-
NewsINH, Gaza – Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) pada Kamis (24/7) membenarkan bahwa virus polio telah terdeteksi di lokasi pengungsian di seluruh Jalur Gaza. UNRWA sedang berkoordinasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF untuk mengambil langkah yang diperlukan guna mencegah penyebaran virus, kata UNRWA melalui siaran pers. Dalam sebuah laporan, UNRWA menyatakan bahwa Israel telah memerintahkan evakuasi di 83 persen wilayah di Jalur Gaza sehingga menyebabkan sekitar 1,9 juta orang kini hidup dalam kondisi kehausan dan kelaparan. Laporan itu juga menyoroti bahwa 197 anggota staf UNRWA tewas dalam penembakan yang dilakukan Israel di Jalur Gaza, yang menargetkan 189 fasilitas milik UNRWA. Serangan Israel telah mengakibatkan 563 pengungsi tewas dan 1.783 orang lainnya yang berlindung di fasilitas-fasilitas yang dijadikan UNRWA sebagai tempat pengungsian terluka. Sumber: Antara
-
NewsINH, New York – Sekretaris jenderal organisasi hak asasi manusia Amnesty International Agnes Callamard mengecam komunitas global yang berpura-pura seolah-olah krisis di Gaza adalah krisis kemanusiaan dan bukan rekayasa Israel. Hal ini ia sampaikan dalam unggahan ulang badan bantuan pengungsi PBB untuk Palestina (UNRWA) di media sosial X. “Sementara masyarakat internasional sibuk berpura-pura Gaza merupakan krisis kemanusiaan, Israel terus melanggar hukum internasional dengan impunitas total,” katanya merujuk serangan terbaru Israel ke pusat pangan PBB di Gaza, seperti dikutip dari Aljazirah, Kamis (14/3/2024). “Bantuan kemanusiaan dari udara dan pelabuhan bantuan Gaza tidak akan mengatasi pelanggaran-pelanggaran ini. Dan tidak akan mengatasi kelaparan yang sengaja dibuat,” katanya. Dalam laporan di unggahan yang posting ulang Callamard, UNRWA mengatakan satu stafnya tewas dan 22 lainnya terluka dalam serangan pasukan Israel ke pusat distribusi makanan di timur Rafah. “Serangan hari ini terhadap salah satu dari sedikit pusat distribusi UNRWA yang tersisa di Jalur Gaza terjadi ketika persediaan makanan semakin menipis, kelaparan meluas dan, di beberapa daerah, sudah dilanda kelaparan,” kata Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini. “Setiap hari, kami membagikan koordinat semua fasilitas kami di seluruh Jalur Gaza kepada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Tentara Israel menerima koordinat fasilitas ini kemarin,” tambahnya. Sejak perang dimulai lima bulan yang lalu, UNRWA berulang kali menjadi sasaran serangan Israel dalam skala yang belum pernah terjadi di konflik lainnya di seluruh dunia. Lembaga itu mencatat sedikitnya 165 anggota tim UNRWA terbunuh, termasuk ketika sedang menjalankan tugas. Lebih dari 150 fasilitas UNRWA dihantam, beberapa di antaranya hancur total, di antaranya banyak sekolah dan lebih dari 400 orang terbunuh saat mencari perlindungan di fasilitas PBB. Dilaporkan ditemukan terowongan-terowongan yang digunakan untuk kegiatan militer di bawah fasilitas dan instalasi UNRWA. Staf UNRWA juga dianiaya dan dipermalukan selama berada di pusat-pusat penahanan Israel. “Personel, fasilitas dan aset PBB harus dilindungi setiap saat. Sejak perang ini dimulai, serangan terhadap fasilitas, konvoi, dan personil PBB telah menjadi hal yang biasa terjadi dengan mengabaikan hukum kemanusiaan internasional,” kata Lazzarini. “Saya menyerukan sekali lagi untuk melakukan penyelidikan independen terhadap pelanggaran-pelanggaran ini dan perlunya pertanggungjawaban,” tambahnya. Israel melancarkan serangan balasan ke Gaza sejak serangan lintas batas yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober. Serangan tersebut telah menewaskan hampir 31.200 warga Palestina dan melukai lebih dari 72.900 lainnya di tengah kehancuran massal dan kelangkaan kebutuhan pokok. Israel juga memberlakukan blokade yang melumpuhkan di daerah kantong Palestina tersebut, menyebabkan