Gabung dengan Afsel, Bolivia Seret Israel ke ICJ atas Genosida Gaza

Gabung dengan Afsel, Bolivia Seret Israel ke ICJ atas Genosida Gaza

NewsINH, Den Haag – Bolivia resmi bergabung dengan Afrika Selatan dalam menggugat Israel atas kasus genosida di Jalur Gaza, ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ).

Dalam permohonan yang diajukan pada Selasa (8/10/2024) kemarin, Bolivia menyatakan bahwa negaranya ‘memiliki tanggung jawab untuk mengutuk kejahatan genosida’ yang dilakukan Israel ke Jalur Gaza Palestina.

Menurut Bolivia, genosida Israel hingga kini tak kunjung berhenti dan perintah-perintah ICJ yang telah dikeluarkan selama ini hanya jadi “surat mati” bagi Israel.

“Bolivia berusaha untuk ikut campur karena menganggap bahwa kami memiliki tanggung jawab untuk mengutuk kejahatan genosida,” demikian isi surat permohonan negara Amerika Selatan itu kepada ICJ, seperti dikutip Al Jazeera.

Bolivia telah memutus hubungannya dengan Israel pada November 2023. Bolivia kini bergabung dengan sederet negara lain yang ikut mendukung Afrika Selatan, di antaranya yakni Kolombia, Libya, Spanyol, Meksiko, Nikaragua, Turki, dan Palestina.

Pada 29 Desember 2023, Afrika Selatan membawa berkas gugatan setebal 84 halaman ke ICJ untuk menuntut Israel atas kasus genosida di Gaza.

Menurut Afsel, aksi-aksi Israel di Gaza merupakan genosida karena Israel berniat menghancurkan rakyat Palestina “secara substansial”. Gugatan Afsel pun mendorong ICJ menggelar sidang perdana pada 11 dan 12 Januari lalu.

Pada Januari, ICJ memutuskan bahwa Israel harus melakukan segala cara untuk mencegah genosida di Gaza dan memastikan penyelidik yang diamanatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki akses tanpa hambatan untuk datang ke Gaza.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak putusan tersebut dan mengatakan bahwa ICJ “keterlaluan”. Netanyahu menegaskan bahwa Israel akan melanjutkan “perang yang adil.”

Sebulan setelah putusan ICJ, kelompok hak asasi manusia Amnesty International menyatakan bahwa Israel telah gagal mengambil “langkah-langkah minimum” untuk mematuhi perintah ICJ.

Afrika Selatan pun sejak itu membawa lagi masalah ini ke ICJ karena menilai situasi kemanusiaan di Gaza perlu langkah darurat baru.

Pada akhir Mei, ICJ akhirnya memerintahkan Israel untuk segera menghentikan serangannya ke Rafah, wilayah selatan Palestina yang jadi tempat mengungsi jutaan warga saat itu. Sama seperti sebelumnya, perintah ini juga diabaikan Negeri Zionis.

Putusan-putusan ICJ sendiri bersifat final dan tanpa banding. Namun demikian, ICJ tak memiliki kewenangan untuk memaksakan putusan-putusan tersebut.

Agresi Israel di Jalur Gaza hingga kini telah menewaskan lebih dari 42 ribu orang. Mayoritas korban anak-anak dan perempuan.

 

Sumber: CNN Indonesia/ Ajjazeera

Tolak Eavakuasi dari Israel, Warga Palestina: Lebih Baik Mati Daripada Pergi

Tolak Eavakuasi dari Israel, Warga Palestina: Lebih Baik Mati Daripada Pergi

NewsINH, Gaza – Tentara Israel yang telah menghabisi lebih dari 42.000 warga Gaza sejak tahun lalu, memerintahkan warga Palestina di Jabalia, Beit Hanoun, dan Beit Lahia untuk meninggalkan rumah mereka di Gaza utara dan bergerak ke selatan.

Namun, banyak warga Palestina mengatakan tidak akan meninggalkan rumah mereka setelah dipaksa evakuasi oleh rezim Zionis.

“Lebih baik mati daripada pergi,” kata Ibrahim Awda, yang tinggal bersama keluarganya di sebuah tenda di kamp pengungsi Jabalia, kepada Anadolu dikutip dari Antara, Kamis (10/10/2024).

