-
NewsINH, Beirut – Jumlah korban tewas di Lebanon akibat serangan udara Israel sejak 8 Oktober tahun lalu telah mencapai 1.247 orang, termasuk wanita dan anak-anak. Sementara jumlah korban yang mengalami luka-luka tembus mencapai sekitar 5.278 orang. “Jumlah korban meninggal dunia telah mencapai 1.247, dan jumlah korban luka sebanyak 5.278 orang, sebagian besar adalah warga sipil, termasuk anak-anak dan wanita, sejak 8 Oktober,” kata Menteri Lingkungan Hidup Lebanon, Nasser Yassin, mengacu pada tanggal Israel melancarkan serangan terhadap Jalur Gaza, sehari setelah serangan lintas batas oleh kelompok Palestina, Hamas, Rabu (25/9/2024) kemarin. Saat Yassin menyampaikan pernyataannya dalam konferensi pers di Istana Pemerintah di Beirut, serangan bom Israel meningkat di berbagai wilayah di negara itu, terutama di bagian selatan. Yassin juga mengatakan bahwa jumlah pengungsi yang terdaftar di tempat penampungan darurat mencapai sekitar 30 persen dari total pengungsi, dengan perkiraan lebih dari 150.000 orang telah menyelamatkan diri dari tempat tinggal mereka, terutama dari Lebanon selatan dan Lembah Bekaa. Dia menyoroti bahwa para pengungsi tersebar mulai dari Wadi Khaled dan Akkar di utara hingga ibu kota Beirut, Gunung Lebanon, dan daerah-daerah di Lembah Bekaa seperti Zahle, Matn, Aley, dan Chouf. Yassin menambahkan bahwa komunikasi telah dijalin dengan sahabat negara-negara Arab yang telah menyatakan kesiapan untuk membantu kebutuhan mendesak, dan bantuan dari Irak, Yordania, Qatar, Kuwait, Mesir, dan negara-negara lain yang mendukung akan segera tiba. Israel telah melancarkan gelombang serangan udara mematikan di Lebanon sejak Senin pagi, menewaskan hampir 610 orang dan melukai lebih dari 2.000 lainnya, menurut otoritas kesehatan Lebanon. Hizbullah dan Israel telah terlibat dalam perang lintas batas sejak dimulainya perang Israel di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 41.400 orang, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, setelah serangan lintas batas oleh Hamas pada 7 Oktober lalu. Komunitas internasional telah memperingatkan agar serangan terhadap Lebanon dihentikan karena dapat memicu penyebaran konflik Gaza ke wilayah yang lebih luas. Sumber: Republika
-
NewsINH, Gaza – Warga Palestina yang mengungsi ke Rafah terpaksa harus kembali pindah setelah Israel mengeluarkan perintah evakuasi. PBB memperkirakan lebih dari 100 ribu orang melakukan evakuasi sementara pasukan Israel mengatakan 300 ribu orang. “Mereka meminta kami pergi tiga kali, dan para tetangga datang dan mengatakan segera keluarga. Mereka mengirimkan perintah evakuasi ke seluruh wilayah. Apa yang harus kami lakukan di sini? Apakah kami menunggu sampai kami semua mati bertumpuk-tumpukan? Sehingga kami memutuskan lebih baik pergi,” kata seorang warga Rafah, Hanan al-Satari seperti dikutip dari Aljazirah, Sabtu (11/5/2024). Warga lainnya Faten Lafi mengatakan, warga dipaksa pergi setelah tentara Israel mengancam mereka, melalui sambungan telepon dan unggah di media sosial Facebook. “Kami pergi karena takut dan terpaksa. Kami pergi ke tempat yang tidak diketahui dan sama sekali tidak ada tempat aman, semua tempat tidak ada yang aman,” katanya. Sementara itu militer Israel mengatakan operasi mereka dalam 24 jam terakhir di Rafah merupakan operasi terbatasan. Tapi Aljazirah melaporkan militer Israel terus memperluas operasinya, menggelar serangan udara dan pengeboman intensif yang dimulai dari pusat dan tengah-selatan Kota Rafah dekat Rumah Sakit Kuwait. Serangan digelar dekat ribuan keluarga pengungsi mendirikan tenda-tenda sementara mereka di jalan atau zona evakuasi. Perintah evakuasi terbaru ini membuat orang-orang berada dalam ketidakpastian baru. Warga tidak tahu harus pergi ke mana, terutama setelah adanya bukti “zona aman” yang ditetapkan militer Israel sama sekali tidak aman, banyak orang yang akhirnya terbunuh di dalam daerah yang ditetapkan sebagai zona aman. Sejauh ini sudah banyak orang yang melarikan diri dari Rafah, namun masih ada lebih banyak lagi yang terjebak di daerah-daerah yang tidak dapat dievakuasi karena intensitas pengeboman dan kekuatan militer Israel yang ekstrem. Sumber: Aljazirah/Republika
-