penduduknya, terutama warga Gaza utara, berada di ambang kelaparan. Perang Israel telah memaksa 85 persen penduduk Gaza menjadi pengungsi di tengah blokade terhadap sebagian besar makanan, air bersih dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur daerah kantong itu telah rusak atau hancur, menurut PBB. Israel dituding melakukan genosida di Mahkamah Internasional. Putusan sementaranya pada Januari memerintahkan Tel Aviv untuk menghentikan aksi genosida dan mengambil langkah untuk memastikan bahwa bantuan kemanusiaan disalurkan kepada warga sipil di Gaza. Sumber: Aljazeera/Republika
-
NewsINH, Gaza – Pertempuran antara pasukan kemerdekaan Palestina (Hamas) dengan militer Israel banyak menyisakan duka yang mendalam. Selain jatuhnya banyak korban jiwa, bangunan dan rumah-rumah yang hancur dibombardir militer Israel di Gaza belum juga dievakasi, reruntuhan puing-puing bekas rudal tersebut masih dibiarkan berserahkan. Direktorat Pertahanan Sipil Gaza menyatakan jika serangan Israel banyak merusak bangunan dan rumah warga Palestina. Minimnya tim dan tidak memadai karena banyaknya puing mengakibatkan pihaknya kesulitan untuk melakukan evakuasi korban yang tertimbun rerintuhan bangunan. “Tim kami sangat sedikit dan peralatanya pun kurang sangat tindak mencukupi dengan jumlah kerusakan yang begitu besar,” kata Direktorat Pertahanan Sipil di Jalur Gaza. Dalam keterangan tertulis Direktorat menyebutkan masih banyak warga yang tertimbun reruntuhan akibat gencarnya serangan udara di sejumlah wilayah Gaza. Selain itu, pernyataan tersebut juga mengumumkan bahwa tim pertahanan sipil tidak mencukupi dan tidak memiliki peralatan yang cukup karena intensnya pemboman dan banyaknya rumah yang hancur, serta menunjukkan bahwa jumlah korban jiwa kemungkinan akan meningkat karena puing-puing bangunan yang hancur. Sementara itu, hingga saat ini informasi yang diterima dari Muhammad Husein founder INH sekaligus aktivis kemanusiaan asal Indonesia di Gaza mengatakan jika, pesawat tempur Israel terus melakukan pengeboman intensif terhadap lingkungan, jalan, dan bangunan di sebelah barat kota sepanjang malam. “Setelah pemboman, asap tebal mengepul dari kawasan Mecmai Ansar, Jalan Reşid dan garis pantai di sebelah barat kota,” kata Husein, Rabu (11/10/2023). Penduduk di wilayah tersebut yang terkena serangan udara meninggalkan rumah mereka dan melakukan perjalanan menuju pusat kota. Pengeboman intensif terus berlanjut di lingkungan Derec di timur kota, Kerame di barat, dan Furkan di utara. Sumber kementrian Kesehatan Palestina di Gaza menyatakan, jumlah korban jiwa hingga saat ini telah mencapai 900 jiwa. 260 diantaranya anak-anak, 230 wanita dan selebihnya pria dewasa dan para orang tua dan sebanyak 4.500 orang mengalami luka-luka. Di saat ribuan roket ditembakkan dari Gaza menuju Israel, kelompok bersenjata Palestina menyerbu dan merebut Gerbang Perbatasan Beit Hanun-Erez di perbatasan Gaza-Israel. Para pejuang kemerdekaan Palestina kemudian memasuki pemukiman di Israel dari sini, dan tentara Israel melancarkan serangan ke Jalur Gaza dengan puluhan pesawat tempur. ***
-
NewsINH, Gaza – Bagi warga Palestina yang tinggal di Jalur Gaza, sudah terbilang nelangsa hidup di bawah blokade dan bayang-payang penyerangan menahun oleh penjajah Israel. Kesusahan itu tak dibuat jadi lebih mudah oleh faksi-faksi internal yang sejauh ini masih tak sepakat di Palestina. Seperti kata pepatah, saat gajah bertarung, adalah pelanduk yang jadi korban. Seperti peristiwa yang memilukan pada saat jet tempur Israel yang menghantam rumah dua lantai milik keluarga Zorob di Jalur Gaza pada 2019 silam hingga hancur berkeping-keping. Empat tahun kemudian, keluarga beranggotakan 10 orang itu tinggal di gubuk seluas 20 meter persegi yang dilapisi kain nilon sambil menunggu untuk pindah ke rumah permanen. Proyek perumahan yang merupakan bagian dari upaya rekonstruksi Gaza