“Tentara pendudukan ini berusaha memaksa kami untuk bermigrasi dan pindah ke selatan setelah satu tahun bertahan di utara dan setelah kehilangan rumah dan pekerjaan kami,” paparnya, menambahkan.

Awda, yang kehilangan dua anak dan rumahnya akibat serangan Israel, mengatakan bahwa penduduk Palestina di kamp Jabalia menolak untuk mematuhi perintah evakuasi Israel.

“Mereka tidak akan meninggalkan rumah mereka di Gaza utara kecuali kami mati,” tegas lelaki yang telah berusia 42 tahun itu.

Menurut laporan Anadolu, tentara Israel telah memperketat pengepungan di sekitar Gaza utara dari segala arah, memutus hubungan dengan Gaza City. Serangan militer di Jabalia ini adalah yang ketiga oleh tentara Israel sejak pecahnya konflik Gaza tahun lalu.

Ratusan warga Palestina tewas dan ribuan terluka dalam penembakan artileri dan serangan udara Israel di kamp tersebut dalam beberapa bulan terakhir, menurut otoritas kesehatan setempat.

Awda mengatakan bahwa tentara Israel mencoba menipu warga Gaza utara dengan mengeklaim bahwa wilayah selatan “aman” bagi mereka.

“Keberlanjutan kejahatan Israel dan pembunuhan yang disengaja terhadap warga sipil yang mengungsi menunjukkan kebohongan mereka,” tambahnya.

Ia mencontohkan kematian sedikitnya 26 orang pada akhir pekan ini dalam serangan Israel terhadap sebuah sekolah dan masjid yang menjadi tempat penampungan pengungsi di kota Deir al-Balah di pusat Gaza.

“Pembantaian ini terjadi pada hari yang sama saat tentara Israel mengeluarkan perintah evakuasi bagi kami untuk menuju ke selatan,” kata Awda.

Mureed Ahmad, 26, memiliki pandangan yang sama.

“Kami menolak untuk meninggalkan rumah kami sejak hari pertama perang. Kami tidak akan menerima untuk pergi sekarang,” katanya kepada Anadolu.

Pemuda Palestina ini percaya bahwa tentara Israel menggunakan “tekanan militer” untuk memaksa penduduk Jabalia mengungsi ke selatan.

“Kebijakan ini terbukti gagal, Penduduk Palestina menolak untuk meninggalkan rumah mereka meskipun tentara Israel terus mengepung,” ujarnya.

Otoritas Palestina memperkirakan ada sekitar 700.000 orang yang masih tinggal di Gaza utara. Tentara Israel telah berulang kali mengeluarkan perintah bagi warga Palestina untuk mengungsi dari wilayah mereka sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023.

Jalur Gaza utara telah berada di bawah pengepungan ketat Israel yang membuat seluruh penduduk wilayah tersebut berada di ambang kelaparan.

As’ad Al-Nadi, seorang warga Jabalia, mengatakan bahwa ia mencoba melarikan diri dari wilayah tersebut bersama keluarganya menuju “zona aman” di Gaza City bagian barat.

“Namun, kami diserang secara langsung, menyebabkan anak laki-laki saya yang berusia 16 tahun terluka,” kenangnya.

Dia harus memapah putranya di bahunya untuk dibawa oleh ambulans ke Rumah Sakit Al-Ahli Baptist untuk mendapatkan perawatan medis. Meskipun dia masih khawatir akan keluarganya, Al-Nadi mengatakan bahwa dia tidak akan meninggalkan rumahnya di Jabalia dan pindah ke selatan.

“Saya mungkin akan pindah di dalam Gaza utara, tapi saya tidak akan pernah pindah ke selatan. Semua orang yang melarikan diri ke Gaza selatan sejak perang pecah belum dapat kembali ke Gaza utara sampai hari ini,” tegasnya.

Israel terus melakukan serangan brutal di Jalur Gaza menyusul serangan oleh kelompok Palestina Hamas tahun lalu, meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera.

Serangan Israel telah mengakibatkan hampir seluruh penduduk Jalur Gaza terlantar di tengah blokade yang sedang berlangsung, yang menyebabkan kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan yang parah.

Israel menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas tindakannya di Gaza.

 

Sumber: Anadolu/Antara

Customer Support kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!