NewsINH, Gaza – Badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama mitra-mitranya mendesak segera dilakukan jeda kemanusiaan di Gaza guna memastikan lebih dari 640.000 anak dapat menerima vaksinasi polio. Permintaan ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk menghentikan sementara konflik guna mencegah penyebaran penyakit di antara populasi rentan di wilayah tersebut. Menurut keterangan badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA), badan-badan ini siap untuk memberikan vaksin. Namun situasi keamanan yang memburuk memerlukan gencatan senjata sementara atas dasar kemanusiaan. Badan-badan tersebut memperingatkan bahwa penundaan kampanye vaksinasi secara signifikan akan meningkatkan risiko wabah polio di kalangan anak-anak. Dana Anak-Anak PBB (UNICEF), bekerja sama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), UNRWA, dan mitra lainnya, telah mengirimkan 1,2 juta dosis vaksin polio tipe 2 ke Gaza. Mereka berencana memvaksinasi lebih dari 640.000 anak di wilayah tersebut. Pengiriman vaksin penting ini didukung Qatar Charity yang menyumbangkan $3 juta untuk mendukung upaya UNRWA di Gaza. Sam Rose, Deputi Direktur Lapangan Senior UNRWA, menyoroti kondisi sulit di Gaza, di mana keluarga yang mengungsi dan relokasi yang sering terjadi akibat perintah evakuasi Israel telah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penyebaran virus polio. Ia menegaskan bahwa kurangnya akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, air, dan perawatan kesehatan memperburuk situasi, menjadikan penyebaran cepat virus sebagai ancaman nyata. Situasi di Gaza semakin diperparah dengan laporan tentang kasus polio pertama yang terdeteksi di wilayah tersebut dalam 25 tahun terakhir pada 16 Agustus. Kementerian Kesehatan Palestina menyatakan kekhawatiran bahwa ini bisa menunjukkan adanya banyak kasus yang tidak terdeteksi. Penemuan kasus polio ini disertai dengan masalah yang terus berlanjut seperti sanitasi yang buruk dan akses air yang terbatas. Pejabat PBB menyatakan keprihatinan mendalam tentang krisis kesehatan yang terjadi di Gaza, terutama sejak pecahnya perang Israel-Hamas pada 7 Oktober tahun lalu. Sejak saat itu, sekitar 50.000 bayi telah lahir di Gaza, banyak di antaranya belum menerima vaksinasi apapun akibat krisis yang berlanjut. PBB dan mitra-mitranya kini menyerukan kepada komunitas internasional untuk menekan Israel agar mengizinkan vaksin polio masuk ke Gaza dengan aman, menekankan bahwa tanpa tindakan segera, kesehatan ratusan ribu anak terancam. Sumber: Gazamedia
NewsINH, Gaza – Selama bertahun-tahun, Alex de Waal telah meneliti dan menulis tentang krisis pangan dan bencana kelaparan di seluruh dunia. Namun, kondisi yang diciptakan Israel saat ini di Jalur Gaza adalah sesuatu yang belum pernah ia temui sebelumnya. Pada Senin, Inisiatif Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu, atau IPC, mengeluarkan laporan baru yang memperingatkan bahwa kelaparan kini “sedang terjadi” di Gaza, dengan 1,1 juta — atau setengah populasinya — ” menghadapi tingkat kelaparan yang sangat parah. Laporan tersebut menunjukkan bahwa situasinya telah memburuk secara signifikan sejak penilaian terakhir pada Desember. Dan, jika Israel melanjutkan strategi mematikannya, jumlah orang yang mengalami kondisi tersebut akan meningkat dua kali lipat pada Juli. “Saya tidak bisa membayangkan kejadian yang bisa secepat ini,” kata De Waal dalam wawancara dengan Anadolu tentang situasi di Gaza, di mana Israel telah membunuh lebih dari 31.600 warga Palestina sejak 7 Oktober dan menyebabkan jutaan lainnya ke jurang kelaparan. Dalam 6 bulan terakhir, serangan Israel telah menyebabkan 85 persen penduduk Gaza mengungsi dan kekurangan makanan, air, obat-obatan, serta