-
NewsINH, Bogor – Lembaga Kemanusiaan International Networking for Humanitaraian (INH) turut merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia (RI) dengan berbagi kebahagiaan dan semangat kebersamaan. Perayaan HUT RI yang diperingati setiap 17 Agustus itu diwujudkan dengan berbagai permainan dan perlombaan tradisional untuk memupuk kebersamaan dan kekompakan disetiap lintas divisi baik managerial maupun staf. “Alhamdulillah pada tahun ini kita bersama-sama keluarga besar INH melaksanakan kegiatan perayaan kemerdekaan Indonesia. Kegiatan ini semata-mata untuk memupuk kebersamaan dan kekompakan sesama tim,” kata Ibnu Hafidz Manager Program INH dalam menyampaikan sambutan mewakili Presiden Direktur INH Lukmanul Hakim, Jumat (16/08/2024). Adapun peserta kegiatan perlombaan ini kata Ibnu diikuti oleh setiap karyawan INH dari berbagai divisi, lembaga dan badan otonom INH seperti Sahabat Relawan INH dan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Siti Fatimah. Sebagai lembaga filantropi, INH akan terus melakukan upaya untuk membangun kesadaran kolektif dalam menjalankan tugas dan tangung jawabnya masing-masing, oleh karena itu dalam momentum hari kemerdekaan ini, tema yang di ambil adalah “Merayakan Kemerdekaan dengan Empati dan Aksi”. Ini sebagai bukti bahwa kami terus memberikan yang terbain untuk sesama. Sementara itu, Ketua Pelaksana HUT RI, Rendhy Apriandi mengucapkan terimakasih kepada semua tim yang terlibat dalam peringatan kemerdekaan tahun ini. Ia berharap, semangat kemerdekaan ini bisa di implementasikan dalam dunia kerja sehari-hari. “Alhamdulillah, semoga kebersamaan dan kekompakan ini bisa terus dijaga. Jadikan semangat kemerdekaan sebagai semangat baru dalam memgemban amanat sebagai pegiat kemanusiaan,” jelasnya. Adapun perlombaan tradisional yang dilakukan diantaranya, tarik tambang, lomba balap karung, lomba ambil koin di pepaya, lomba kait, lomba makan krupuk, lomba estafet tepung dan lomba menghias wajah dengan kosmetik. (***)
-
NewsINH, Gaza – Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza mengatakan dalam beberapa jam terakhir, pasukan penjajah “Israel” melakukan 18 pembantaian dan tindakan genosida di Jalur Gaza secara terang-terangan. Saat ini jumlah korban agresi di Gaza sejak 7 Oktober silam telah mencapai 18.787 orang syahid dan 50.897 orang luka-luka. Pasukan zionis Israel telah mengubah Rumah Sakit Kamal Adwan menjadi barak dan lokasi operasi militer, mengancam akan mengevakuasi korban luka dan sakit ke Kompleks Medis Al-Shifa, yang tidak memiliki fasilitas medis penting, sehingga secara efektif menjatuhkan hukuman mati kepada mereka. Tak hanya itu, tentara zionis telah menangkap 70 staf medis yang terluka, termasuk direktur rumah sakit Dr. Ahmed Al-Kahlout, dan memaksa staf dan mereka yang terluka. “Situasi kesehatan di rumah sakit di Gaza selatan adalah yang terburuk karena kurangnya kapasitas, fasilitas perawatan, dan staf medis. Mereka memilih antara kasus-kasus serius untuk menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin dari banyaknya orang yang datang,” kata laporan Kementrian Kesehatan dikutip dari Gaza Media. Pasukan Israel terus menahan 38 petugas kesehatan dalam kondisi yang kejam dan tidak manusiawi, termasuk Dr. Mohammed Abu Salmiya, dan membuat mereka diinterogasi, disiksa, dan kelaparan. Agresi Israel terhadap sistem kesehatan mengakibatkan 300 petugas kesehatan syahid dan hancurnya 102 ambulans. “Pasukan penjajah Israel menargetkan 138 institusi kesehatan, membuat 22 rumah sakit dan 52 pusat kesehatan tidak dapat beroperasi,” katanya. Sementara itu, situasi kesehatan dan kemanusiaan di tempat penampungan sangat tidak tertahankan, dengan kekhawatiran akan puluhan ribu orang meninggal akibat penyebaran penyakit menular, kekurangan gizi, kurangnya air minum bersih dan kebersihan pribadi, serta tidak adanya layanan kesehatan. “Tim kesehatan mencatat 327.000 kasus penyakit menular dari