumbuh besar, sangat sulit bagi mereka dan saya untuk menyaksikan ketakutan yang menyelimuti mereka,” ujar Abdelrahman. Minimnya pasokan listrik membuat ruang gerak para jurnalis di Gaza menjadi terbatas. Mereka tidak dapat leluasa bergerak bebas untuk melaporkan pemboman Israel di seluruh Gaza. “Kami masih meliput berita, namun liputan kami menjadi terbatas. Kami mengetahui di mana serangan udara Israel terjadi ketika korban meninggal dan terluka datang ke rumah sakit. Namun apa yang terjadi dengan serangan di tempat berbeda yang tidak dapat kita capai? Bagaimana kita bisa segera membahasnya?,” ujar Shaheen. Sumber : Aljazeera/Republika