kebutuhan hidup lainnya. Angka terbaru menunjukkan hampir 30 warga Palestina, termasuk anak-anak, meninggal dunia karena kekurangan gizi dan dehidrasi. Kelaparan massal biasanya merupakan “proses yang lambat” dan membutuhkan “waktu lama,” terutama di wilayah di mana terdapat produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup, kata De Waal, yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif World Peace Foundation di Universitas Tufts, Amerika Serikat. Di Gaza, Israel telah menerapkan taktik kelaparan massal “di (wilayah) yang sangat terkonsentrasi secara geografis… dan dengan cara yang sangat cepat, luar biasa cepatnya,” dia menjelaskan. Menurut data pada akhir November atau awal Desember, kurang dari satu persen anak-anak menderita gizi buruk akut yang parah. Hanya dalam kurun 2 bulan, lebih dari separuh populasi Gaza diturunkan ke status darurat atau lebih buruk lagi, dan “sepengetahuan saya, hal ini belum pernah terjadi pada kecepatan seperti itu,” kata dia. Israel melancarkan serangan militer mematikan di Gaza sejak serangan lintas batas yang dilakukan kelompok Hamas Palestina pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan hampir 1.200 orang. Lebih dari 31.600 warga Palestina — sebagian besar perempuan dan anak-anak — sejak saat itu telah tewas di daerah kantong tersebut, dan hampir 73.700 orang lainnya luka-luka di tengah kehancuran massal dan kelangkaan kebutuhan bahan pokok. Perang Israel telah memaksa 85 persen penduduk Gaza menjadi pengungsi di tengah blokade yang melumpuhkan terhadap sebagian besar makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur daerah itu telah rusak atau hancur, menurut PBB. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi anak-anak UNICEF mengatakan 13.000 anak terbunuh akibat serangan Israel di Gaza. Adapun banyak anak yang bertahan hidup mengalami malnutrisi akut dan “bahkan tidak memiliki tenaga untuk menangis.” Kelaparan Sebagai Senjata Menyatakan suatu daerah dilanda kelaparan adalah proses teknis dan bisa terhambat oleh akses terhadap data dan kendala politik, kata De Waal. Di negara-negara seperti Ethiopia, Nigeria, dan Yaman, terlihat bahwa pihak berwenang tidak ingin mendeklarasikan kelaparan terjadi di sana dan menghalangi akses terhadap data, kata dia. “Saya yakin, Israel akan sangat mirip… Mereka (Israel) tidak menginginkan deklarasi kelaparan,” kata De Waal. Pihak berwenang Israel mungkin mengeluarkan argumen dengan menyatakan “metode analisisnya tidak benar-benar teliti,” dan itu mungkin ada benarnya, kata dia. “Akan tetapi hal ini tidak boleh mengaburkan fakta bahwa meskipun tidak ada cukup data untuk menyatakan kelaparan, terdapat bukti yang sangat besar mengenai bencana yang sedang terjadi,” ujarnya. Poin kuncinya, menurut dia, adalah “tindakan mempergunakan kelaparan bukan berarti orang-orang harus mati.” “Yang perlu Anda lakukan untuk bertanggung jawab adalah dengan mencabut hak mereka. Jadi, meski tidak ada kelaparan, bukan berarti kelaparan tidak digunakan sebagai senjata,” katanya. Tindakan Netanyahu dan Assad mirip De Waal mengatakan ada beberapa contoh konflik di masa lalu di mana kelaparan digunakan sebagai senjata, salah satunya adalah di Suriah. “Tindakan Pemerintahan Netanyahu dan tindakan Pemerintahan Assad sangat mirip,” kata dia. Perbedaannya adalah Israel melakukannya dalam skala yang lebih besar dan cepat. Di tempat-tempat lain seperti Yamah dan wilayah Tigray di Ethiopia, De Waal menunjukkan bahwa “keduanya sangat berbeda karena populasinya jauh lebih besar dan juga perdesaan, tersebar di wilayah yang jauh lebih luas.” Ia juga menekankan bencana kelaparan di Gaza akan berdampak generasi ke generasi bagi warga Palestina. “Saat populasi — khususnya anak-anak — berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan, Anda tidak bisa membalikkan begitu saja. Jadi, pembunuhan mungkin berhenti, tetapi kematian akan terus berlanjut,” katanya. Belum lagi, rekonstruksi agar Gaza dapat dihuni kembali akan membutuhkan upaya yang besar dan waktu yang lama. “Anak dalam kandungan atau anak kecil yang terpapar secara fisik akan tumbuh tanpa kemampuan fisik yang utuh. Mereka akan menjadi lebih pendek, tidak akan mempunyai kemampuan mental, mereka tidak akan berkembang sepenuhnya. “Jadi akan ada dampaknya pada generasi berikutnya, bahkan mungkin dua generasi,” kata De Waal. Contohnya, ada penelitian yang dilakukan terhadap penyintas bencana kelaparan musim dingin di Belanda pada 1944 dan 1945 yang menunjukkan betapa anak-anak yang masih sangat kecil saat ini lebih pendek dibandingkan kakak dan adiknya. “Mereka tidak memiliki kualitas pendidikan yang sama,” kata De Waal. Trauma psikologis juga tentunya akan terus berlanjut dari generasi ke generasi, tambahnya. “Itu karena, kekerasan yang terjadi jelas sangat traumatis, namun kelaparan juga merupakan hal psikologis yang sangat traumatis,” kata De Waal. Sumber: Antara
NewsINH, Johannesburg – Afrika Selatan (Afsel) Negara kelahiran Nelson Mandela yang dijuluki sebagai “bapak bangsa” menjadi satu-satunya negara yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional atau ICJ di Den Haag, Belanda. Dalam gugatanya negara di benuah hitam itu meminta kepada pengadilan internasional untuk menghentikan upaya genodisa Israel terhadap warga Palestina di Gaza. Jumat (26/1/2024) menjadi hari bersejarah dimana gugatan yang dilayangkan oleh Afrika Selatan ini akhirnya dikabulkan oleh majelis hakim, meskipun dalam putusan tersebut pengadilan tidak meminta adanya gencatan senjata perang yang sudah berlangsung lebih dari tiga bulan tersebut. Namun, setidaknya keputusan ini menjadi bukti bahwa upaya pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkan dapat dicegah. Tentu saja, Afrika Selatan sebagai negara penggugat menyambut gembira putusan ICJ atas kasus genosida terhadap warga Palestina oleh Israel. Menurut Menteri Kehakiman Ronald Lamola, pahlawan pembebasan Afrika Selatan Nelson Mandela akan tersentum dalam kuburnnya atas putusan ICJ yang memberlakukan tindakan darurat terhadap Israel atas perang di Gaza. “Kami yakin mantan Presiden Nelson Mandela akan tersenyum di kuburannya sebagai salah satu pendukung Konvensi Genosida,” kata Lamola di sela-sela pertemuan partai Kongres Nasional Afrika yang berkuasa di luar Johannesburg, pada Jumat, 26 Januari 2024. Kongres Nasional Afrika atau ANC telah lama membela perjuangan Palestina. Hubungan ini terjalin ketika Afsel juga berjuang melawan pemerintahan minoritas kulit putih yang menindas didukung oleh Organisasi Pembebasan Palestina pimpinan Yasser Arafat. Lamola mengatakan Afrika Selatan yang membawa kasus ini ke Den Haag adalah sebuah tindakan keberanian yang dimotivasi oleh keinginan untuk membela tatanan dunia yang berdasarkan aturan. “Ini adalah kemenangan bagi hukum internasional bahwa tidak akan ada pengecualian di belahan dunia mana pun dan Israel tidak dapat dikecualikan dari kepatuhan terhadap kewajiban internasionalnya.” Afrika Selatan menyamakan tindakan Israel dengan perjuangannya melawan apartheid, sebuah perbandingan yang ditolak oleh Israel. Tuduhan genosida oleh Afrika Selatan terhadap rakyat Palestina, menurut Israel, sangat menyimpang. “Klaim bahwa Israel melakukan genosida terhadap warga Palestina bukan hanya salah, tapi juga keterlaluan, dan kesediaan pengadilan untuk membahas hal ini adalah aib yang tidak akan terhapuskan dari generasi ke generasi,” ujar Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Sumber: Tempo/Reuters