tempat penampungan, jumlah tersebut hanya mewakili mereka yang dapat menjangkau pusat kesehatan,” jelasnya Kemudian menyangkut masalah layanan kesehatan bagi anak-anak, persediaan vaksin untuk anak-anak telah habis di Jalur Gaza, hal ini menimbulkan meningkatnya risiko “dampak yang sangat buruk” bagi kesehatan masyarakat. “Kami menghimbau lembaga-lembaga internasional untuk segera turun tangan menyediakan vaksinasi yang diperlukan dan memastikan pengirimannya ke seluruh wilayah Jalur Gaza untuk mencegah bencana kesehatan,” demikian pernyataan Kementrian Kesehatan. Sementara itu, PBB menegaskan bahwa Gaza saat ini tengah menghadapi “bencana kesehatan masyarakat” setelah runtuhnya sistem kesehatan mereka. “Kita semua tahu bahwa sistem perawatan kesehatan ini telah runtuh atau sedang runtuh,’ kata Lynn Hastings Koordinator Kemanusiaan PBB untuk Wilayah Palestina. Tak hanya layanan fasilita kesehatan, Zionis Israel juga melumpuhkan layanan telekomunikasi dan internet yang mengakibatkan warga kesulitan untuk mengaksesnya. “Untuk kelima kalinya, tentara penjajah dengan sengaja memutus komunikasi dan Internet sepenuhnya dari Jalur Gaza sejak dimulainya perang genosida terhadap rakyat kami, dan ini berarti terjadi peningkatan jumlah korban akibat serangan tersebut. Kami kesulitan menjangkau para syuhada dan terluka,” tulis kementrian komunikasi Palestina di Gaza. Sumber: Gazamedia
-
NewsINH, Gaza – Mengerikan serangan jet-jet tempur zionis Israel terus menghujani wilayah Gaza, Palestina. Dalam serangan baru-baru ini pesawat tempur Israel membunuh puluhan orang di Gaza tengah sekitar 45 anggota keluarga Nisman, yang menampung pengungsi Palestina, menjadi sasaran serangan Israel terbaru. Di kota az-Zawayda di Gaza tengah inilah, para tetangga telah bekerja sejak Minggu pagi, mengumpulkan potongan tubuh puluhan orang yang dulu tinggal di rumah keluarga Nisman. Sekitar pukul 4 pagi waktu setempat (06:00 GMT), pesawat tempur Israel mengebom rumah tersebut, menghancurkannya sepenuhnya. “Ini rumah paman saya, kedua paman saya tinggal bersama keluarga mereka sudah tiga generasi tinggal ditempat ini.” kata Fadi Nisman seperti dikutip dari Al Jazeera, Minggu (10/12/2023). Hanya beberapa minggu yang lalu, keluarga besar tersebut melarikan diri dari kamp pengungsi Shati di sebelah barat Kota Gaza mengikuti perintah Israel untuk menuju ke selatan daerah kantong tersebut dan mengungsi ke suku Nisman. Fadi menggambarkan serangan hari Minggu itu sebagai “bom atom”. Menurutnya, di Jalur Gaza tidak ada tempat yang aman untuk bersembunyi dan lari dari serangan udara Israel. “Kami mengumpulkan bagian-bagian tubuh dari tanah terdekat, satu tangan di sini, satu kepala di sana,” katanya. “Kami belum berhasil mengeluarkan siapa pun dari bawah reruntuhan, hanya mayat-mayat yang terkoyak yang terlempar ke udara karena kekuatan bom.” Tetangganya, Wael al-Mahanna, mengatakan serangan itu lebih buruk daripada gempa bumi dahsyat. “Tidak ada peringatan dari pihak Israel, mereka tidak menelepon atau mengirim SMS atau menyuruh kami untuk mengungsi,” katanya, seraya menambahkan bahwa lingkungan tersebut dihuni oleh warga sipil. “Tidak ada seorang pun di rumah itu yang selamat. Ada sekitar 45 orang di dalam,” katanya. “Ada sesosok mayat terlempar di salah satu tiang, dan kepalanya ditemukan jauh di atap. Bahkan tidak ada seorang pun yang bisa memahami apa yang terjadi.” Setidaknya 15 jenazah dipindahkan ke Rumah Sakit Martir Al-Aqsa di Deir el-Balah, kata sumber setempat. Ledakan tersebut merusak rumah-rumah di sekitarnya, menghancurkan blok perumahan. Ketika serangan Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza berlanjut pada hari ke-65, jumlah korban tewas telah mencapai hampir 18.000 orang, hampir 8.000 di antaranya adalah anak-anak. Lebih dari 48.700 orang lainnya terluka sementara 7.780 warga Palestina lainnya masih hilang, diyakini tewas di bawah reruntuhan rumah mereka. Fadi Nisman mengatakan masyarakat ingin pertumpahan darah diakhiri, dan warga Gaza bisa kembali membangun kehidupan yang baru. “Kami ingin mengakhiri kriminalitas dan penjajahan ini,” tutupnya. Sumber: Al Jazeera