senilai 500 juta dolar AS yang didanai Mesir, telah meningkatkan harapan bagi ratusan keluarga yang kehilangan rumah mereka akibat serangan Israel. Namun berminggu-minggu hingga bangunan tempat tinggal tersebut selesai dibangun, belum ada kabar mengenai siapa yang memenuhi syarat untuk dapat menempati 1.400 unit apartemen itu. Sejauh ini, belum ada tata cara mengajukan permohonan untuk mendapatkan satu apartemen tersebut. Faksi Hamas yang berkuasa di Gaza dan Otoritas Palestina berselisih mengenai siapa yang akan menempati rumah tersebut. “Tidak ada yang peduli. Mereka duduk di bawah AC bersama anak-anak mereka dan mereka tidak peduli dengan kami,” kata Mohammed Zorob (31 tahun), menyalahkan kedua belah pihak atas penundaan tersebut. Keluarga Zorob termasuk di antara sekitar 2.000 keluarga, atau sekitar 12.000 orang, yang rumahnya hancur akibat pertempuran dengan Israel dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Kementerian Perumahan Gaza ada tambahan 90.000 orang yang tinggal di rumah rusak yang belum diperbaiki. Perekonomian yang terpuruk akibat blokade Israel-Mesir, isolasi internasional Hamas, dan kurangnya pendanaan dari komunitas internasional menjadi faktor yang menghambat upaya rekonstruksi. Namun yang menjadi latar belakang semua masalah ini adalah persaingan yang terus berlanjut antara Hamas dan Otoritas Palestina. Pada 2007, Hamas merebut kendali Gaza dari Otoritas Palestina setahun setelah memenangkan pemilihan parlemen. Pengambilalihan dengan kekerasan tersebut membuat Otoritas Palestina hanya menguasai wilayah semi-otonom di wilayah pendudukan Tepi Barat. Otoritas Palestina mengklaim sebagai perwakilan internasional yang sah dari kedua wilayah tersebut. Israel menganggap Hamas sebagai kelompok teroris dan segera memberlakukan blokade dengan Mesir yang disebutnya sebagai tindakan untuk mencegah Hamas mempersenjatai diri. Penutupan ini telah menghancurkan perekonomian Gaza dan turut memicu empat perang dan sejumlah kekerasan kecil. Upaya rekonsiliasi yang berulang kali dilakukan oleh Hamas dan Otoritas Palestina telah gagal. Pembangunan rumah ini menandai proyek infrastruktur pertama yang didanai Mesir di Gaza. Mesir sering menjadi perantara antara Israel dan Hamas serta antara faksi-faksi Palestina yang bersaing. Mesir mengumumkan bantuan tersebut setelah perang delapan hari pada 2021. Dua pejabat senior Mesir membenarkan bahwa pemerintah Kairo bekerja sama dengan faksi-faksi Palestina yang bersaing dalam proyek tersebut. Mereka mengatakan, Mesir telah meminta kedua pihak membentuk komite bersama untuk mengawasi distribusi rumah. Namun sejauh ini hanya sedikit kemajuan yang dicapai. “Sayangnya, masing-masing pihak ingin mengendalikan proses tersebut,” kata seorang pejabat Mesir sambil mencatat bahwa masalah ini telah dibahas selama kunjungan Presiden Palestina Mahmoud Abbas ke Mesir baru-baru ini. “Ini bukan proyek untuk Hamas atau Fatah. Ini untuk rakyat Palestina,” ujar pejabat Mesir yang berbicara dengan syarat anonim. Wakil Menteri Perumahan di pemerintahan Hamas di Gaza, Jawad al-Agha mengatakan, kantornya telah mengajukan proposal ke Mesir tentang bagaimana apartemen harus dialokasikan. Namun dia tidak memberikan rincian dan mengatakan belum ada keputusan yang diambil. Kebuntuan ini telah menyebabkan ribuan keluarga berada dalam ketidakpastian. Sebagian besar dari mereka telah menunggu selama hampir satu dekade, setelah kehilangan rumah mereka selama perang 50 hari antara Israel dan Hamas pada 2014. Rumah keluarga Zorob diserang selama pertempuran pada 2019 antara Israel dan kelompok militan Jihad Islam. Beberapa saat sebelum serangan udara, Israel menelepon keluarga tersebut dan memerintahkan mereka untuk mengungsi. Tidak ada korban jiwa dalam serangan itu, namun rumah Zorob hancur. Keluarga tersebut mengatakan, mereka tidak memiliki hubungan dengan kelompok militan mana pun dan