NewsINH, Gaza – Sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Italia, Jerman, Austria, Australia da Jepang akan menangguhkan atau menghentikan pemberian bantuan dana melalui Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Akibat penghentian pendanaan tersebut UNRWA terancam terhenti lepas Februari ini jika pendanaan terhadap badan tersebut dihentikan. “Jika pendanaan tidak dilanjutkan, UNRWA tidak akan dapat melanjutkan layanan dan operasinya di seluruh wilayah, termasuk di Gaza, setelah akhir Februari,” kata seorang juru bicara UNRWA, Senin (29/1/2024) kemarin. Negara-negara yang telah menangguhkan bantuan untuk UNRWA antara lain Amerika Serikat (AS), Inggris, Jerman, Prancis, Australia, Austria, dan Kanada. Uni Eropa, salah satu donor utama UNRWA, pada Senin kemarin menuntut dilakukannya audit terhadap badan tersebut. Audit harus dipimpin oleh para ahli yang ditunjuk Komisi Eropa dan dilakukan bersamaan dengan penyelidikan PBB terkait dugaan adanya keterlibatan staf UNRWA dalam serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023. “Yang jelas adalah tindakan ini mendesak. Hal ini penting dan harus diluncurkan tanpa penundaan,” kata Juru Bicara Komisi Eropa Eric Mamer kepada awak media. Saat ini Uni Eropa tengah meninjau pendanaan untuk UNRWA. Keputusan terkait pendanaan mendatang akan dilakukan bersamaan dengan hasil penyelidikan PBB terkait dugaan keterlibatan 12 staf UNRWA dalam serangan Hamas ke Israel pada Oktober tahun lalu. Sementara itu Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyesalkan keputusan sejumlah negara menangguhkan atau membekukan pendanaan mereka untuk UNRWA. Liga Arab berpendapat, penangguhan pendanaan untuk UNRWA bertujuan mengabaikan upaya bantuan bagi jutaan pengungsi Palestina. “Kampanye ini bukanlah hal baru dan bertujuan untuk melikuidasi kerja badan tersebut (UNRWA), yang melayani jutaan pengungsi Palestina,” kata Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul-Gheit, Ahad (28/1/2024), dikutip laman Anadolu Agency. Dia memperingatkan bahwa penangguhan pendanaan untuk UNRWA di tengah serangan mematikan Israel di Jalur Gaza berarti membiarkan warga sipil Palestina kelaparan dan mengungsi. “(Penangguhan dana) juga melaksanakan rencana Israel untuk menghilangkan perjuangan mereka (warga Palestina) untuk selamanya,” ucapnya. Sementara itu, OKI mengatakan, penangguhan pendanaan terhadap UNRWA adalah sebuah hukuman kolektif. OKI memperingatkan bahwa hal itu akan memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza. “OKI mendesak negara-negara yang telah menangguhkan pendanaan mereka kepada badan PBB tersebut (UNRWA) untuk membatalkan keputusan mereka agar badan tersebut dapat terus memberikan layanan dan kebutuhan penting, termasuk makanan, tempat tinggal dan layanan kesehatan dasar kepada orang-orang di kamp pengungsi, khususnya di Jalur Gaza,” kata kantor berita Palestina, WAFA, dalam laporannya, Ahad lalu. UNRWA mengatakan, mereka telah memutuskan kontrak dengan beberapa stafnya yang dituduh terlibat dalam operasi Hamas pada 7 Oktober 2023. Kendati demikian, Komisaris Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini mengaku terkejut bahwa beberapa negara, termasuk AS, Australia, Inggris, Prancis, dan Kanada, memilih membekukan pendanaan untuk lembaganya sebagai tanggapan atas dugaan keterlibatan staf UNRWA dalam serangan Hamas ke Israel pada Oktober tahun lalu. “Akan sangat tidak bertanggung jawab jika memberikan sanksi kepada sebuah badan dan seluruh komunitas yang dilayaninya karena tuduhan tindakan kriminal terhadap beberapa individu, terutama pada saat perang, pengungsian dan krisis politik di wilayah tersebut,” kata Lazzarini, Ahad lalu, dikutip laman Anadolu Agency. Lazzarini mengingatkan, UNRWA adalah lembaga kemanusiaan utama di Gaza. Dia menyebut lebih dari 2 juta orang di Gaza bergantung pada UNRWA untuk kelangsungan hidup mereka. “Banyak yang kelaparan karena waktu terus berjalan menuju bencana kelaparan yang akan terjadi. Badan ini mengelola tempat penampungan bagi lebih dari 1 juta orang dan menyediakan makanan serta layanan kesehatan dasar bahkan pada puncak permusuhan,” ungkapnya. “Saya mendesak negara-negara yang telah menangguhkan pendanaan mereka untuk mempertimbangkan kembali keputusan mereka sebelum UNRWA terpaksa menghentikan respons kemanusiaannya. Kehidupan masyarakat di Gaza bergantung pada dukungan ini dan begitu pula stabilitas regional,” tambah Lazzarini. Israel tidak sekali menuduh staf-staf UNRWA bekerja atau terlibat dalam operasi Hamas. Hal itu menjadi dalih bagi Israel untuk menyerang fasilitas-fasilitas UNRWA di Gaza. Hingga berita ini ditulis, lebih dari 26.400 warga Gaza telah terbunuh sejak Israel memulai agresinya pada 7 Oktober 2023. Sebagian besar korban jiwa adalah perempuan dan anak-anak. Sementara itu korban luka melampaui 65 ribu orang. (***) Sumber: Republika