-
NewsINH, Gaza – Ketika bom Israel mulai menghantam jalan-jalan Kota Gaza yang dulunya ramai, Diana Tarazi dan keluarganya melarikan diri ke Gereja Keluarga Kudus, satu-satunya tempat ibadah Katolik Roma di Jalur Gaza. Perempuan Kristen Palestina berusia 38 tahun, suami dan tiga anaknya berkumpul bersama para pengunjung gereja dan tetangga serta teman-teman Muslim, menidurkan anak-anak mereka hingga tertidur lelap di tengah suara bom, menggumamkan kata-kata lembut yang memberi semangat satu sama lain. “Bersama-sama, kami mencoba melewati perang sampai berakhir dan kami bertahan,” kata Tarazi seperti dikutip dari Al Jazeera, Jum’at (10/11/2023). Rasa aman mereka hancur pada tanggal 19 Oktober, ketika Israel mengebom Gereja Saint Porphyrius, gereja tertua di Gaza, yang terletak di dekatnya, menewaskan sedikitnya 18 orang. Tentara Israel mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa gereja tersebut bukanlah sasaran serangan. “Rudal itu jatuh tepat di atasnya,” kata Tarazi tentang situs Ortodoks Yunani. “Kami tidak percaya bahwa gereja bukanlah tujuan mereka.” Dua hari sebelumnya, sebuah ledakan juga terjadi di Rumah Sakit Al-Ahli Arab sebuah institusi Anglikan yang terletak tak jauh dari gereja. Dalam peristiwa itu menewaskan dan melukai ratusan orang, menurut otoritas kesehatan Palestina. Hamas menyalahkan ledakan itu akibat serangan udara Israel, sementara Tel Aviv mengklaim ledakan itu disebabkan oleh roket yang tidak berfungsi yang ditembakkan oleh Jihad Islam Palestina, sebuah kelompok bersenjata yang berbasis di Gaza. Meskipun Kota Gaza dan kamp-kamp pengungsi di dekatnya dikepung oleh pasukan darat Israel, dan serangan udara menghantam daerah tersebut, Tarazi menolak untuk pergi. “Kami tidak menerima pengungsian dari negara kami, tanah kami, dan gereja kami. Saya tidak akan meninggalkan gereja kecuali ke alam kubur.” katanya. ‘Ancaman kepunahan’ Setidaknya 10.569 warga Palestina telah meninggal dunia dalam serangan Israel di Gaza sejak 7 Oktober. Hanya 800 hingga 1.000 orang Kristen yang diyakini masih tinggal di Gaza, yang merupakan komunitas Kristen tertua di dunia, sejak abad pertama. Mitri Raheb, seorang pendeta Lutheran Evangelis dan pendiri Universitas Dar al-Kalima di Betlehem, mengatakan bahwa konflik yang terjadi saat ini dapat mengakhiri sejarah panjang konflik di wilayah tersebut. “Komunitas ini terancam punah,” kata Raheb kepada Al Jazeera. “Saya tidak yakin apakah mereka akan selamat dari pemboman Israel, dan bahkan jika mereka selamat, saya rasa banyak dari mereka yang ingin pindah. Kami tahu bahwa dalam generasi ini, agama Kristen tidak akan ada lagi di Gaza,” tambahnya. Wilayah bersejarah Palestina yang lebih luas adalah tempat kelahiran agama Kristen, serta tempat terjadinya banyak peristiwa dalam Perjanjian Lama dan Baru dalam Alkitab. Pada abad keempat, Gaza, yang terletak di sepanjang jalur perdagangan utama dengan akses ke pelabuhan yang aktif dan kota kosmopolitan, menjadi pusat misi Kristen yang utama. Setelah tahun 1948, ketika negara Israel didirikan dan 700.000 warga Palestina terpaksa mengungsi dari rumah mereka dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba, atau “bencana”, semakin banyak umat Kristen Palestina yang bergabung dengan komunitas di daerah kantong pesisir tersebut. Perkiraan menunjukkan bahwa jumlah umat Kristen di Gaza menurun dalam beberapa tahun terakhir dari 3.000 orang yang tercatat pada tahun 2007, ketika Hamas mengambil kendali penuh atas wilayah tersebut, sehingga memicu blokade Israel dan mempercepat keluarnya umat Kristen dari daerah kantong yang dilanda kemiskinan tersebut. Sementara itu, serangan di Tepi Barat ‘meningkat empat kali lipat’. Bebeda di dengan Jalur Gaza, di Tepi Barat, umat