tidak mengetahui alasan rumah mereka menjadi sasaran. Zorob adalah ayah dari seorang bayi berusia 2 bulan. Zorob mengatakan, dia telah menghabiskan waktu lima tahun untuk membangun rumahnya tersebut. “Bayangkan menghabiskan lima tahun hidup Anda untuk membangun rumah, dan dalam sekejap, Israel menargetkan bangunan tersebut,” kata Zorob. Ayah Zorob, Moneer mengatakan, kondisi di rumah bobrok mereka tidak dapat ditoleransi. “Saya menderita karena panas, kelembaban, dan di musim dingin kami menderita karena air bocor ke dalam rumah,” katanya. Sementara istri Moneer, Maha, mengatakan, dia harus merawat putrinya yang sudah dewasa dan menderita kanker. Putrinya memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah dan harus dijauhkan dari kerabatnya. “Di mana saya bisa mengisolasinya sementara saya hanya punya satu kamar?,” ujar Maha. Mantan menteri Kabinet dan penulis politik, Ibrahim Abrash mengatakan, negara-negara donor internasional menjadi frustasi dengan siklus kekerasan yang berulang dan terganggu oleh krisis lain, terutama perang di Ukraina. Namun dia mengatakan, pertempuran yang sedang berlangsung antara Otoritas Palestina dan Hamas masih menjadi hambatan utama dalam memperbaiki Gaza. “Ketika donor, Mesir atau negara lain, memberikan uang, pertanyaannya adalah, ‘Siapa pihak sah Palestina yang dapat dipercaya untuk mengawasi?’,” kata Abrash. Hazem Isleem, yang merupakan ayah darj tujuh anak juga menyampaikan kekecewaan serupa. Dia bekerja sebagai penjaga keamanan di Rumah Sakit Shifa Kota Gaza. Isleem mempunyai pengalaman mengerikan menyaksikan keluarganya sendiri masuk melalui gerbang rumah sakit. Putrinya yang berusia 11 tahun, Farah, kehilangan satu kakinya dalam konflik pada 2021. Konflik itu juga menghancurkan rumah mereka. Keluarga Isleem sekarang tinggal di apartemen sewaan yang hampir tidak mampu dia beli. “Setelah tersiar kabar tentang unit rumah baru ini, saya berpegang teguh pada harapan. Namun harapan itu berubah menjadi keputusasaan,” kata Isleem. Isleem mengatakan, dia sering melakukan kunjungan ke Kementerian Perumahan Rakyat untuk mempertanyakan tentang program pembangunan rumah. Namun dia tidak pernah menerima kepastian. “Kita hidup dalam ketidakpastian yang tiada henti,” kata Isleem. Sumber: republika
-
NewsINH, Al Quds – Lagi-lagi kelompok ekstremis Yahudi Israel membuat ulah dengan memprovokasi umat Islam yang sedang khusyuk melaksanakan Ibadah Puasa. Dengan pengawalan pihak kepolisian Israel, sekelompok ekstrimis itu menyerbu Masjid Al-Aqsa dengan melakukan ritual talmud. “Puluhan ekstremis Yahudi hari ini menyerbu tempat suci umat Islam, kompleks Masjid Al-Aqsa di Kota Tua Al Quds atau Yerusalem, di bawah perlindungan ketat pihak kepolisian Israel dan memprovokasi umat Islam saat menjalankan puasa dibulan suci Ramadhan,” kata departemen Wakaf Islam, yang bertanggung jawab atas tempat suci umat Islam di Yerusalem tersebut. Menurutnya, para ekstremis itu terbagi dalam beberapa kelompok, menyerbu kompleks sejak dini hari dan melakukan ritual Yahudi di dalam pekarangan bertembok meskipun ada larangan mengingat bahwa ibadah atau ritual keagamaan terbatas hanya untuk Muslim, seperti yang disepakati dalam status quo. Sementara itu, pasukan pendudukan Israel melakukan langkah-langkah dan mempersulit terhadap warga Palestina yang berusaha mencapai Masjid untuk beribadah selama bulan suci ini, seperti memeriksa kartu identitas mereka dan menahan beberapa dari mereka untuk diperiksa. Pasukan juga masuk ke dalam kompleks dan memaksa para jamaah untuk berpindah. Padahal, banyak warga muslim Palestina yang akan melaksanakan sholat malam di Masjid tersebut. Akibat penyerbuan kelompok Yahudi Ekstrem ini komplek masjid suci ketiga bagi umat Islam mengalami sedikit kersukan dan kotor, mereka pun langsung bergotong royong untuk membersikan sisa kotoran yang tertinggal. Sumber: Wafa #DoanasiPalestina