-
NewsINH, Gaza – Lebih dari tiga bulan militer zionis Israel menyerang jalur Gaza Palestina, separuh lebih bangunan dan rumah-rumah warga rusak akibat serangan sporadis rudal tentara tersebut. Baru-baru ini 12 warga Palestina meninggal dan puluhan lainnya terluka dalam serangan udara Israel di kota Rafah dan Khan Younis di selatan Jalur Gaza. Dikutip dari Anadolu, Jum’at (12/1/2024), sebuah pesawat tempur Israel menghantam rumah keluarga Abu Namous di Khan Younis. Tujuh orang meninggal seketika, termasuk wanita dan anak-anak, sementara 25 orang lainya terluka di Khan Younis. Secara terpisah, lima orang dan banyak lainnya terluka dalam serangan terhadap sebuah rumah di wilayah utara Rafah dan tempat penampungan bagi para pengungsi. Serangan udara juga dilaporkan menyebabkan banyak korban luka di timur laut Rafah. Israel menggempur Gaza sejak serangan lintas batas oleh kelompok Palestina Hamas pada 7 Oktober, menewaskan sedikitnya 23.357 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan melukai 59.410 lainnya, menurut otoritas kesehatan. Sementara itu, sekitar 1.200 warga Israel diyakini tewas dalam serangan Kelompok Pejuang Kemerdekaan Palestina yakni Hamas. Dampak perang yang berkepanjangan ini, jutaan warga Gaza kehilangan tempat tinggal dan sanak keluarga. Tak hanya itu, mereka juga kehilangan mata pencaharian. Krisis kemanusiaan dan kelaparan pun terus mengancam keberlangsungan hidup mereka. Pasalnya, Israel belum sepenuhnya memberikan keleluasaan terhadap bantuan kemanusiaan yang masuk ke wilayah tersebut. Sumber: Anadolu
-
NewsINH, Gaza – Sudah empat hari sejak kamp pengungsi terkecil di Gaza dihantam serangkaian serangan udara Israel, namun warga Palestina di sana masih menggali jenazah orang-orang yang mereka cintai dari bawah reruntuhan. Serangan gencar di Maghazi, Gaza tengah, pada Minggu malam menewaskan sedikitnya 90 orang, termasuk anak-anak dan banyak yang menjadi pengungsi internal. Dalam salah satu serangan paling mematikan di Jalur Gaza sejak Israel melancarkan perang di daerah kantong tersebut pada tanggal 7 Oktober, penduduk termasuk Ashraf al-Haj Ahmed mengatakan serangan itu terjadi “tiba-tiba” dan tanpa peringatan sebelumnya. “Sekitar pukul 23.30 malam itu, kami menyaksikan serangkaian ledakan besar yang mengguncang seluruh kamp,” kata al-Haj Ahmed seperti dikutip dari Aljazeera, Kamis (28/12/2023). Rumah kerabatnya termasuk di antara yang rata dengan tanah. Al-Haj Ahmed ingat berlari ke arahnya segera setelah pemboman itu membangunkannya, hanya beberapa blok dari sana. Di lokasi penyerangan, ia menemukan sebuah bangunan berlantai empat hancur “di samping mereka yang tinggal di dalamnya”. “Pasti ada sekitar 40 orang, di antaranya pemilik rumah, serta keluarga pengungsi yang ditampung,” ujarnya. Setidaknya tiga rumah di kamp yang penuh sesak itu terkena serangan udara Israel. Para pejabat di Gaza mengatakan tujuh keluarga termasuk di antara korban jiwa. Meskipun jumlah resmi korban tewas mencapai 90 orang, penduduk kamp dekat Deir el-Balah mengatakan pada kenyataannya, angka tersebut jauh lebih tinggi karena seluruh blok pemukiman musnah. “Di setiap rumah, minimal ada 50 orang,” kata warga Maghazi lainnya kepada Al Jazeera. “Banyak dari mereka adalah warga Palestina yang terlantar dari wilayah lain di Gaza yang terpaksa meninggalkan rumah mereka.” Kamp tersebut biasanya menampung 30.000 orang, menurut badan pengungsi PBB untuk Palestina (UNRWA). Namun dengan adanya pengungsian warga Palestina yang melarikan diri dari pemboman Israel yang tiada henti di wilayah lain di wilayah tersebut, jumlah orang di sana diperkirakan meningkat menjadi 100.000 orang. “Kami mengeluarkan begitu banyak bagian tubuh sehingga kami bahkan belum bisa memperkirakan jumlah total kematian. Semuanya hancur berkeping-keping, dan kami menariknya keluar dengan tangan kosong,” tambahnya. “Kami sekarang telah mengumpulkan setidaknya dua tumpukan bagian tubuh.” pungkasnya. Sumber : Aljazeera