Kristen berada pada posisi yang lebih kuat dengan lebih dari 47.000 orang tinggal di sana, menurut sensus tahun 2017. Namun kekerasan dan penganiayaan juga meresahkan masyarakat di sana. “Serangan terhadap pendeta dan gereja meningkat empat kali lipat tahun ini dibandingkan tahun lalu,” kata Raheb, yang lembaga akademisnya mendokumentasikan peristiwa tersebut. Pada tanggal 1 Januari, beberapa hari setelah Israel mengambil sumpah pemerintahan paling sayap kanan dalam sejarah negara itu, dua pria tak dikenal masuk ke Pemakaman Protestan Gunung Zion di Yerusalem dan menodai lebih dari 30 kuburan, mendorong batu nisan berbentuk salib dan menghancurkannya dengan batu. Pada tanggal 26 Januari, sekelompok pemukim Israel menyerang sebuah bar Armenia di kawasan Kristen di Kota Tua Yerusalem, sambil meneriakkan “Matilah orang Arab … Matilah orang Kristen.” Beberapa hari kemudian, warga Armenia yang meninggalkan upacara peringatan di Kawasan Armenia diserang oleh pemukim Israel yang membawa tongkat. Seorang warga Armenia disemprot merica ketika para pemukim memanjat tembok biara Armenia, mencoba menurunkan benderanya, yang bergambar salib. Serangan terus meningkat, seiring dengan upaya Israel untuk “membungkam suara apa pun yang datang dari warga Palestina di dalam Israel”, kata Raheb. “Mereka adalah pemukim teroris Yahudi, namun komunitas internasional tidak mengakui mereka sebagai pemukim karena mereka adalah bagian dari [pola pikir] kolonial yang sama,” katanya, seraya menambahkan bahwa ia khawatir ancaman kekerasan yang terus-menerus pada akhirnya akan mengusir agama Kristen dari dunia. Tanah Suci. ‘Anak-anak saya cacat, mati’ Kembali ke Gaza, Ramez al-Souri mencoba menutupi kematian ketiga anaknya, Suhail, Majd dan Julie, dalam pemboman Gereja Saint Porphyrius. “Bangunan itu menampung warga sipil yang bukan milik mereka,” katanya, merujuk pada kelompok Palestina Hamas, yang melancarkan serangan mendadak di Israel selatan pada 7 Oktober yang berujung pada pemboman Israel. Al-Souri berharap orang-orang yang dicintainya akan aman di tempat suci tersebut, namun kesucian tempat tersebut tidak dapat melindungi keluarganya dari pemboman Israel. Tentara Israel diketahui juga menargetkan sekolah-sekolah PBB yang menampung perempuan dan anak-anak pengungsi, serta rumah sakit, ambulans, dan pasokan bantuan. “Ketiga anak saya keluar dalam keadaan cacat akibat dampak rudal dan pecahan peluru,” katanya, masih terlihat syok beberapa hari kemudian. “Saya tidak percaya bahwa saya tidak akan berbicara dan bermain dengan mereka lagi dalam hidup saya.” Sumber: Aljazeera
-
NewsINH, Kairo – Mesir menjadi tuan rumah pertemuan pejabat Israel dan Palestina pada Ahad (19/3/2023) kemarin. Pertemuan di kota resor Sharm el-Sheikh ini merupakan upaya yang didukung Amerika Serikat (AS) dan Yordania untuk menenangkan gelombang kekerasan di Tepi Barat menjelang bulan suci Ramadhan 1444 Hijriyah. “Pertemuan di Sharm el-Sheikh bertujuan untuk mendukung dialog antara pihak Palestina dan Israel untuk bekerja menghentikan tindakan dan eskalasi sepihak, dan memutus siklus kekerasan yang ada dan mencapai ketenangan”, kata pernyataan Kementerian Luar Negeri Mesir. Kementerian Luar Negeri mengatakan, pertemuan tersebut dapat memfasilitasi terciptanya iklim yang cocok untuk dimulainya kembali proses perdamaian. Palestina bertujuan untuk mendirikan negara merdeka di Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Ketiga wilayah ini direbut Israel dalam perang 1967. Pembicaraan damai antara Israel dan Palestina telah terhenti sejak 2014. Palestina mengatakan perluasan pemukiman Yahudi telah merusak peluang pembentukan negara yang layak. Pada tahun-tahun sebelumnya, bentrokan antara polisi Israel dan warga Palestina meletus di sekitar masjid Al Aqsa Yerusalem pada puncak Ramadhan. Bulan Ramadhan ahun ini bertepatan dengan Paskah Yudaisme dan Paskah Kristen. Sumber: Reuters/Republika #Donasi Palestina